Semula, Desy Ratnasari dikenali sebagai artis yang melejit di panggung hiburan Indonesia. Setelah menghasilkan banyak karya di layar kaca, Desy memulai kiprahnya sebagai politisi Partai Amanat Nasional (PAN). Namanya disebut-sebut masuk dalam bursa kandidat calon Gubernur Jawa Barat dalam Pilkada 2024. Mampukah ia memperjuangkan perempuan lewat jalur politik ini?
Untuk menakar komitmen politiknya terhadap kelompok rentan, yaitu perempuan penyintas kekerasan seksual, kami menelusuri berbagai pernyataan Desy di berbagai media, termasuk akun media sosialnya. Saat ini, Desy menjabat sebagai Ketua DPW PAN Jawa Barat dan duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia selama dua periode sejak 1 Oktober 2014. Kini, ia ingin disebut politisi ketimbang sebagai artis.
Desy merupakan politisi perempuan yang terekspos pernah memperjuangkan keadilan bagi perempuan, termasuk yang menjadi korban pelecehan seksual. Perempuan seringkali tidak memiliki suara dalam masyarakat.
Keberpihakan pada korban kekerasan seksual
Ia sempat mengutarakan tentang rumah aman atau safe house bagi perempuan dan anak korban kekerasan. “Di Kota Tarakan belum ada rumah aman bagi korban kekerasan perempuan dan anak. Ini menjadi perhatian kita untuk ditindaklanjuti ke Kementerian Sosial. Yang lebih utama lagi yang membangun adalah pemerintah daerah, yaitu gubernur atau walikotanya,” kata Desy dikutip dari laman berita DPR saat Tim Komisi VIII melakukan pertemuan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tarakan, Senin, 30 Oktober 2017.
Tidak hanya itu, Desy sempat menyuarakan soal penyelenggara pemilu perlu tegas ketika terjadi soal kasus pelecehan. Seperti kasus yang terjadi pada calon Wakil Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) nomor urut satu, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo pada tahun 2020. Saraswati mengalami pelecehan verbal yang kemudian dianggap sebagai kampanye hitam. Desy menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara hukum maka penyelenggara pemilu dengan aturan, Undang-Undang (UU), dan kebijakan harus diterapkan oleh penyelenggara pemilu dengan adil dan tegas.
Dukungan Desy terhadap korban pun sangat tegas. Tahun 2016 mengutip dari portal berita daring Sindo, Desy menyatakan, ia setuju lebih baik pelaku kekerasan seksual diberi hukuman seumur hidup.
Dengan peran aktifnya, Desy berusaha untuk mengubah paradigma dan stigma negatif yang masih melekat pada korban pelecehan seksual. Ia mendorong agar masyarakat lebih empati dan mendukung upaya pencegahan serta penanganan kasus pelecehan seksual secara lebih serius.
Bahkan, Desy menyuarakan perlunya dukungan psikologis bagi penyintas. “Kami ingin menjadi sebuah organisasi yang merangkul beragam permasalahan di masyarakat. Jadi tidak terfokus di Kementerian Kesehatan saja yang hanya menangani masalah klinis misalnya, dan tidak pula hanya permasalahan yang menyangkut di Kementerian Sosial yang berkenaan dengan psikologi sosial. Kami berpikir yang lebih netral adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” papar Desy dari laman berita DPR saat rapat Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) Praktik Psikologi di Ruang Rapat Baleg, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 22 Juni 2020.
Ketika menjadi pembicara di acara For Youth To Inspire – Sesi 1: Perempuan di Ruang Publik 2020, Desy menyatakan, Indonesia yang masih menganut budaya patriarki menghambat perempuan salah satunya ketika bekerja ataupun berbisnis.
Tidak membahas soal isu perempuan di media sosialnya
Dalam keseharian Desy yang nampak dari profil Instagram dan kanal Youtube Desy cukup aktif dalam memberikan konten-konten terkait kehidupan sehari-hari dan aktivitas politik. Desy menggunakan media sosial instagram, tiktok, dan kanal youtube dengan nama @desyratnasariterdepan. Selain kegiatan pribadi Desy yang ditayangkan pun terkait kegiatan politik baik bersama partainya ataupun sebagai anggota DPR RI.
