digitalMamaID – Seorang anak SD di Tasikmalaya menjadi korban predator seksual berusia 27 tahun. Pelaku mengenal korban dari game online Mobile Legends. Kasus ini sekali lagi membunyikan kembali lonceng peringatan risiko terjadinya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada anak yang berawal dari game online.
Polisi menangkap pelaku di Sumatera Utara pada akhir April 2024. Terbongkar pelaku dan korban berkenalan di fitur chatting di Mobile Legends. Selanjutnya mereka berkomunikasi lewat WhatsApp. Di aplikasi percakapan itu, pelaku meminta korban mengirimkan foto vulgar. Misalnya foto korban mengenakan pakaian ketat, bahkan celana dalam. Jika tidak dituruti, pelaku mengancam bunuh diri. Pelaku juga mengirimkan foto kemaluan kepada korban.
Kasus ini sendiri terungkap setelah keluarga korban membuat utas di platform X. Laporan kepada polisi belum membuahkan hasil karena sulit melacak lokasi pelaku.
Kasus ini menambah deretan panjang KBGO yang bermula dari fitur chatting di game online. Tidak hanya orang dewasa, kini anak-anak juga memainkan game online. Hal ini memunculkan kekhawatiran baru karena game online punya sisi negatif yang perlu diantisipasi. Misalnya saja risiko terjadinya grooming yang termasuk dalam KBGO, juga trolling, money trap dan sebagainya.
Game online dan grooming
Pada sebuah diskusi virtual, Ellen Kusuma, aktivis sekaligus penginisiasi kampanye Awas KBGO mengatakan, banyak anak pengguna game online yang menjadi korban grooming predator seksual. Ujungnya, mereka menjadi korban kekerasan seksual. “Grooming itu salah satu modus operandinya adalah isolating the victim. Pelaku mengisolasi korbannya supaya korbannya tidak bisa menggapai orang lain atau tidak mau menggapai orang lain karena, dia hanya percaya pada pelaku. Korban di brainwash untuk jangan cerita ke orang tua, dan susah mengintervensi jika anak sudah di brainwash,” tutur Ellen dalam Next Talks bersama Next Generation Indonesia yang digelar pada Maret lalu.
Jika sudah seperti ini, Ellen menyarankan agar orang tua mencari lembaga layanan yang khusus menangani kasus-kasus kekerasan seksual pada anak, NGO yang fokus di isu CSE (Child Sexual Exploitation). Bisa melapor ke AwasKBGO atau follow @safenetvoice, @taskforce_kbgo. Selain itu ada hotline 129 SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA RI), lalu ada Komnas Perempuan.
“Kita juga sekarang sudah punya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) ya. Jadi memang ada beberapa KBGO yang sudah bisa ditangani di bawah UU TPKS terutama terkait dengan penyebaran non-konsensual. Jika kamu direkam secara diam-diam aktivitas seksualnya, di-stalking, online stalking cyber itu bisa dilaporkan dengan UU TPKS,” jelasnya.
Walau kasus ini bisa juga ditangani Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Ellen meminta agar menggunakan Undang-Undang TPKS juga. Hal ini agar jaminan hak-hak sebagai korban tetap ada. Untuk bantuan hukum bisa ke LBH Apik Jakarta untuk teman-teman Jakarta atau bisa cari di https://carilayanan.com/ besutan teman-teman Jakarta feminist.
Teknologi dan risiko kekerasan
Ellen mengatakan, ketika sebuah teknologi digital itu sudah menghubungkan penggunanya dengan orang lain, maka risiko mendapatkan kekerasan itu pasti ada, tidak mungkin nol.
“Di mana kamu bisa berkomunikasi dengan orang lain, maka potensi mendapatkan kekerasan itu sebenarnya pasti ada. Jadi entah itu muncul dari chat atau muncul dalam bentuk yang lain, misalnya sudah keluar dari aplikasi games-nya terus menuju ke aplikasi percakapan WhatsApp yang lebih terbuka, itu justru akan meningkatkan intensitas kekerasan yang bisa kita alami,” ungkapnya.
Menurut Ellen, kekerasan yang terjadi di dunia digital sangat erat dengan privasi. Ketika privasi kita terbuka, potensi kekerasan jadi meningkat. Oleh karena itu, banyak orang yang memanfaatkan anonimitas yang disediakan di dunia games atau dunia Role Playing Game (RPG) dengan memakai avatar yang berbeda dengan jenis kelaminnya.
Ellen mengingatkan pentingnya edukasi kepada orang-orang di lingkungan terdekat yang tidak tahu bagaimana cara memitigasi ketika mendapatkan KBGO. “Sederhananya jika di medsos kita bisa gunakan fitur not interested supaya konten negatif tidak ada di feed kita atau blokir saja,” katanya.
Kekerasan dan patriarki
Kekerasan secara sedeharna adalah tindakan yang sudah membuat orang lain atau pihak lain mengalami kerugian, ketidaknyamanan, ketidakamanan. Kerugiannya bisa immaterial dan material seperti kehilangan kesempatan dan seterusnya kehilangan uang.
Banyak orang membayangkan kekerasan adalah kekerasan fisik, padahal kekerasan bisa juga dalam bentuk verbal. “Mengata-ngatai orang lain walau bercanda tapi, jika orang itu merasa sakit, tidak aman, tidak nyaman itu sudah menjadi kekerasan. Misalnya body shamming, jika pernyataan itu berulang dan orang tersebut tertekan, dia bisa mengambil keputusan yang membahayakan dirinya dengan diet berlebihan atau mengalami disorder seperti anoreksia dan bulimia,” papar Ellen.
Menurut Ellen, kekerasan itu bisa dibayangkan sebagai sebuah spektrum yang punya gradasi warna. Kekerasan dengan niat atau tanpa niat itu sebenarnya sudah bentuk kekerasan. Ini bisa terjadi karena pertama, kita tidak tahu itu adalah bentuk kekerasan atau kedua, karena memang sudah dinormalisasi dan diwajarkan. Kekerasan yang sistematis, struktural, tidak kasat mata karena sudah dinormalisasi dalam masyarakat, yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk dilakukan.
Masyarakat Indonesia sendiri menganut sebuah sistem patriarki yang cukup kental. Laki-laki harus berada di tampuk kepemimpinan, bekerja mencari nafkah. Sedangkan perempuan cukup di rumah saja, tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi-tinggi. Norma-norma seperti itu dibangun berdasarkan jenis kelamin, membuat seseorang itu mengalami ketidakadilan ketika hidup bermasyarakat karena tidak memiliki kesempatan yang sama. Ini termasuk kekerasan yang sistematis atau struktural.
“Ini berpotensi membuat laki-laki kemudian beranggapan, ‘oh harus ngikutin maunya gua dong’. Nah itu yang kemudian bisa memunculkan hal-hal kekerasan lain misalnya, kekerasan fisik kalau misalnya yang perempuan tidak mau menuruti keinginan laki-laki. Nah hal-hal seperti inilah yang menunjukkan bahwa ini adalah kekerasan yang khusus banget nih, namanya kerasa berbasis gender,” jelasnya.
Jenis kelamin dan gender itu tidak sama
Lebih lanjut menurutnya, jenis kelamin dan gender adalah dua hal berbeda. Jenis kelamin itu lebih ke karakteristik biologis dan gender itu lebih ke konstruksi sosial berdasarkan jenis kelamin. Tapi, bisa juga untuk memuat orang-orang yang tidak mengidentifikasi dirinya berdasarkan jenis kelamin biner.
“Orang-orang yang mungkin punya alat kelamin sesuai dengan jenis kelamin tetapi, mungkin secara gender, secara peran, secara identitas internalnya itu berbeda, itu adalah gender. Jadi gender ini memang sesuatu yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Jadi kekerasan berbasis gender lebih kurang seperti itu,”lanjutnya.
Menurutnya, sangat mungkin sekali kekerasan berbasis gender itu di fasilitasi oleh teknologi. Bukan teknologi yang melakukan kekerasan, tetapi pelaku yang menggunakan teknologi. Perlu diingat, teknologi diciptakan oleh para developer yang juga kemungkinan punya bias-bias tertentu. Hal itu kemudian menyebabkan teknologi tersebut membuat penggunanya tidak aman, tidak nyaman, bahkan mengalami kerugian.
“Misalnya aplikasi yang mengukur atau men-tracking siklus menstruasi perempuan. Tapi yang membuat aplikasinya itu laki-laki yang sebenarnya tidak paham tentang berbagai macam isu terkait dengan siklus menstruasi. Jadi dia membuat teknologinya hanya praktikal aja dan ketika dia mengumpulkan datanya itu, datanya bisa lagi dijual ke pihak-pihak lain. Dampaknya mungkin bisa bermacam-macam, para pengguna aplikasi ini bisa jadi informasinya itu tereksploitasi oleh si pengembang. Jadi enggak hanya pelakunya kadang-kadang teknologinya memang sudah dibuat secara tidak berpihak kepada orang-orang tertentu,” jelasnya.
Layanan konseling dan bantuan hukum
Ellen mengatakan, bentuk KBGO sebenarnya cukup banyak. Namun, ia paling banyak mendampingi kasus-kasus yang berkaitan dengan Image Base Sexual Abuse (IBSA). Kekerasan seksual berbasis gambar ini contohnya penyebaran konten intim non-konsensual yang disertai dengan tindakan seperti pemerasan (sextortion). Jadi pelaku memeras korban dengan uang atau bisa bentuk lain seperti mengajak hubungan seks atau hal-hal lain yang membuat korban makin tereksploitasi. Jika tidak dituruti, pelaku mengancam akan menyebarkan konten intim milik korban.
Modus ini biasa disebut juga dengan revenge porn. Ellen mengatakan, istilah tersebut dirasa tidak tepat, bahkan problematik. Istilah tersebut justru menyalahkan korban. Penggunaan kata “revenge” atau balas dendam ini seakan-akan korban sudah berbuat salah lebih dulu. Sehingga pelaku balas dendam kepada korban. Istilah “porn” juga bermasalah karena biasanya konten intim yang memuat ketelanjangan dikhususkan untuk industri pornografi. Padahal kebanyakan konten intimasi itu terjadi saat mereka menjalin hubungan sebagai pasangan. Kasus KBGO seperti ini, kata Ellen, paling banyak dilaporkan.
Ia menambahkan, masyarakat Indonesia yang menggunakan teknologi digital itu masih banyak yang belum paham tentang privasi di dunia digital. Pemahaman terkait dengan privasi masih kurang dan bahwa pelanggaran privasi itu dampaknya bisa macam-macam dan tidak instan. Selain itu masyarakat Indonesia punya tendensi oversharing di media sosial sehingga pelaku tidak perlu susah-susah meretas, tidak perlu punya skill teknis seperti hacker di film-film.
“Istilah jejak digital itu abadi itu real. Percayalah jejak digital itu lebih abadi daripada hubungan kita dengan orang lain. Kita meninggal saja, konten kita masih bisa beredar. Jadi berhati-hatilah dengan jejak digital kita karena dia lebih abadi daripada kitanya sendiri atau bahkan hubungan kita dengan orang lain,” katanya mengakhiri.[*]