Pandemi merenggut banyak jiwa. Mereka yang ditinggalkan harus menghadapi beratnya perpisahan sunyi. Tanpa kata perpisahan, tanpa pelukan terakhir, tanpa teman dan handai taulan. Menyeret kesehatan mental perempuan ke titik nadir.
Beberapa bulan belakangan, semua orang sedang mempersiapkan diri untuk memasuki masa new normal. Akan tetapi, tidak bagi Sheila (33). Bagaimana mungkin mempersiapkan sebuah kenormalan baru, jika ia merasa hidupnya tidak normal lagi. Pandemi menghantam keras kesehatan mental perempuan dengan dua balita ini. Sampai detik ini, ia masih berjuang memulihkan diri.
Aktivitas Sheila sebelum pandemi tipikal perempuan bekerja di kota besar. Ia melakoni hidup sebagai komuter yang menempuh perjalanan pagi dari Tangerang menuju Jakarta dan kembali saat matahari bersiap tengelam. Menikah dengan pria yang ia cintai, karir yang menjanjikan, dan dua buah hati yang menawan. Ia bahagia.
Lalu pandemi datang tanpa aba-aba. Sheila yang baru saja kembali bekerja setelah cuti melahirkan anak kedua, harus memulai ritme kerja baru. Meski bekerja dari rumah tak selalu mulus, ia bisa menikmati situasi baru ini. “Toh penghasilan tidak berkurang, waktu lebih fleksibel, masih bisa disesuaikan,” katanya kepada digitalMamaID pada penghujung September lalu.
Tanpa pesan terakhir
Bahtera keluarga itu oleng ketika gelombang kedua Pandemi Covid-19 menerpa Indonesia pertengahan tahun ini. Juni lalu keluarganya dinyatakan positif Covid-19. Sheila dan anaknya harus menjalani isolasi mandiri. Sementara suaminya yang mengalami gejala lebih berat dirawat di rumah sakit. Saat berjuang memulihkan kesehatan, suaminya meninggal dunia. Seperti dihantam badai, Sheila limbung.
“Saya kehilangan suami, tapi seperti tidak ada apa-apa. Saya tidak bisa melihat jenazah, keluarga tidak bisa datang. Tidak seperti situasi normal. Saya tidak dapat sentuhan untuk menenangkan hati. Ini yang jadi berat,” katanya.
Perpisahan dengan suaminya sungguh sunyi. Ia tak berada di sisi untuk merapalkan doa di telinga. Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada kecupan selamat tinggal, tidak ada pesan terakhir.
Pada situasi normal, rumah duka biasanya ramai didatangi orang. Silih berganti sanak keluarga dan teman datang mengantar doa dan memberi kekuatan keluarga yang ditinggalkan. Itu semua hilang saat pandemi.
“Belum lagi saya harus memberi penjelasan ke anak. Teman banyak, mereka siap membantu. Situasinya seperti ini, mereka juga bingung mau bantu bagaimana. Ini situasi yang baru untuk semua orang. Saya ingin ketemu orang, tapi juga enggak bisa,” ucapnya.
Sheila harus melanjutkan hidup di tengah kekalutannya. Ia tak bisa tidur. Pikirannya tak bisa berhenti memikirkan, mengapa harus dia yang mengalami semua ini. Ia jadi lebih emosional. Ia menyadari, dirinya sedang tidak baik-baik saja. Bukan karena ia tidak punya cukup iman. Bukan karena ia tak bisa menerima ketetapan Yang Maha Kuasa. Ia tak tahu bagaimana menghadapi situasi asing ini.
Ia khawatir kondisinya akan mempengaruhi dua buah hatinya yang masih balita. “Mereka yang paling tidak berdaya. Sementara dengan tekanan terlalu banyak, kami bisa sama-sama tantrum. Tidak bisa menyalurkan emosi dengan baik,” tuturnya.
Pada titik ini, Sheila akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Ia perlu pertolongan agar ia bisa melewati masa berdukanya. “Sampai sekarang saya masih nangis, tapi saya sudah tahu bagaimana mengatasinya. Emosi jadi lebih tersalurkan,” ucapnya.
Duka dan luka
Pandemi seperti tidak memberi ruang untuk berduka. Lala (34) menguatkan diri karena tak bisa pulang mengantarkan ibunda tercinta ke peristirahatan terakhir. Ibunya berpulang karena Covid-19 pada 2020. Ketika itu, Covid-19 sedang gawat-gawatnya.
Lala yang tinggal di Bandung terpaksa melewatkan pemakaman ibunya di Jakarta. Dua anaknya masih balita. Terlau berisiko untuk membawa anak bepergian lintas kota. Baru satu tahun kemudian, Lala menyambangi makam ibunya.