Dari media sosialnya, belum ada paparan terkait kelompok rentan perempuan. Sama halnya yang dilihat dari laman youtube Desy tidak terlihat adanya kegiatan yang melibatkan kelompok rentan.
Desy sempat menyampaikan tentang kelompok rentan ketika menjadi pembicara di For Youth To Inspire tahun 2020. Ia menyampaikan apa saja yang sudah ia perjuangan. Selama menjabat sejak tahun 2014 Desy memperjuangkan hak perempuan dan anak, seperti menyampaikan pada perencanaan anggaran untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan dan Anak (KEMENPPPA) yang sebelumnya dianggarkan Rp400 miliar, ia memperjuangkan untuk naik menjadi Rp1,2 triliun. Namun akhir tahun 2014 anggaran tersebut turun menjadi Rp500 miliar hingga menjadi Rp215 miliar.
Desy mewujudkan aksi nyata dalam penelitiannya tentang representasi perempuan khususnya yang menjadi pemimpin politik. Pada penelitian yang ia buat untuk menyelesaikan jenjang S3 itu menunjukkan, perempuan mengalami kendala dari internal dan eksternal. “Bahwa banyak perempuan kita masih secara sumber daya untuk aktivitas politiknya masih tergantung kepada laki-laki. (Alasannya) karena dia adalah ibu rumah tangga misalnya atau sebagai dia (perempuan) yang sudah mandiri tapi tetep dia mau partisipasi dalam politik belum tentu dapan ijin dari suaminya misalnya,” ujar Desy.
Faktor internal lainnya, soal kemauan perempuan. “Perempuannya mau apa enggak? Dia mampu tapi belum tentu mau, ada yang mau tapi tidak mampu,” kata Desy di For Youth To Inspire 2020.
Kendala eksternal yang dihadapi perempuan yang berpolitik ialah komitmen partai, “Eksternal yaitu komitmen partai tadi sudah disampaikan juga, ada elit-elit partai yang notabene laki-laki apakah dia masih menggunakan kacamata budaya patriarki atau tidak?” ujar Desy dalam acara For Youth To Inspire tahun 2020.
Desy pun menyampaikan terkait pentingnya bagaimana kolaborasi antar gender. “Lalu kemudian ada juga antar sesama rekan kerja, maukah dia berbagi posisi dengan perempuan. Tidak hanya dalam urutan caleg saja tapi nomer jadi pun harus. Nanti ketika di lapangan apakah dia akan kanibalisasi terjadi gontok-gontokan antar perempuan atau dia justru meng-encourage perempuan juga untuk jadi misalnya,” tutur Desy.
Begitu juga ketika perempuan duduk di DPR dan eksekutif. Apakah laki-laki memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat di dalam pengambilan keputusan kebijakan, hal itu juga diperlukan.
Meski tidak disampaikan lewat media sosial, Desy turut memperjuangkan hak perempuan lewat RUU Pendidikan dan Layanan Psikolog. Baginya RUU tersebut bukti ia memanfaatkan ilmu yang dimiliki sebagai seseorang yang menempuh pendidikan psikologi di dunia politik. Ia mendorong menghasilkan legislasi atau kebijakan layanan psikolog lewat UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi (PLP).
Sebagai upaya Desy telah banyak menyuarakan terkait isu-isu yang mengutamakan korban kekerasan pada perempuan dan anak, namun sebagai anggota DPR legislatif yang statusnya adalah pengawas bukan pembuat keputusan ia berkata hanya dapat menyuarakan namun tidak bisa berbuat banyak.
