digitalMamaID – Anak yang sudah memiliki kemampuan membaca, menulis, dan menghitung (calistung) sejak dini membuat kebanyakan orangtua merasa bangga. Sering kali kemampuan calistung pada anak usia dini dianggap sebagai nilai tambah atas pencapaian anak.
Bahkan, kemampuan calistung menjadi salah satu syarat wajib untuk masuk Sekolah Dasar (SD). Anak-anak yang masih di tingkat TK maupun PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) terpaksa harus mempelajari calistung agar mereka dapat diterima di jenjang pendidikan selanjutnya.
Namun, tahukah Mama dampak dari memaksa mempelajari calistung pada anak usia dini bisa berakibat buruk pada masa depannya. Meskipun memang, ada sebagian anak yang memang sudah siap untuk mempelajari calistung.
Tak dimungkiri, usia hingga lima tahun merupakan golden age atau periode emas kehidupan anak. Akan tetapi, tidak serta merta orang tua harus mengajarkan segala sesuatu kepada anak tanpa pentahapan.
Paling penting untuk diingat, orang tua harus mengetahui kesiapan anak dalam memberikan ilmu dan pengetahuan baru. Pasalnya, setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Harus disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya.
Dampak pemaksaan belajar calistung pada anak usia dini
Psikolog Anak, Efnie Indrianie mengungkapkan, jika dilihat dari tahapan kematangan fungsi kerja otak berdasarkan studi neuroscience,maka ada rambu-rambu yang sebaiknya diperhatikan. Usia 4-6 tahun disebut dengan tahapan pra-calistung.
“Pada tahap ini maka skill yang siap dikembangkan pada anak adalah mengenal dan menulis huruf dan angka. Mengenal kosa kata dan belajar menuliskannya, lalu berhitung sederhana, misalnya berapa jumlah benda,” paparnya.
Efnie mengatakan, saat anak memasuki usia 6 tahun, anak bisa dilatih dengan skill yang lebih dalam calistung. Misalnya membaca, menulis kalimat yang terdiri atas minimal 2 kata, berhitung (menjumlah dan mengurang), dan memahami inti kalimat sederhana.
Dampaknya jika anak dipaksa untuk belajar calistung, kata Efnie, akan memaksakan fungsi kerja otak yang belum matang (di bawah 6 tahun). Ini bisa membuat orangtua dan anak sama-sama mengalami frustrasi. Hasilnya bisa tidak maksimal karena fungsi kerja otaknya belum siap.
“Meskipun, ada beberapa anak yang siap, namun sebagian besar belum terlalu siap. Jika dipaksakan, bukan skill calistung yang meningkat namun justru hanya akan memancing hormon stres pada anak. Dalam kondisi stres, maka fungsi kemampuan berpikir anak akan mengalami penurunan,” ujarnya.
Perlu banyak bermain
Praktisi pendidikan Indra Charismiadji di kanal YouTube Inews Magazine menuturkan, anak-anak kecil itu harus sebanyak mungkin bermain agar dewasa nanti tinggal belajar dan bekerja bukan bermain karena sewaktu kecilnya kurang bermain.
“Memang, kebanyakan orang tua merasa bangga jika sedari kecil anak kita sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Padahal, itu membuat efek yang kurang baik di masa depan,”ucapnya.
Indra mengatakan, perlu diketahui, tingkat literasi pendidikan orang di Jakarta dan Denmark sangat jauh berbeda. Kemampuan literasi pendidikan diatas S1 di Jakarta sama dengan tingkat pendidikan SMP di Denmark. “Ini diakibatkan karena sewaktu kecil terlalu digembleng,” tegasnya.
Indra melanjutkan, ada penelitian lain yang menyatakan bahwa mereka yang literasinya tinggi, sewaktu kecil lebih banyak diceritakan, seperti dibacakan dongeng, dibandingkan mereka yang dipaksa untuk membaca sendiri.
Secara teori otak manusia yang dikembangkan sewaktu kecil adalah kecepatan otak dalam mempelajari bahasa dan kecepatan dalam menangkap orang bicara. “Yang harus dilatih dulu adalah kecepatan otak menangkap bahasa. Ada namanya istilah chunking skill atau memecahkan kalimat menjadi bagian kecil yang mudah dipahami,”ucapnya.
Jadi, jangan cemas dulu kalau anak Mama yang masih balita belum bisa membaca. Tidak apa-apa kalau teman lain sudah ada yang jago membaca. Baik anak-anak maupun orang tuanya kan tidak sedang berlomba. [*]