Poverty Porn: Menjual Kemiskinan

Ilustrasi poverty porn
Share

digitalMamaID – Hadirnya media sosial saat ini membuat banyak orang berlomba-lomba menciptakan berbagai macam konten. Belakangan marak juga konten yang berisi poverty porn. Apa sih itu?

Sebagai pengguna media sosial, Mama tentu sudah akrab dengan konten seperti daily life, review, gaming, kuliner, edukasi, Q&A, unboxing dan lainnya. Namun tidak semua konten selamanya baik. Tidak sedikit pula konten-konten yang bermuatan negatif seperti, prank, hoax, judi online berkedok trading, flexing, sampai konten kemiskinan (poverty porn). Semua itu dilakukan demi mendulang views yang tinggi.

Konten kemiskinan (poverty porn) sendiri sering menjadi trending di Youtube dan banyak memancing konten kreator lain untuk membuat konten serupa karena dianggap inspiratif. Sebenarnya bukan hanya media sosial saja, televisi pun sudah lama menjadikan poverty porn sebagai komoditas hiburan dalam reality show agar ratingnya bagus. Kontes ajang bakat misalnya, bukan hanya bakat tapi, kehidupan pesertanya juga turut ditampilkan, makin susah hidupnya makin menarik.

Film sukses Slumdog Millionaire pun dikritik serupa atas penggambaran masyarakat India dan adanya dugaan eksploitasi terhadap aktornya. Benefits Street, acara dokumenter Channel 4 di Inggris juga dianggap banyak mengeksploitasi orang miskin. Hal seperti ini menarik minat dan simpati banyak orang, juga menguntungkan pihak produksi tapi apakah ini etis?

Taktik mendapat simpati

Pakar kajian media dari Universitas Airlangga Prof. Dra. Rachmah Ida, M.Comms., Ph.D mengatakan, jika poverty porn diproduksi secara terus menerus, konten ini dapat membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar akibat alienasi terhadap orang di bawah garis kemiskinan.

“Untuk itu konten kreator harus kreatif, tidak mengeksploitasi kemiskinan orang lain. Orang miskin dikomodifikasi sudah tidak kreatif menurut saya. Meskipun tujuannya untuk menggalang dana, tapi tidak harus dengan menunjukkan penderitaan orang miskin. Poverty porn bisa disebut melanggar etika, dan dalam kajian media dikategorikan dalam konteks eksploitasi,” kata Rachmah dikutip dari situs Dinas Komunikasi dan Informasi Jawa Timur.

Poverty porn ada karena suatu alasan. Biasanya digunakan organisasi nirlaba dan amal sebagai taktik mendapatkan empati dan dukungan finansial. Di tahun 1980-an, Disasters Emergency Committee menyelenggarakan konser amal Live Aid dan berhasil meraup 23 juta dolar untuk krisis kelaparan di Ethiopia. Badan amal ini memasang foto-foto anak-anak kelaparan, busung lapar, orang tua kurus kering dalam brosur untuk menunjukkan peristiwa kemanusiaan terburuk pada abad ke-20.

Memang mengilustrasikan penderitaan dan kemiskinan adalah taktik ampuh untuk mendapatkan reaksi dari orang lain. “Ada kecenderungan dari manusia, beberapa orang atau lebih yang ingin membantu. Iklan membuatnya lebih mudah, Anda menghubungi nomor telepon, menyumbang dan telah melakukan sesuatu,” ungkap fotografer Chester Higgins Jr. dikutip dalam CNN Health.

Senada dengan Higgins, menurut Ida rasa iba menjadi trigger dalam poverty porn, sehingga audiens memiliki kedekatan dan merasakan posisi orang tersebut. Masyarakat lebih menyukai tayangan yang berhubungan dengan mereka, daripada isu politik yang tak kunjung usai.

Stereotip negara berkembang

Mengapa hanya negara-negara di Afrika, Asia bahkan Timur Tengah yang kebanyakan dijadikan iklan untuk amal?

