digitalMamaID – Gaya parenting seperti apa yang paling benar? Pertanyaan ini mewakili kebingungan orang tua masa kini. Semakin beragam informasi tentang gaya parenting, semakin sulit menentukan manakah pola asuh yang sebaiknya diterapkan.
Pengetahuan soal parenting berseliweran di media sosial. Orang tua bisa mengakses dengan mudah perkembangan ilmu parenting termutakhir.
Namun, saking banyaknya pengetahuan itu terkadang membuat orang tua bingung menerapkan pola asuh yang cocok untuk anaknya. Di lain sisi, orang tua menghadapi kekhawatiran rusaknya hubungan orang tua dan anak akibat kesalahan pola asuh.
Philippa Perry dalam bukunya The Book You Wish Your Parents Had Read mengatakan, orang tua tidak perlu memaksakan gaya parenting yang tidak cocok dengan tumbuh kembang anaknya. Setiap orang tua memiliki gaya parenting yang berbeda. Hal paling penting, kata dia, bagaimana orang tua bisa menjalin hubungan baik dengan anak.
Kesalahpahaman dalam pengasuhan anak juga tak bisa dihindari, entah karena mama dan papa kurang kompak dalam pengasuhan atau faktor lainnya. Tidak sedikit pola asuh yang terdahulu diwariskan kepada kita (orang tua) sehingga seperti mengulang masa kanak-kanak.
Mengulang pola asuh
Menurut Philippa, inti dari parenting adalah hubungan yang orang tua jalin dengan anak. Jika manusia diibaratkan tanaman, maka hubungan manusia itu tanahnya. Hubungan itu yang akan mendukung, memelihara, memungkinkan pertumbuhan atau menghambat perkembangan anak. Tanpa hubungan yang bisa menjadi sandaran, anak tidak akan memiliki rasa aman.
Menurutnya, anak membutuhkan kehangatan dan penerimaan, sentuhan fisik, kehadiran, cinta dan batasannya, pengertian serta pengalaman yang menyenangkan dalam pengasuhan. Namun dalam perjalanan pengasuhan anak tidak semudah itu, banyak faktor-faktor yang membuat pengasuhan anak tidak berjalan dengan maksimal.Seperti faktor ekonomi, waktu, sekolah, pola pengasuhan, lingkungan, pekerjaan dan lainnya.
Dari berbagai faktor tersebut, kata Philippa, yang paling kuat adalah pola pengasuhan. Maksudnya, pola pengasuhan orang tua terdahulu akan sangat mempengaruhi pola asuh orang tua kepada anaknya.
Ia mencontohkan, ketika kita (orang tua) marah atau emosinya meledak berlebihan kepada anak, begitulah cara yang dipelajari saat seusia mereka untuk membela diri dari perasaannya. Tanpa disadari, perilaku anak memicu perasaan masa lalu, yaitu keputusasaan, kerinduan, kesepian, kecemburuan, atau ketergantungan.
Pada akhirnya, orang tua akan memilih jalan yang mudah. Alih-alih berempati dengan perasaan anak, orang tua justru mengambil jalan pintas dengan marah, frustasi, atau panik.
“Masa lalu akan selalu menghantui. Secara tidak sengaja, kita (orang tua) akan meniru pola asuh dari orang tua kita terdahulu. Misalnya saat anak berbuat kesalahan, cara kita menegur anak hampir mirip dengan orang tua kita menegur di masa lalu,” tuturnya.
Untuk itu, kata dia, orang tua atau calon orang tua harus berdamai dengan masa lalu (masa kanak-kanaknya). Pelajaran buruk yang didapatkan bisa dihentikan dengan memperbaiki pola asuh. Agar rantai pola asuh yang buruk bisa terputus.
“Kita harus menelaah apa yang terjadi pada diri kita, bagaimana perasaan kita ketika itu dan bagaimana perasaan kita tentang hal itu sekarang,” ucapnya.
Merusak dan memperbaiki hubungan dengan anak
Masih kata Philippa, di era modern ini orang tua dituntut agar bisa menahan diri dalam pola pengasuhan, seperti tidak akan membentak, mengancam, atau membuat anak kita sedih. Namun, hal itu tentunya tidak realistis jika orang tua berpikir mampu melakukannya setiap waktu.
“Seorang psikoterapis berpengalaman saja tetap marah jika menjumpai anaknya berbuat kesalahan. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memperbaiki hubungan dengan anak. Jadi, bukan pada kerusakan yang kita buat,” ujarnya.
Untuk memperbaiki sebuah hubungan, lanjutnya, orang tua terlebih dahulu perlu mengubah responsnya. Maksudnya, mencari pemicu dan gunakanlah teori itu untuk bereaksi secara berbeda. Jika orang tua sudah menyadari pemicunya jangan sungkan untuk meminta maaf kepada anak. Meskipun, permintaan maaf itu dilakukan lama setelah kejadian.
“Tindakan ini sangat berarti untuk anak, bahkan ketika ia telah beranjak dewasa,” katanya.
Philippa menuturkan, orangtua sebaiknya tidak berpura-pura menjadi orang tua yang tidak pernah salah. Ini sama saja akan mengabaikan naluri anak. Dampak buruknya, anak akan kelewat patuh, tidak hanya terhadap ucapan orangtua tetapi juga terhadap siapa pun.
“Anak akan lebih rentan terhadap orang lain (selain keluarga). Naluri merupakan komponen utama kepercayaan, kompetensi, dan kecerdasan. Jadi, sebaiknya jangan mengungkung anak,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam hal ini orang tua boleh berbuat kesalahan namun secepatnya harus memperbaiki hubungan tersebut. Anak-anak tidak akan melakukan apa yang orang tua katakan, tapi mereka akan mencontoh apa yang orang tua lakukan.
Cara mengontrol emosi
Psikolog Anak Efni Indrianie menuturkan, emosi negatif terkadang bisa ditunjukkan oleh orang tua kepada anaknya. Penyebabnya pun bisa beragam, diantaranya adalah saat anak tidak menuruti perintah orangtuanya, sementara kondisi orang tua sendiri sedang berada dalam keadaan lelah atau sedang menghadapi masalah.
“Oleh karena itu, jika sudah terlanjur emosi kepada anak sebaiknya orangtua yang memulai untuk memperbaiki hubungan dengan anak,” ungkapnya.
Misalnya, kata Efni, dengan melakukan pendekatan dan meminta maaf karena sudah marah dengan berlebihan. Tidak perlu merasa gengsi atau malu. “Hal ini justru akan mengajarkan hal penting kepada anak,” ucapnya.
Pelajaran yang didapatkan dari hal tersebut, lanjut Efni, anak bisa mengakui kesalahannya saat ia melakukan kesalahan. Lalu, bersedia untuk meminta maaf terlebih dahulu. “Meskipun terkesan sederhana, namun kedua hal di atas sarat akan nilai moral,” tuturnya.
Masih kata Efni, jika orang tua terlanjur terpancing emosi atas perilaku anak langkah pertama yang bisa dilakukan adalah orangtua harus menyadari terlebih dahulu jika berada dalam keadaan marah yang luar biasa.
Selanjutnya, jika sudah menyadari kondisi tersebut sebaiknya kita menghindar terlebih dahulu dari sekitar anak. “Kendalikan nafas dalam posisi duduk, minum air putih hangat, dan tenangkan diri. Jika sudah tenang, maka kita bisa kembali ke anak,” tuturnya. [*]
1 thoughts on “Tak Perlu Memaksakan Gaya Parenting Tertentu”
Pingback: Fatherless, Bagaimana Ayah Bisa Absen dari Keluarga?