Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Ketimpangan Relasi

ilustrasi korban kekerasan seksual pada perempuan
Share

digitalMamaID – Kekerasan seksual masih menjadi persoalan besar, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Dua kelompok yang paling sering menjadi korban kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual pada perempuan bak gunung es, yang hanya terlihat puncaknya saja.

Sementara, jika ditelusuri kasus kekerasan seksual pada perempuan tidak akan pernah ada habisnya. Jeratan hukum yang masih lemah terhadap pelaku menjadi salah satu penyebabnya. Belum lagi, korban yang kerap disalahkan atas terjadinya kasus kekerasan seksual tersebut.

Stigma yang berkembang dan masih melekat di kalangan masyarakat membuat para korban kekerasan seksual ciut nyali untuk angkat suara. Sehingga, para pelaku merasa leluasa untuk memperdaya para korbannya. Bahkan, yang terjadi di banyak kasus pelaku bukan hanya sekali melakukan kekerasan seksual pada korbannya, tetapi berkali-kali.

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Komnas Perempuan pada dekade 2012 – 2021 mencatat sekurangnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual. Sedangkan, pada Januari hingga November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal.

Penyebab kekerasan seksual pada perempuan

Manager Program Women Crisis Center (WCC) Mawar Balqis, Sa’adah mengungkapkan, salah satu penyebab kekerasan seksual pada perempuan ialah masih kuatnya sistem patriarki di Indonesia. Sistem tersebut menganggap perempuan sebagai golongan kelas dua. Menganggap perempuan sebagai pihak yang suaranya belum diprioritaskan sehingga perempuan masih dianggap lemah.

Kemudian, kata dia, masih tingginya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan masih dipandang sebagai obyek bukan subyek. Perempuan masih dipersalahkan atas kasus kekerasan seksual. Padahal, mereka adalah korban. Penyebabnya, karena pakaian perempuan yang masih dianggap minim (tidak menutup aurat), dan seringnya melakukan aktivitas pada malam hari.”Perempuan yang sering keluar malam dianggap perempuan kurang baik,” katanya.

Namun, Sa’adah melanjutkan, faktanya banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual meski sudah menggunakan pakaian tertutup. Mereka juga sedang tidak keluar malam, tetap saja menjadi korban. “Jadi, alasan tersebut tidak relevan bahwa kekerasan seksual terjadi karena kesalahan yang dibuat oleh perempuan,” ucapnya.

Asumsi keliru

Abdul Rosyidi dan kawan-kawan dalam bukunya “Bahaya Laten Kekerasan Seksual” menjelaskan, ada sejumlah asumsi yang berkembang di publik selama ini tentang penyebab kekerasan seksual banyak terjadi pada perempuan dan anak.

Asumsi pertama mengarahkan kesalahan kepada perempuan. Dengan kata lain kekerasan seksual bersumber dari perempuan itu sendiri. Mereka disalahkan, karena bagian-bagian tubuhnya yang terlarang (aurat) di depan publik.

“Mereka tidak menutupinya atau tidak mengenakan jilbab/hijab. Perempuanlah yang menciptakan fitnah (menggoda dan memicu hasrat seksual) laki-laki,” ujarnya.

Masih katanya, anggapan-anggapan ini sungguh sangat sulit dipahami oleh logika cerdas, bersih dan kritis. Seseorang (korban) yang tidak melakukan suatu tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilihnya dinyatakan bersalah dan berhak dikecehkan.

“Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan jenis ini, terutama perkosaan terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik, melainkan juga terjadi pada perempun balita dan manula,” katanya,.

Kekerasan seksual juga terjadi pada istrinya atau terhadap darah dagingnya sendiri (incest) atau anak laki-laki terhadap orang yang melahirkannya (ibunya) atau sudara kandungnya. Kekerasan seksual juga terjadi kepada perempuan berjilbab.

Asumsi lainnya yang menyalahkan pelaku dengan basisi moralitas atau agama. “Kekerasan seksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau tak bermoral atau kurang pengetahuan agamanya. Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual pelakunya justru orang-orang yang terhormat atau yang dianggap terhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi,” ucapnya.

Ketimpangan relasi

Masih kata Sa’adah, sebetulnya kekerasan seksual pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan relasi pada masyarakat sehingga suara perempuan tidak didengarkan. “Ruang perempuan dibatasi untuk bisa berpartisipasi dalam segala hal yang sama dengan laki-laki,” ucapnya.

Selain itu, lanjutnya, tingginya angka kekerasan seksual juga disebabkan belum adanya payung hukum untuk melindungi para korban. “Dulu kan belum adanya Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Korban ini bukan hanya perempuan, bisa laki-laki atau gender lain juga,” ungkapnya.

Setelah adanya undang-undang TPKS, ternyata pelaksanaannya masih belum maksimal. Payung hukum lainnya juga belum dilaksanakan seutuhnya. “Seperti, undang-undang KDRT, perlindungan perempuan dan anak juga TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” tegasnya. Sehingga, yang menjadi pemenuhan hak korban masih belum terpenuhi.

Lalu penyebab lainnya, masih tingginya stigma yang diberikan kepada korban. “Korban jadi tidak berani untuk speak up dan itu juga yang membuat para pelaku kejahatan seksual merasa leluasa untuk mencari korban berikutnya,” ujarnya.

Stigma ini juga menjadi alasan bagi pelaku untuk terus mengulang perbuatannya, karena pelaku merasa aman dan bisa lepas dari jeratan hukum. “Untuk itu, menjadi PR kita semua agar menjalankan mandat undang-undang yang sudah ditetapkan,” ajaknya.

Cara ini juga, tambahnya, agar bisa memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual. Sehingga, korban tidak lagi takut untuk berbicara, mereka bisa menuntut hak-haknya.

“Ketika semakin banyak korban berani bicara, maka itu juga dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan juga menguatkan kepada setiap pemangku kepentingan untuk menjalankan mandat yang ada pada undang-undang,” ucapnya. [*]

1 thoughts on “Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Ketimpangan Relasi

  1. Pingback: Cegah Kekerasan Seksual pada Anak dengan Edukasi Seksualitas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID