digitalMamaID – Kasus pelecehan seksual anak TK oleh teman sekelasnya di Riau membuat publik marah. Kejadian karena anak meniru konten dewasa dari ponsel ayahnya. Hal seperti semestinya tidak boleh terjadi. Apa yang keliru?
Portal berita online memberi perhatian pada pelecehan seksual anak TK ini setelah kasusnya viral di media sosial. Seorang anak TK laki-laki berusia 5 tahun menjadi korban pelecehan seksual oleh teman sekelasnya. Hingga saat ini orangtua korban masih berusaha mendapat keadilan untuk anaknya.
Kronologi
Kasus ini ramai diperbincangkan setelah diunggah okeh akun X @tanyakanrl. Unggahan tersebut kemudian direspons oleh pengguna X @adawiyahriwan dengan membeberkan cerita kasus ini. Ia melampirkan penuturan orangtua korban yang disampaikan lewat akun Instagramnya. Kasusnya sendiri terjadi pada NOvember 2023.
“Aku rekap kasusnya ya. Jadi anaknya temenku ini cowok dan masih TK, nampak berubah suka menggesekkan penisnya ke ibunya, buka celana dan nungging. Ternyata anaknya adalah korban kekerasan seksual oleh temen TK-nya juga dan cowok juga,” tulis akun X @adawiyahriwan.
Menurut dia, perilalu tersebut setelah anak menjadi pelecehan seksual. Bahkan sudah terjadi sampai empat kali. Korban jadi meniru perintah pelaku. Ia menyebut, pelaku mengetahu tindakan-tindakan itu dari video porno yang tersimpan di ponsel ayahnya.
Sayanganya, tidak ada tindakan berarti dari sekolah atas kejadian ini. Sebab sekolah berpendapat, kejadian itu hanya main-main. Tidak ada intensi untuk melecehkan temannya. Orangtua korban tidak puas dengan respons sekolah ini.
Hai orangtua, jangan lakukan ini!
Program Manager Tular Nalar Santi Indra Astuti menilai ada beberapa persoalan literasi digital dari kasus ini. Ada beberapa kekeliruan yang seharusnya tidak dilakukan oleh orangtua.
Pertama, soal keamanan data. Di dalam gawai terdapat berbagai data dan informasi pribadi yang bisa disalahgunakn. “Dalam kasus ini, (data) bocor kepada pihak yang belum layak mengonsumsi. Lagian, apaan sih kaya gitu kok dikonsumsi dengan bebas. Jadi, keamanan data, los,” katanya saat dihubungi Rabu, 17 Januari 2024.
Kedua, masalah kontrol. Melihat kejadian ini, menurut Santi mengatakan, tidak mungkin ada kesengajaan ayah membagi atau menunjukkan konten langsung ke anak. Kemungkinan besar, anak mengakses konten tersebut sendiri tanpa pengetahuan orangtua. “Kok bisa? Berarti orangtua enggak mengontrol siapa saja yang menggunakan ponsel plus konten yang diakses. Jadi loose and lost control (longgar dan kehilangan kontrol),” kata pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bandung itu.
Ketiga, perkara konten. Tentu saja sebagai manusia dewasa, orangtua boleh memilih hiburan yang diinginkan. Akan tetapi, orangtua harus paham setiap konten punya batasan antara konten dewasa, remaja, dan anak. Seperti halnya tayangan televisi yang punya batasan usia penontonnya.
“Nah punya handphone dan punya storage (penyimpanan) itu ibarat kita punya lemari penyimpanan yang isinya bisa dibawa ke mana-mana. Di sini, isunya adalah pengelolaan atau manajemen konten. Konten di handphone itu mbok ya yang sifatnya general audience gitu. Jangan menyimpan konten berbahaya,” tuturnya.
Saat seseorang sembarangan menyimpan suatu konten, hal itu akan membahayakan bagi pengakses dan penyimpan. Konten bisa diakses oleh orang lain, termasuk anak-anak. Selain itu, sebagai penyimpan juga berbahaya karena setidaknya bisa merusak reputasi. Dalam kasus ini, kata Santi, orangtua tidak punya batasan konten yang aman dan tidak aman.
Orangtua jelas punya peran besar mengedukasi penggunaan gawai. Semestinya orangtua dan anak bersama-sama melakukan praktik baik dalam memanfaatkan teknologi.
Tips untuk orangtua
Di era serba canggih sekarang, orangtua perlu menerapkan parenting era digital. Santi mengatakan, orangtua yang siap melakukan digital parenting setidaknya harus berpegang pada:
1. Kemampuan mengelola akses
Orangtua harus memahami soal keamanan digital dan privasi digital. Hal ini penting untuk menghindari kebocoran data dan akses data tanpa izin.
2. Kemampuan mengelola konten
Orangtua harus bisa mengenali potensi harmful content atau konten yang membahayakan.
3. Kebijakan sharing
Inilah pentingnya pengetahuan tentang netiket dan kontrol terhadap gawai dan data.
4. Terapkan praktik baik penggunaan media
Penting bagi orangtua untuk mengetahui hak-hak digital dan bertanggun jawab
5. Perhatikan pola penggunaan media atau gawai di rumah.
Kebiasaan penggunaan media dan gawai harus dibangun orangtua dan dilaksanakan secara konsisten di tengah keluarga. Sehingga ada kedisiplinan dan kontrol dalam penggunaannya. “Enggak los begitu saja,” ujar Santi.
Menjadi orangtua di era digital memang tidak mudah, tapi juga tidak sulit jika kita menguasai literasi digital. Semoga kita bisa jadi contoh untuk anak-anak ya, Mama! [*]