Hal ini pun disampaikan oleh Annisa Maharani Rahayu, seorang pengamat politik yang pernah mencoba maju sebagai calon anggota DPRD Kab. Purwakarta Dapil 5 Kec. Plered, Tegalwaru, Maniis tahun 2024. Menurutnya, dalam mengatasi kasus pelecehan seksual partai politik (parpol) yang terpilih untuk duduk di kursi legislatif daerah/pusat, tidak memiliki wewenang untuk membuat kebijakan/aturan yang mengatur konstituen. Kewenangan itu ada pada anggota legislatif yang terpilih.
“Sementara untuk peraturan di dalam parpol terkait dengan kasus pelecehan seksual, untuk saat ini partai-partai memang belum memiliki peraturan yang tegas apabila terjadi kasus pelecehan seksual di internal. Khusus untuk parpol, tiap parpol memiliki aturan yang berbeda-beda,” paparnya.
Desy menyatakan bahwa perlu membuat lingkungan yang inklusi dan mendukung satu sama lain antar gender. “Antara laki-laki dan perempuan harus saling menghargai, saling memiliki kesadaran komunikasi seperti apa yang layak saya sampaikan membuat nyaman lawan bicara saya, baik itu laki-laki maupun perempuan,” kata Desy
Dukungan terhadap perempuan korban pelecehan seksual
Hubungan Desy dengan kelompok rentan perempuan korban pelecehan seksual dapat dilihat ketika UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi (PLP) disahkan, namun tindakan nyata kepada kelompok rentan perempuan belum ada.
Desy menyampaikan bahwa semua yang diperjuangkannya dan perempuan lainnya mengenai hak-hak perempuan bukan menjadi mengabaikan hak-hak pria. Namun ketika soal perempuan maka yang akan lebih tau paham adalah perempuan itu sendiri.
Desy mengatakan, apapun budaya yang dianut yang terpenting adalah bagaimana individu memiliki kemampuan melihat dari perspektif gender. Sehingga apabila melihat dari keseluruhan masyarakat secara utuh, pemangku kepentingan dapat membuat kebijakan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang ada termasuk kelompok rentan perempuan. “Kita harus bisa mengkonstruksi bahwa kita punya nilai budaya patriarki tapi kita juga menghargai kebersamaan dan kesetaraan dalam semua aspek kehidupan,” tuturnya.
Fokus Desy dari selama ini adalah sisi psikologi ibu dan anak, seperti bagaimana sisi emosional dapat mendukung atau menyelesaikan masalah. Desy menyampaikan, tidak hanya pendampingan dengan sesama gender namun bagaimana utamanya diperlukan emotional awareness apabila korban menceritakan berulang-ulang atas masalahnya dan dampak lainnya yang perlu diperhatikan dari sisi emosional.
Selain pengesahan UU baru yang sudah diperjuangkan Desy, perlu tindak lanjut atas implementasi UU tersebut, bagaimana dapat diterima oleh seluruh pelaksanaan dari pemerintah hingga tiap lapisan masyarakat.
Meskipun selama ini Desy lebih banyak berperan di legislatif dan belum banyak menunjukkan aksi nyata di lapangan. Apabila nanti Desy dicalonkan menjadi Gubernur Jawa Barat 2024, akankah Desy akan membawa perubahan nyata? Akankah kinerja Desy sama dengan kinerja sebelumnya ketika mewujudkan visi dan misi dalam pencalonannya, dan memastikan bahwa Jawa Barat menjadi provinsi yang lebih maju, adil, dan sejahtera?
Edukasi pada partai politik, pemangku kebijakan dan jabatan di pemerintah serta masyarakat melalui pendidikan politik dapat mewujudkan negara yang ramah gender. “Seharusnya partai, spesifiknya organisasi sayap perempuan, menjalankan kembali fungsi pendidikan politik tersebut. Ya langkah konkretnya dapat berupa sosialisasi kepada masyarakat dan kader (orang yang dikaderisasi oleh partai) terkait dengan kebijakan penanganan kasus pelecehan seksual atau UU TPKS,” tutur Annisa. [*]
Liputan ini Mendapatkan Dukungan Hibah dari Program Fellowship AJI Indonesia