Beberapa waktu lalu sempat lewat di beranda sosial media mengenai kasus pembunuhan anak yang dilakukan ibu kandungnya sendiri. Kasus ini mungkin bukan pertama yang pernah kita dengar, sebelumnya ada beberapa tragedi serupa. Di semua kasus tersebut, sang ibu mengatakan hal yang hampir sama: takut anaknya tidak bahagia di kemudian hari dan takut ia tidak bisa membahagiakan anak.
Mendengar cerita seperti ini membuat aku merinding, ingatanku traveling ke momen saat kelahiran Enver, anakku. Sebelum aku melahirkan dan menjadi ibu, kukira ibu yang depresi dan baby blues adalah mitos. Sama seperti semua orang yang menghujat ibu “pembunuh anak” ini, akupun mengira baby blues itu perkara kurang iman, kurang moral dan bahkan aku berpikir buruk bahwa ibu tersebut cari perhatian orang lain.
Tiga hari setelah melahirkan, aku merasa semua pikiran dan duniaku berubah. Saat itu ASI-ku belum sepenuhnya keluar, sedangkan anakku sudah sering menangis kelaparan. Aku mulai panik di rumah sakit karena mulai merasa sepertinya ini awal kegagalanku jadi ibu. Saat itu anakku beberapa kali akhirnya tertidur karena mungkin kelelahan menangis. Aku ingat keadaanku saat itu sedang kesakitan menahan hasil jahitan yang belum pulih seutuhnya. Entah kenapa, dimulai hari itu mentalku sudah terasa terguncang. Pelan-pelan aku berjalan ke toilet sambil menahan sakit pasca operasi caesar. Aku duduk di kloset dan melamun, gimana ya caranya supaya bisa istirahat, full tidur nyenyak. Terpikir pula olehku kenapa memberi susu anak ternyata tidak semenyenangkan itu. Juga pikiran lain seperti menyadarkan aku, sejak hari itu aku sudah tidak bisa memikirkan diriku sendiri, aku sudah harus memikirkan orang lain. Iya, nyawa seorang anak yang lahir dari rahimku.
Saat itu aku sendiri kewalahan menahan rasa sakit yang timbul pascaoperasi dan kurang istirahat. Perlahan aku menangis sendiri di toilet, saking kebingungan mana yang harus aku dulukan, istirahat sampai merasa pulih atau aku harus fight untuk memberi ASI untuk anakku, dua duanya penting menurutku, nyawa anakku penting tapi aku sendiri juga sama pentingnya. Hari itu, aku gagal lagi memberikan ASI untuk anakku. Dia seharian belum kenyang perutnya tapi berhasil tidur.
Besoknya, suster rumah sakit datang ke ruangan kamarku sambil mendorong baby box, di sana ada anakku sedang tertidur. Aku sudah semangat mau menggendong anakku, lalu suster membuka percakapan duluan “Ibu, perutnya masih sakit? ASI-nya belum keluar?” tanyanya. Aku mengangguk sambil bingung. Akhirnya dia menjelaskan bahwa bobot anakku menyusut karena belum ada asupan susu yang diminum. Kulihat anakku yang mungil itu gemetaran mungkin kelaparan, aku sedikit membeku tidak bisa berpikir harus menjawab apa, dan suster memberikanku pilihan untuk tandatangan surat perizinan memberikan susu formula untuk anakku, aku menyetujui pemberian susu formula karena ketakutan anakku akan lebih kelaparan jika menunggu ASI-ku keluar.
“Lihat nih, dedeknya enggak seceria biasanya badannya juga agak anget kayanya sakit” ucap suster lagi. Bayiku benar-benar mungil saat itu dan dia seperti tidak ada lagi energi untuk menangis karena kelaparan.