Higgins yang selama 20 tahun terakhir melakukan perjalanan di sepanjang Sungai Nil Biru, melalui Mesir, Sudan dan Ethiopia mengatakan, seringkali ia melihat gambar orang Afrika itu adalah “gambaran curian”. Maksudnya, gambar tersebut dibuat tanpa persetujuan subjeknya.

“Ciri khas poverty porn yang dibuat oleh fotografer non-Afrika adalah kurangnya kesopanan, martabat, dan karakter berbudi luhur. Fotografer, badan amal dan organisasi non-pemerintah yang mengeksploitasi situasi orang-orang yang sangat membutuhkan adalah ‘mucikari kemiskinan’,” kata mantan fotografer New York Times yang telah menginjakkan kaki ke Afrika sejak tahun 1971,

Gagasan bahwa hanya Afrika, Asia, dan Timur Tengah yang memerlukan bantuan barat telah menimbulkan stereotip bukan hanya terhadap individu tapi terhadap suatu negara, benua dan ras. Lebih jauh lagi, stereotip ini menimbulkan White Savior Complex, dimana orang kulit putih merasa menolong orang-orang non-kulit putih menjadi tanggung jawab mereka. Mereka merasa lebih unggul dan membuat perbedaan dengan orang non-kulit putih yang miskin dan tidak memiliki sumber daya, kemauan dan kecerdasan.

Padahal faktanya menurut Mark Rank, Professor Kesejahteraan Sosial di Universitas Washington di St. Louis dalam bukunya “One Nation, Underprivileged: Why American Poverty Affect Us All” bahwa Amerika Serikat sejauh ini memiliki tingkat kemiskinan tertinggi, serta tingkat kesenjangan pendapatan dan kekayaan tertinggi di antara negara-negara industri Barat lainnya.

Sebaliknya, jika kita berseluncur lebih dalam mengenai Afrika, ini menampilkan keberagaman. Afrika  memiliki arsitektur megah, mode, masakan, budaya, teknik, universitas, tambang berlian dan kepala negara perempuan. Semua itu tidak cocok dengan gambaran kemiskinan yang selama ini melekat.

Anggapan yang salah

Permasalahan akibat poverty porn ini begitu mengkhawatirkan. Ini membentuk anggapan dan pemberitaan yang salah. Poverty porn juga menggambarkan bahwa sumber daya materi seperti uang dan makanan adalah masalah sekaligus solusi. Padahal masalah kemiskinan adalah sesuatu yang kompleks dan membutuhkan penyelesaian yang tidak sederhana dengan mengeksplorasi akar masalah kemiskinan.

Orang terjerat kemiskinan bukan hanya karena malas atau sial. Bisa saja akibat isu politik, pendidikan, pemerintahan yang korup, atau kolonialisme zaman dulu atau isu lingkungan. Dan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan foto orang menangis atau memelas.

Ida menyampaikan, konten yang kreatif seharusnya menciptakan empowerment dan dapat menunjukkan dampaknya dalam keberlangsungan hidup. “Harus memiliki sense of crisis. Tidak hanya memiliki simpati, tapi juga empati. Bagi penikmat media, konten ini juga seharusnya tidak dijadikan orientasi, namun sebagai pembelajaran. Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain,” pungkasnya.

Higgins juga mendorong jika ingin menyumbangkan uang ke badan amal atau Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) jangan berdasarkan emosi. Sebaliknya, mintalah ukuran kebaikan apa yang mereka lakukan, karena “baik” adalah kata yang bisa diubah.

Higgins menyimpulkan bahwa kemiskinan materi dan kemiskinan jiwa adalah dua hal yang berbeda. Seperti kata pepatah, “Jika anda memberi seseorang ikan, dia akan makan untuk sehari. Jika anda mengajari seseorang memancing, dia akan makan seumur hidup”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *