digitalMamaID – Ratusan juta warga Indonesia sudah punya telepon seluler dan mengakses internet. Kondisi ini membuka pintu informasi selebar-lebarnya. Di sisi lain, digitalisasi ini bisa memicu munculnya berita palsu, kejahatan digital, dan serangan siber.
Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Ariandi Putra menyebut, survei We Are Social tahun 2023 menunjukkan jumlah populasi masyarakat Indonesia mencapai 276,4 juta jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 353,8 juta jiwa atau 128,0 persen masyarakat Indonesia menggunakan handphone, sementara sebanyak 212,9 juta jiwa atau 77 persen masyarakat sudah memakai internet.
“Artinya, lebih dari 100 persen masyarakat Indonesia sudah menggunakan seluler mobile connection. Ini di luar balita dan lain-lain, karena bisa jadi setiap orang memiliki lebih dari satu gawai,” ucapnya pada webinar Menakar Peran Pasukan Siber, Memitigasi Penyebaran Mis-Disinformasi, dan Polarisasi yang diselenggarakan oleh AJI Indonesia, Selasa, 30 Januari 2024.
Mempercepat digitalisasi
Ariandi menambahkan, Indonesia patut berbangga karena sebagian besar (77 persen) masyarakat Indonesia sudah menggunakan internet. Hal ini bisa mendorong percepatan digitalisasi dan melek digital di Indonesia.
“Hanya saja, ada beberapa hal yang menjadi temuan dan harus kita waspadai. Apakah ini terpusat di kota-kota besar di Jawa, apakah juga ini berdampak kepada di luar pulau ataupun pulau-pulau terpencil yang ada di seluruh Indonesia,” tuturnya.
Ia menjelaskan masalah yang dihadapi Indonesia dalam mempercepat digitalisasi adalah keselarasan informasi yang didapatkan di kota-kota besar dan di desa-desa. Karena pada umumnya masyarakat menggunakan internet tersebut untuk mendapatkan informasi yang dulu dicari di surat kabar, televisi, dan lain-lain.
“Selain mencari informasi, internet juga digunakan untuk sebagian orang mencari inspirasi, menambah pemasukan ekonomi (berjualan) dan lain-lain. Namun, digitalisasi ini bagaikan dua sisi mata pisau apakah berdampak positif atau malah sebaliknya. Berdampak pada cyber security, perlindungan data pribadi,” jelasnya.
Serangan siber
Berkaitan dengan cyber security, lanjutnya, terdapat dua bentuk serangan siber. Pertama ialah serangan siber secara tataran teknis. Ini terkait erat kaitannya dengan data. Data yang masuk melalui server jaringan aplikasi database dan lain-lain. Datanya dicuri dan disandra sehingga serangan siber itu dilakukan secara masif.
Kedua, serangan siber dalam tataran sosial. Dalam tataran sosial ini erat kaitannya dengan bagaimana penyelenggaraan pemilu, hubungan antar sosial di tengah-tengah masyarakat yang mungkin memuncak di era digitalisasi ini.
“BSSN sendiri selalu memantau melalui national security oper center. Hasilnya setiap minggu, setiap tahun kita umumkan kepada publik,” ujarnya.
Lindungi data pribadi
Serangan lainnya, kata dia, bisa berupa web devestement yaitu mengubah tampilan web yang ada di sebuah website sehingga tidak bisa digunakan. Lalu, ada pishing yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan adanya file APK yang dikirim melalui WhatsApp. File tersebut diedarkan sebagai undangan pernikahan, surat tilang elektronik dan lainnya. Ini adalah bentuk pishing yang ditanamkan malware untuk mengambil data-data kredensial yang ada di handphone.
“Kemudian, ada serangan yang sasarannya itu manusianya sendiri. Jadi serangan ini menyasar pola pikir atau keyakinan masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang. Mereka (siber) membuat informasi-informasi yang direkayasa agar masyarakat terpengaruh secara emosional sehingga melakukan hal-hal yang melahirkan sebuah konflik,” ucapnya.
Untuk itu, ia mengimbau kepada masyarakat agar tidak mudah membagikan data-data pribadinya. Masyarakat agar tidak lagi membagikan foto KTP atau data pribadi lainnya di media sosial karena data pribadi itu wajib dilindungi. [*]