Saat itu, aku tidak bisa membendung lagi rasa sedih yang aku rasakan, tangisku pecah dalam pelukan suamiku. Aku sendiri bingung kenapa saat itu sedihnya keterlaluan, pikiranku mendadak berlarian kesana kemari. “Bagaimana kalau nanti aku sama sekali enggak bisa menjamin hidupku dengan baik? Bagaimana nanti ketika besar anakku makin kelaparan? Sekarang saja anakku sudah tidak terjamin hidupnya dengan aku,” pikiran itu berdatangan silih berganti tanpa bisa kukendalikan. Sejak hari itu, setiap jam waktu salat asar sampai jam 8 malam aku selalu merasa sedih dan diam-diam menangis, aku mulai merasa bersalah melahirkan anakku. Di benakku muncul perkataan, “Kemarin padahal anak ini tenang di dalam rahimku, kenapa kemarin dipaksa keluar caesar ya, coba aja kemarin didiemin ya sudah dia enggak usah merasa menderita ngerasain kelaparan kayak gini”
Setiap ketahuan menangis, suamiku memeluk sambil bilang, “Bukan masalah besar kok kasih susu formula, enggak apa apa anaknya masih sehat kok.” Tapi sebenarnya, bukan itu yang aku khawatirkan. Bukan masalah memberi susu formulanya, tapi aku mulai sadar sejak hari pertama anakku lahir, ia harus struggle menanggung beban hidup di dunia ini, kelaparan belum diberikan ASI adalah contoh kecil refleksi betapa sulitnya kita hidup di dunia ini. Sambil memandangi anakku, aku juga mengingat-ingat bahwa aku baru bisa bertanggung jawab atas diriku sendiri. Aku mulai stres karena aku juga menanggung hidup anak. Kalau dibilang tidak ikhlas mengurus anak, bukan itu jawabannya. Aku sedikit kebingungan saja mana yang harus aku prioritaskan, diri sendiri atau anak.
Karena ASI-ku masih menjadi sorotan para suster, akupun diberikan training khusus cara meng-ASI-hi oleh mereka, anakku terpaksa tidur di ruang bayi agar perkembangannya lebih terpantau (sebelumnya anakku tidur dengan aku di kamar). Jam 4 pagi telepon kamar berdering. Suster dari ruang bayi memanggilku untuk datang mencoba lagi menyusui Enver secara langsung. Suasana ruang bayi terasa aneh saat itu. Mungkin ada lebih dari 15 bayi yang tidur di sana. Mereka tampak damai dan tenang. Lalu terpikirkan kembali olehku, bayi-bayi ini menyesal tidak ya dilahirkan? Mereka tahu tidak ya kehidupan tenang mereka hanya bertahan selama 9 bulan dalam rahim, sisanya mereka sudah mulai bisa stres, ya stres kelaparan lah, stres tidak nyaman dengan popoknya lah, lalu stres lagi kehidupan masa akan datang itu sangat kejam menurutku. Dunia sekarang sudah tidak sedamai dulu. Tangiskupun pecah kembali di dalam ruangan bayi berbarengan dengan tangisan anakku yang kelaparan lagi. Suster datang dan menjemput anakku, dia bilang enggak apa apa hari itu Enver diberikan lagi susu formula. Aku lihat mata anakku, suci dan polos, perasaan bersalah karena ia terlahir dari seorang ibu sepertiku datang lagi.
Selama tiga minggu, aku sering menangis tiba-tiba sampai aku mengira aku gila. Sering saat lihat anak, aku berpikir, “Kalau anakku ternyata tiba-tiba meninggal, mungkin itu hal terbaik untuk dia kali ya.” Aku pikir lebih baik dia tidak tahu apa-apa tentang dunia ini, tidak usah merasakan paitnya struggle atau tanggung jawab hidup. Saat itu, sepertinya suamiku sudah jengkel dengan keadaanku, ia bilang aku terlalu keseringan dengar cerita tentang baby blues, jadinya aku mudah terdoktrin. Aku semakin bingung, semakin aku berusaha menutupi rasa sedih, semakin sulit aku mengontrol emosi. Keadaanku mulai membaik ketika aku curhat pada tanteku, dia tidak menyangkal perasaanku, dan memvalidasi kesedihan yang aku rasakan. Ia bilang keadaan seperti ini wajar dan dialami semua ibu, dan mengenai ketakutanku tentang kehidupan anakku nanti, ia menenangkan dan meyakinkan aku bahwa kita punya kadar struggle dan bahagia dengan porsinya masing-masing, kok. Entah kenapa, aku mendadak tenang dan tidak merasa bersalah lagi, aku juga sudah tidak menangis menyesal melahirkan anak setelah keresahanku dimengerti oleh orang lain.
