Kementerian Kesehatan Republik Indonesia baru-baru ini menerbitkan larangan obat sirup untuk anak. Larangan tersebut karena meningkatnya kasus gangguan ginjal akut pada anak yang berujung kematian.
Paracetamol atau obat sirup yang diduga mengandung etilen glikol akan langsung ditarik peredarannya di seluruh apotek di Indonesia. Pemerintah menghimbau masyarakat agar tidak membeli obat secara bebas. Pemberian obat pun harus dengan resep dari dokter.
Larangan obat sirup tersebut membuat orangtua khawatir, pasalnya obat sirup yang selama ini dikonsumsi dianggap obat paling mujarab untuk pereda sakit, khususnya paracetamol.
Obat penurun panas tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan anak, mengingat daya tahan tubuh anak masih rentan terinfeksi virus. Saat anak demam tiba-tiba, orangtua harus selalu menyetok obat penurun panas itu.
Larangan obat sirup ini membuat Lita, ibu dua anak asal Indramayu ini khawatir. Lita tak bisa membayangkan jika tak menyetok paracetamol di rumah mengingat salah satu anaknya memiliki riwayat kejang saat demam melanda.
“Sekarang kan susah mau beli obat di apotek harus ada resep dokter. Anak saya kalau demam tak pernah kenal waktu biasanya tengah malam,” tutur Lita.
Lita menjelaskan pertolongan pertama saat anaknya demam dengan memberikan paracetamol. Pasalnya, jarak antara rumah dan rumah sakit cukup memakan waktu. “Itu pun kalau di rumah sakitnya enggak ngantri bisa langsung ditangani,” keluhnya.
Lita juga menyayangkan informasi yang beredar masih simpang siur. Ia merasa kebingungan dengan banyaknya informasi yang didapatkan. “Kan awalnya paracetamol saja yang dilarang, eh sekarang semua obat sirup,” ucapnya.
Untuk mengantisipasinya, Lita mencoba memberikan pertolongan pertama pada anaknya dengan cara tradisional. “Pertama, dibalur dengan minyak hangat dan bawang merah tubuhnya. Terus kalau masih demam ya dipijit. Kalau masih belum reda pakai skin to skin contact dengan cara menempelkan anak ke atas dada, dan mengompres,” katanya.
Kementerian Kesehatan mencatat per 18 Oktober 2022 sebanyak 206 kasus dari 20 provinsi dengan angka kematian sebanyak 99 anak, dimana angka kematian pasien yang dirawat di RSCM mencapai 65 persen. Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Acute Kidney Injury (AKI) menyerang anak dibawah usia 5 tahun.
”Dari hasil pemeriksaan, tidak ada bukti hubungan kejadian AKI dengan vaksin COVID-19 maupun infeksi COVID-19. Karena gangguan AKI pada umumnya menyerang anak usia kurang dari 6 tahun, sementara program vaksinasi belum menyasar anak usia 1-5 tahun,” kata juru bicara Kemenkes, Syahril seperti yang dikutip dari laman Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes bersama BPOM, Ahli Epidemiologi, IDAI, Farmakolog dan Puslabfor Polri melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut. Dalam pemeriksaan yang dilakukan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi oleh pasien, sementara ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan AKI.
Saat ini Kemenkes dan BPOM masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif termasuk kemungkinan faktor risiko lainnya. Untuk meningkatkan kewaspadaan dan dalam rangka pencegahan, Kemenkes sudah meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirup, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.
Dalam larangan obat sirup untuk anak ini, Kemenkes juga meminta seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirup kepada masyarakat sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.
”Kemenkes mengimbau masyarakat untuk pengobatan anak, sementara waktu tidak mengkonsumsi obat dalam bentuk cair/sirup tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan.Sebagai alternatif dapat menggunakan bentuk sediaan lain seperti tablet, kapsul, suppositoria (anal), atau lainnya,” katanya.
Perlunya kewaspadaan orangtua yang memiliki anak balita dengan gejala penurunan jumlah air seni dan frekuensi buang air kecil dengan atau tanpa demam, diare, batuk pilek, mual dan muntah untuk segera dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat.
