Kesehatan Mental: Perempuan Indonesia Lebih Rentan Depresi

Share
Menyaksikan satu per satu orang di sekitar terpapar Covid-19, orang-orang tersayang berpulang, pekerjaan melayang, ruang gerak terbatas, pekerjaan yang tak ada habisnya. Tekanan bertubi-tubi membuat perempuan mengalami burnout. Alarm untuk memberi perhatian pada kesehatan mental.

Heni, ibu dua anak yang tinggal di Bogor mengaku mudah cemas. Hatinya tak pernah tenang. Ia dihantui ketakutan bagaimana jika ia atau suaminya terpapar virus corona. “Kalau saya sakit, siapa yang mengurus anak-anak? Sebisa mungkin saya menjaga diri dan keluarga,” katanya kepada digitalMamaID, September lalu.

Apa yang ia khawatirkan terjadi. Suaminya terkonfirmasi terpapar Covid-19 setelah ada rekan kerja yang meninggal dunia karena virus ini. Seluruh keluarga harus menjalani tes. Hanya suaminya yang terpapar virus. Meski tak menunjukkan gejala, ia menjalani isolasi mandiri terpisah dari keluarga karena Heni mengidap asma.

Ketika gelombang Covid-19 berada di puncak, Heni menerima kabar duka silih berganti dari keluarga dan tetangga. Ia semakin cemas. Berbagai perlengkapan untuk mengurangi risiko disiapkan. Meski harus merogoh kocek lebih dalam, ketersediaan perlengkapan seperti masker, hand sanitizer, juga sabun antikuman, tak bisa ditawar.

Protokol kesehatan di rumah diperketat. Suami selalu membawa bekaml makanan dari rumah, barang-barang dari rumah harus dibersihkan sebelum masuk, anak-anak pun sementara dilarang bermain di luar. Ia tak mau ambil risiko. Ia melihat orang-orang banyak yang abai. “Orang-orang banyak yang percaya hoaks. Ada yang terlalu fanatik hingga lupa pentingnya ikhtiar. Banyak yang percaya kepada yang bukan ahlinya,” tuturnya.

Ia merasa tertekan dengan situasi yang serba tak menentu, ruang gerak terbatas, dan berbagai kekhawatiran yang tak kunjung hilang. Puncaknya pada Mei 2021. Ia mengalami burnout. “Sampai saya bilang ke suami, tolong saya, jiwa saya sakit. Akhirnya mencari tahu ke psikiater karena sudah mempengaruhi aspek kehidupan saya,” katanya.

Ia terdiagnosa menderita major depresi dan post traumatic stress disorder (PTSD). Sudah sekitar empat bulan ia berobat ke psikiater. Ia juga mengikuti berbagai seminar dan diskusi online terkait kesehatan mental.

“Pertama kali konsultasi langsung nangis begitu ditanya kabar. Alhamdulillah dokternya ramah sekali dan hati-hati dalam menanggapi cerita saya,” tuturnya.

Menurut Heni, perempuan harus sehat jiwa dan raga. Seba ia memegang peranan kunci di keluarga. Maka itu, begitu ia merasa tidak nyaman ia tidak segan meminta bantuan. Kesadaran itu bukan tanpa perjuangan. Perjuangan Heni sangat panjang untuk sampai di titik ini.

“Saya sudah mulai percobaaan bunuh diri sejak SMP hingga sekarang. Dulu enggak ngerti kenapa sih sering sakit, ternyata otak saya yang bermasalah. Bukan kurang iman, bukan krn kurang ibadah,” tuturnya.

Ia beruntung bisa belajar tentang kesehatan mental dari seorang teman online. Temannya ini lebih dulu berobat ke psikiater. “Dia mengidap autoimun dan depresi sedang, ada gejala schizophrenia. Dia harus mengurus ibunya. Ibu beliau ODGJ (orang dengan gangguan jiawa). Perjuangannya masya Allah. Saya banyak belajar dari sana,” tuturnya.

Trauma masa lalu

Pendemi membuat kelompok yang rentan mengalami persoalan kesehatan mental semakin berisiko. Seperti yang dialami Lia (28), ibu dua balita yang tinggal di Kabupaten Bandung. Sebelum pandemi datang, ia punya riwayat panjang mengatasi persoalan kesehatan mental.