Sebagai ibu, melindungi anak-anak dari wabah ini menjadi perhatian utamanya. Berada di rumah saja menjadi keputusan terbaik demi keselamatan keluarga. Meskipun itu berarti, ia kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Sebelumnya, perjalanan antar jemput anak sulung ke taman kanak-kanak ialah aktivitas me time favoritnya.
Pandemi memaksa sekolah menutup ruang kelas dan tempat bermain anak. Kegiatan belajar berlangsung dari rumah masing-masing. Ibu menjadi tokoh penting selama pembelajaran jarak jauh ini. Tak hanya jadi ibu, mereka juga harus jadi guru. “Ternyata (mendampingi anak belajar) menghabiskan langsung stok kesabaran yang cuma sedikit,” ujarnya.
Kewaspadaan terus-menerus menguras energi para ibu. Di tengah kelelahan fisik dan mental itu, Lala kehilangan ibunya. Duka yang harus dilewati dengan cara yang asing itu meninggalkan luka. “Kesehatan mental saat pandemi ini sangat menantang dan saya harus bertahan,” ucapnya.
Kehilangan kedua
Pandemi Covid-19 juga merenggut dua hal yang berharga bagi Ika (24), seorang ibu yang tinggal di Bandung. Sebelum pandemi, Riska adalah seorang ibu bekerja. Pandemi membuat perusahaan tempatnya berkarir merumahkan karyawannya. Ia harus mengucapkan selamat tinggal pada pekerjaan yang telah ia tekuni bertahun-tahun.
Ika tidak lagi mandiri secara finansial. Sebelumnya ia bisa membantu kedua orangtuanya dari penghasilannya sendiri, kini tidak lagi. “Suami memang bertanggung jawab memberi nafkah, tapi tetap beda rasanya. Sejak sebelum menikah saya sudah mandiri,” ujarnya.
Di tengah perubahan besar itu, Ika merasakan kebahagiaan ketika dinyatakan hamil anak kedua. “Setelah aku kehilangan (pekerjaan), ternyata Allah memberi rezeki,” katanya.
Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Kehamilannya bermasalah, sehingga ia harus melahirkan bayi prematur. Buah hatinya hanya bertahan satu jam setelah lahir. Hatinya patah berkeping-keping. “Seperti kepingan puzzle. Sakitnya melahirkan berganti dengan sakitnya kehilangan,” katanya. Sebuah pukulan yang mempengaruhi kesehatan mentalnya.
Berduka di situasi pandemi tidak mudah. Kontak fisik dengan orang lain masih terbatas. Sedangkan media sosial tidak selalu menjadi kawan yang baik saat berduka. Respons yang diterima, kadang tidak seperti yang ia harapkan. “Coba mereka bisa memahami posisiku. Inginnya sih berkomentar yang bijak atau tidak usah komentar sama sekali,” ujarnya.
Kesehatan mental yang sedang tidak baik membuat fisiknya turut memburuk. “GERD (Gastroesophageal reflux disease) jadi seringkambuh beberapa bulan belakangan ini,” ujarnya. Gara-gara ini, ia mempertimbangkan diri untuk menemui psikolog. Ia khawatir, kondisi kesehatan mental yang terganggu bisa membahayakan dirinya.
Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan yang berpraktik di Bandung mengatakan, kehilangan pasangan saat pandemi akan lebih berat karena proses berduka harus dilewati sendirian. Tidak jarang, hal itu justru menimbulkan rasa bersalah. “Saat berduka, orang ingin diantar, didampingi tapi jadi tidak bisa. Ia harus beradaptasi kehilangannya sendirian sampai akhir,” katanya.
Banyak yang tidak selesai dengan fase dukanya. Akhirnya menormalkan kondisi itu. Kasus seperti ini semakin banyak dijumpai. Apalagi dalam budaya ketimuran perempuan sering diminta untuk tidak mengeluh. “Kalau mengeluh malah dibilangin, yang susah bukan kamu doang,” ujarnya. Emosi perempuan seolah tidak valid. Padahal, setiap orang mempunyai batas masing-masing dalam mengelola emosi. Jika beban terus dibiarkan menumpuk tanpa ada yang tersalurkan, suatu saat pertahanan dirinya akan jebol.
Mengakses layanan kesehatan mental, baik psikiater maupun psikolog, jadi opsi terbaik. Sebab tidak semua orang terbiasa dan siap menerima keluhan orang lain. Bantuan profesional ini penting untuk membantu seseorang melewati masa dukanya dengan baik.***