Aku mungkin salah satu orang yang beruntung karena akhirnya mendapatkan support untuk bisa dimengerti perasaannya. Di luar sana aku sangat miris karena ternyata sedikit sekali ibu terutama yang baru melahirkan dapat dikelilingi oleh orang-orang yang bisa memahami dan mengerti keadaan mereka.
Sekarang mungkin aku sadar, kalau trigger terbesar aku merasa bersalah adalah karena sebelum melahirkan aku masih menikmati kegiatan yang bisa aku lakukan sendiri seperti kerja, me time, bermain bersama teman-teman dan aku mulai sadar hal itu tidak dapat aku lakukan sepenuhnya ketika aku punya anak. Sebelum melahirkan juga aku sering bersedih sendiri tapi selalu kuatasi dengan mengurung diri sendiri di kamar sampai perasaannya membaik. Perasaan menyesal melahirkan anak itu mungkin muncul karena aku sendiri memiliki perasaan cinta yang terlalu besar pada anakku tapi sekaligus kaget karena harus mulai berhenti memikirkan diri dan sadar sudah tidak ada ruang untuk aku bisa sendirian.
Aku jadi sedikit mengerti ketika ada ibu yang sampai membunuh anaknya. Tidak, aku tidak membenarkan tindakan tersebut. Sama sekali tidak, tapi jika diberi kesempatan, aku ingin peluk ibu itu. Pasti dia saat itu sedang kacau hidupnya, sampai anaknya lahir dia pasti merasa tidak yakin dapat memberikan kebahagiaan untuk anaknya. Kebayang enggak, dia sendiri sedang bingung untuk solusi hidupnya lalu dia sudah harus memikirkan nyawa orang yang lahir dari rahimnya. Saking terpuruknya, sang ibu pasti tidak bisa menyaring pikiran dia sendiri. Aku yakin dia pasti berpikir, kalau dia ditinggal mati oleh anaknya, yang menderita cuma dia karena kesedihan anaknya tidak ada dia akan dihantui rasa bersalah seumur hidup, tapi anaknya sudah bahagia bisa tinggal dalam surga. Pasti dia berpikir kalau harus ada tukar nyawa, dia ingin dia yang tetap hidup dan anaknya mati, agar anaknya merasa damai di surga, dan tinggal dia yang menanggung beban dunia ini.
Tidak banyak orang tahu, pikiran itu ada di beberapa ibu, termasuk aku sendiri. Sekali lagi, kebetulan aku diselamatkan oleh orang-orang yang mengerti dengan keadaanku sehingga mereka bisa menenangkan aku dan meyakinkan aku bahwa kehidupan ini akan baik baik saja untuk anakku. Aku tidak tahu diluar sana ada berapa lagi ibu yang harus menanggung emosinya sendiri, menanggung bebannya sendiri, tanpa dipahami dan dimengerti. Pasti di luar sana masih banyak ibu yang mendapat pasangan suami tidak tahu diri, yang menyuruh istrinya terus hamil dan urus anak sendiri, padahal perkara mengurus anak adalah tanggung jawab bersama.
Bahkan sampai detik ini, setiap aku curhat mengenai feeling guilty melahirkan anak, sedikit orang yang mengerti pikiran aku. Sisanya banyak sekali yang menghakimiaku kurang iman, Bahkan aku juga enggak tahu tulisanku, pikiranku ini dapat dimengerti oleh mereka atau tidak.
Fadhila Humaira
2 thoughts on “Kecemasan Ibu Itu Nyata, Jangan Hakimi Mereka”
Keren mah
Ibu hebat banget. Semoga tulisan ini dibaca semua orang dan perasaannya sampai pada mereka 🙂
Aku terharu karna memvalidasi perasaan seperti ini juga sulit..
Semoga Ibu dan anak ibu sehat-sehat..