Trauma masa lalunya belum pulih sepenuhnya. Waktu masih kecil ia menjadi korban pelecehan seksual. Ketika sudah dewasa ia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Orangtuanya berpisah ketika dia masih anak-anak. Kini ia tinggal bersama ibunya yang terdiagnosa menderita schizophrenia.

“Ditambah pandemi ini yang membuat saya semakin terkurung di rumah, tidak bisa kemana-mana. Hampir 24 jam saya mendengar ibu saya teriak-teriak, ngamuk-ngamuk, membuat saya rasanya ingin meledak,” katanya.

Smenetara ia khawatir untuk keluar rumah. Ia takut membawa virus dan menularkan kepada orang serumah. Tapi ia sudah tidak bisa lagi mengelola emosinya. Ia memutuskan untuk meminta bantuan seorang psikiater di rumah sakit.

“Saya memberanikan diri keluar rumah, naik kendaraan umum, ketemu orang di luar rumah, dan mendatangi tempat yang tadinya saya sangat takut datangi karena takut tertular virus, ke rumah sakit. Tekad saya sudah bulat, saya memberanikan diri,” ucapnya.

Dari desa tempat tinggalnya, ia membutuhkan waktu paling cepat 1,5 jam untuk sampai ke rumah sakit yang mempunyai poli kejiwaan. Ongkos transportasinya tidak murah. Demi kesehatan mental, ia terabas semua halangan.

Pandemi menjadi pukulan telak bagi Lia yang sekian lama berusaha bertahan dari berbagai persitiwa traumatis dalam hidupnya. Sayangnya, dampak pandemi pada kesehatan mental tidak menjadi perhatian. “Orang hanya melihat fisik seseorang. Terlihat masih hidup, berarti dia masih survive. Padahal, saya sendiri merasakan bagaimana perasaan dan pikiran ini luar biasa campur aduk, banyak sekali kekhawatiran,” katanya.

Ketika perempuan mencari pertolongan profesional sering dianggap sebagai bentuk kelemahan. Lemah iman, kurang dzikir, tidak berserah. Sheila (33), ibu dua anak yang kehilangan suami akibat Covid-19 merasakan hal itu. Lingkungan kerap tidak mendukung, tidak memahami pentingnya kesehatan mental. “Jadinya kesadaran bawa kita sedang tidak baik-baik saja juga enggak gampang. Ini bukan soal tinggi rendahnya iman. Bukan soal bagaimana menerima ketentuan Allah, tapi melewati ini semua itu bagaimana,” katanya.

Lewat internet, Sheila mencari tahu dan bergabung dengan berbagai workshop bagaimana mengatasi kehilangan orang tercinta. Pandemi membuat orang harus berduka dengan cara yang asing. Ia kemudian mendapat pendampingan dari tenaga profesional. Biayanya tidak murah, tapi menurutnya, sepadan dengan manfaat yang ia rasakan. Ia bisa memilih pendamping yang memiliki keahlian yang ia butuhkan dengan waktu yang fleksibel. Selama tiga minggu kondisinya dipantau. Ia kini bisa mengelola emosinya lebih baik.

Ia beruntung mempunyai teman-teman yang menyediakan diri untuk membantu. Bahkan mereka membuat pertemuan virtual untuk membantu Sheila menata kembali hidupnya.

“Kalau kita happy, anak-anak juga happy. Jadi kita buat diri kita waras dulu. Emosinya akan menular. Di sebuah keluarga, kunciannya itu ada di perempuan,” katanya.

Lebih rentan

Elvin Gunawan, dokter sepsialis kejiwaan yang berpraktik di Bandung mengatakan, secara biologis, perempuan dua kali lebih rentan mengalami depresi. Hal ini dipengaruhi oleh hormon perempuan yang tidak stabil.

Pada setiap fase kehidupan, perempuan juga lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Pada fase pencarian identitas diri, perempuan lebih banyak mengalami perundungan. “Saat fase menikah dan punya anak juga rentan. Setelah melahirkan juga rentan. Setiap fase hidupnya rentan denga kesehatan jiwa,” katanya. Ini yang menyebabkan secara umum, punya risiko lebih tinggi mengalami depresi dibandingkan laki-laki.

