digitalMamaID – Literasi digital untuk lansia memelukan perhatian khusus. Mereka merupakan kelompok rentan di ruang digital dengan jumlah yang cukup besar.
Perkembangan teknologi menyasar semua kalangan, tidak terkecuali warga lansia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lansia yang memanfaatkan teknologi melalui smartphone dalam melakukan berbagai aktivitas.
Namun, sebagian besar lansia belum mampu menggunakannya dengan cermat. Terutama dalam hal penerimaan informasi yang bersifat hoaks. Mereka tidak lagi memfilter dan mengevaluasi pesan tersebut.
Mirisnya, para lansia ini langsung membagikan informasi tersebut ke berbagai sosial medianya, terutama grup chating. Ini bertujuan, agar adanya pengakuan dari pihak lain tentang keberadaan mereka.
Lansia selama ini selalu tersisihkan karena dianggap sudah tidak produktif, merepotkan dan menjadi sumber masalah. Padahal, keberadaan warga lansia bisa dimanfaatkan dan diberdayakan. Literasi digital untuk lansia sangat diperlukan agar tidak rentan menjadi korban penipuan digital.
Baby boomer
Pengurus Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Rita Gani mengungkapkan, jumlah lansia di Indonesia pada 2021 sekitar 30,16 atau 11,01%. Terdiri dari 11,3 juta jiwa berusia 60-64 tahun, 7,77 juta berusia 65-69 tahun, 5,1 juta penduduk (16,94%) berusia 70-74 tahun, serta 5,98 juta (19,81%) berusia di atas 75 tahun. Jumlah ini diperkirakan selama 5 sampai 10 tahun mendatang akan bertambah. Perkembangan dunia digital pun tidak bisa dipisahkan dari lansia.
“Mereka adalah generasi yang mampu membeli tetapi tidak bisa menggunakannya secara cermat,” katanya.
Rita menuturkan, kelompok lansia pengguna internet disebut juga baby boomer. Dari data hootsuite tahun 2023 pengguna internet di Indonesia mencapai 76,7%, jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2021 yang hanya sekitar 73%.
Masih kata Rita, kenaikan tersebut tidak terlepas dari kondisi Covid-19. Sejak 2020, baik di Indonesia maupun dunia terjadi perubahan perilaku dan pola komunikasi yang membatasi kita tidak boleh kemana-mana.
“Sehingga, keterhubungan kita hanya pada dunia digital. Tapi, tingginya pengguna angka internet ini tidak dibarengi dengan sikap kritis atau tidak semuanya memiliki literasi media dengan baik,” tuturnya.
Rentan terjebak hoaks
Rita menjelaskan, secara definisi kemampuan literasi media itu bukan hanya soal mengakses tetapi bagaimana juga bisa menganalisa dan mengevaluasi pesan dalam konteks yang sangat beragam. Dulu, literasi media itu identik dengan membaca dan menulis saja. Seiring perkembangan zaman ternyata kemampuan membaca dan menulis ini juga beralih ke bidang visual dan audio.
“Dengan tingginya pengguna internet ini, kita perlu membuat beberapa aturan, poin yang kita sepakati bersama. Apa yang harus dan tidak boleh dilakukan di dunia digital. Dan mereka (lansia) sayangnya tidak sepenuhnya memahami hal ini,” ungkapnya.
Rita mengatakan, warga lansia rentan terjebak dalam konteks hoaks. Jadi, mereka memposting dan share apa saja di berbagai grup chating. Sering kali, ditemui dalam berbagai pelatihan dan kegiatan lansia ini mengaku menyebarkan pesan hoaks tersebut agar bisa menjadi yang pertama.
“Maksudnya, mereka tidak lagi memfilter informasi karena ingin menjadi yang pertama terlihat di kelompoknya atau orang lain,” ujarnya.
Rita mengungkapkan, topik hoaks yang disebarkannya pun beragam, terlebih mendekati tahun politik yang harus lebih diwaspadai. Lansia sendiri merupakan sumber kerepotan, artinya mereka mudah terprovokasi, cemas dan baperan.
“Oleh karena itu, lansia menjadi target penipuan digital. Mereka menjadi kalangan yang rentan digital, karena keterbatasan akses dan tidak ada yang mengajari,” ucapnya.
Untuk itu, pihaknya berharap bisa membekali lansia dengan kemampuan berpikir kritis sehingga tidak terjebak dalam penipuan digital, hoaks, dan hasutan kebencian. Menjadikan lansia sebagai agen literasi digital bagi lingkungannya agar tidak terjebak dalam penipuan digital, hoaks, dan hasutan kebencian.
“Serta mengembangkan support system bagi lansia dalam melatih dan menerapkan berpikir kritis,” ujarnya.
Karakteristik lansia di ruang digital
Lansia memiliki beberapa hambatan yang membentuk karakteristik kelompok lansia, yaitu:
- Hambatan kognisi, penurunan kemampuan kognitif untuk absorpsi dan memroses informasi.
- Hambatan teknologi, rendahnya kemampuan beradaptasi dengan teknologi.
- Hambatan fisik, keterbatasan mobilitas dan refleks karena penurunan fungsi otot, sensor inderawi, dan metabolisme.
- Hambatan intra-personal, biasanya bermuara pada perasaan tidak percaya diri karena terbawa pada anggapan umum bahwa lansia pasti gagap teknologi.
- Hambatan fungsional, biasanya terkait dengan kondisi tubuh secara fisik yang sudah mulai mendapatkan banyak tantangan kesehatan.
- Hambatan struktural, biasanya berhubungan dengan ketersediaan jaringan internet yang mempunyai karakter unik baik secara teknis maupun pilihan-pilihan paket kuota internet yang tersedia.
Literasi digital untuk lansia sama pentingnya dengan mempersiapkan anak-anak agar bisa aman berselencar di dunia maya. Kita punya tanggung jawab ganda, mempersiapkan anak-anak dan menjaga orangtua kita di ruang digital. Tampaknya inilah yang disebut dengan sandwich generation era digital. [*]