Gejala Gagal Ginjal Akut Pada Anak
Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak usia 6 bulan-18 tahun terjadi peningkatan terutama dalam dua bulan terakhir. Seiring dengan peningkatan tersebut, Kemenkes meminta orang tua untuk tidak panik, tenang namun selalu waspada. Terutama apabila anak mengalami gejala yang mengarah kepada gagal ginjal akut seperti ada diare, mual ,muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk serta jumlah air seni/air kecil semakin sedikit bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali.
Pastikan bila anak sakit, cukupi kebutuhan cairan tubuhnya dengan minum air. Lebih lanjut, gejala lain yang juga perlu diwaspadai orang tua adalah perubahan warna pada urine (pekat atau kecoklatan). Bila warna urine berubah dan volume urine berkurang, bahkan tidak ada urine selama 6-8 jam (saat siang hari), orang tua diminta segera membawa anak ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Himbauan IDAI Terkait Gangguan Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA)
Merespons persoalan ini, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengimbau:
Bagi Tenaga Kesehatan dan Rumah Sakit :
- Tenaga kesehatan menghentikan sementara peresepan obat sirup yang diduga terkontaminasi etilen glikol atau dietilen glikol sesuai hasil investigasi kementerian kesehatan dan badan pengawas obat dan makanan.
- Bila memerlukan obat sirup khusus misalnya obat anti epilepsi atau lainnya, yang tidak dapat diganti dengan sediaan lain konsultasikan dengan dokter spesialis anak atau konsultan anak.
- Jika diperlukan tenaga kesehatan dapat meresepkan obat pengganti yang tidak terdaftar dalam dugaan obat terkontaminasi atau dengan jenis sediaan lain seperti sppositoria atau dapat mengganti dengan obat puyer dalam bentuk monoterapi.
- Peresepan obat monoterapi hanya dapat dilakukan oleh dokter memperhatikan dosis berupa berat badan, kebersihan pembuatan, dan tata cara pemberian.
- Tenaga kesehatan diimbau untuk melakukan pemantauan secara ketat terhadap tanda awal GgGAPA baik di rawat inap maupun di rawat jalan.
- Rumah sakit meningkatkan kewaspadaan diteksi dini GgGAPA dan secara kolaboratif mempersiapkan penanganan kasus GgGAPA.
Bagi Masyarakat Umum :
- Masyarakat untuk sementara waktu tidak membeli obat bebas tanpa rekomendasi tenaga kesehatan sampai ditemukan hasil investigasi menyeluruh oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
- Masyarakat hendaknya tetap tenang dan waspada terhadap gejala GgGAPA seperti berkurangnya atau tidak adanya buang air kecil secara mendadak.
- Sebaiknya mengurangi aktivitas anak-anak khususnya balita yang memaparkan risiko infeksi (kerumunan, ruang tertutup, tidak menggunakan masker dan lain-lain).
Beberapa Cara yang Dapat Dilakukan Orangtua untuk Menghadapi Kasus GgGAPA, antara lain :
- Menyimpan sejumlah nomor rumah sakit Bila sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan, Mama bisa langsung menghubungi salah satu rumah sakit terdekat.
- Mengunduh aplikasi kesehatan, misalnya saja Halodoc, Alodokter, KlikDokter, Grab Health powered by Good Doctor, SehatQ, atau lainnya.
- Mencari tahu kandungan pada obat. Sebelum memberikan obat kepada si kecil sebaiknya Mama mencari tahu terlebih dahulu kandungan apa saja yang terdapat pada obat tersebut. Mama juga bisa mengunjungi situs cekbpom.pom.go.id atau bisa juga mengunjungi ionas.pom.go.id yang merupakan situs informasi obat nasional.
- Menghubungi hotline IDAI 08881999666 (hanya menerima chat, terbuka pukul 09.00-13.00 wib, akan dibalas dalam jangka waktu maksimal 3×24 jam).
- Berkonsultasi dengan Dokter
Jika jarak rumah Mama dengan rumah sakit cukup dekat, sebaiknya Mama jangan membuang-buang waktu. Bergegas ke rumah sakit menjadi pilihan.
1 thoughts on “Larangan Obat Sirup untuk Anak, Mama Catat Ini!”
Pingback: Cegah Kebingungan, Hanya Bagikan Informasi Valid di Media Sosial