Di Indonesia, kondisi ini diperparah dengan faktor psikologi yang dipengaruhi budaya. Hal itu berpengaruh pada pola asuh yang berbeda antara anak perempuan dengan laki-laki. “Sejak kecil diajarkan bagaimana jadi perempuan. Bagaimana perempuan harus bisa melayani suami, membantu mencari uang, tidak boleh mengeluh. Kalau mengeluh dianggao lemah, kamu baru punya anak dua saja udah mengeluh, dulu ibu-ibu punya anak 12 tidak mengeluh. Tekanan ini datangnya dari perempuan lain, akhirnya merasa tertekan,” tutur ELvine.

Kesehatan mental perempuan Indonesia pada situasi normal sudah mengalami tekanan, kini diperburuk dengan pandemi. Pandemi memperlihatkan keluarga-keluarga mana saja yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental.

Covid-19 membawa ketakuatan yang luar biasa. Penyakit ini juga membuat orang kehilangan dukungan orang sekitar, pada banyak kejadian oarng yang terpapar Covid-19 justru dijauhi. Sehingga orang semakin khawatir. Saat terpapar, timbul rasa bersalah yang besar. “Ini yang menyebabkan PTSD. Ditambah ada budaya perempuan tidak boleh mengeluh. Emosi yang intens jadi tidak bisa diekspresikan. Emosinya tidak mendapat validasi,” kata Elvine.

Riset Kesehatan Dasar 2018 yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi depresi pada penduduk umur di atas 15% di Indonesia ialah 6,1%. Dari angka itu, hanya 9% saja yang sudah menjalani pengobatan. Lebih dari 90% belum mendapat perawatan.

Meski belum ada penelitiannya, Elvine menduga, angka stres atau depresi perempuan selama pandemi ini merangkak naik. Pekerjaan yang harus dikerjakan di rumah, sekolah anak-anak yang juga dari rumah ini menambah beban perempuan. Ruang gerak yang terbatas konflik di rumah meningkat. “Akhirnya burnout,” kata Elvine.

Jangan abaikan burnout

Burnout atau kelelahan emosional ini seharusnya sudah menjadi alarm untuk memperhatikan kondisi kesehatan mental.  Jika fase ini dibiarkan berlarut-larut, seseorang bisa kehilangan tujuan hidup. Ia tak lagi punya semangat untuk melakukan sesuatu.

Menurut Elvine, ada beberapa tanda yang menunjukkan kesehatan mental seseorang telah terganggu:

  1. Bangun tidur tidak semangat.
  2. Perawatan diri tidak terabaikan
  3. Menarik diri dari kehidupan sosial
  4. Mengerjakan sesuatu jadi asal-asalan, tidak sesuai dengan standar yang sudah ia tetapkan sendiri.
  5. Lebih sering marah-marah

Elvine mengingatkan agar tanda-tanda ini tidak diabaikan begitu saja. “Kalau sudah punya anak, pelampiasan utama jadi ke anak. Kalau marah ke anak akhirnya membuat merasa bersalah. Menyalahkan diri sendiri justru membuat lebih depresi,” katanya.

Beban akibat depresi bisa berkurang setengahnya dengan bercerita. Namun harus diingat, tidak semua orang siap menampung keluh kesah orang lain. Sehingga bercerita kepada psikiater atau psikolog menjadi pilihan yang lebih baik.

Elvine mengakui, urusan kesehatan mental tidak menjadi prioritas dalam penanganan pandemi Covid-19. Ada baiknya, pemerintah daerah, perusahaan, atau setiap lembaga mulai mengambil langkah untuk menyediakan layanan kesehatan mental perempuan. “Dengan membuka ruang-ruang curhat itu juga cukup. Sediakan satu orang khusus, memberi ruang untuk perempuan curhat,” katanya.

Secara ilmiah, depresi bisa dipulihkan dalam waktu enam bulan. Jika ruang-ruang bercerita itu bisa semakin banyak, kesehatan mental perempuan akan bisa segera dipulihkan.***

 


Liputan ini merupakan bagian dari program fellowship untuk jurnalis perempuan Citradaya Nita 2021 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). digitalMamaID menjadi kolaborator peliputan tentang dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mental perempuan. Tulisan lainnya bisa dibaca di sini.

2 thoughts on “Kesehatan Mental: Perempuan Indonesia Lebih Rentan Depresi

  1. Pingback: Tradisi Mudik Tetap Lestari Meski Teknologi Makin Canggih

  2. Pingback: Pembunuhan Anak oleh Ayah Kandung Meningkat, Mengapa Bisa Terjadi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID