digitalMamaID — Mama mungkin sudah mengikuti banyak influencer di media sosial. Berbagai jenis influencer dengan mudah bisa kita temui. Dari mulai influencer kesehatan, infuencer kecantikan, keuangan sampai dengan influencer politik. Kehadiran influencer kini bukan hanya menghibur, tapi juga menjadi sumber informasi dan referensi bagi kita saat bermedia sosial. Namun, apa jadinya jika setiap influencer diwajibkan punya sertifikat resmi sebelum membuat konten? Itulah yang kini sedang diterapkan di Cina.
Tren influencer di Indonesia bermula pada awal 2000-an, saat era blog sedang naik daun. Para blogger seperti Enda Nasution dan Raditya Dika menjadi pelopor karena tulisannya yang inspiratif dan menghibur. Dalam perkembangannya, blog yang awalnya diisi oleh tulisan pribadi, berubah menjadi sarana promosi dengan memasukkan iklan didalamnya.
Masuk ke era microblog atau media sosial pada 2010-an. Era di mana semua orang bisa menjadi influencer. Platform seperti Instagram dan TikTok membuka peluang baru bagi siapa pun untuk berbagi konten dan mendapatkan banyak pengikut. Namun, di balik popularitasnya, muncul masalah baru. Publik menjadi sulit membedakan mana opini jujur dan mana iklan terselubung.
Bila Mama ingat, kasus seperti Indra Kenz dan Doni Salmanan, dua influencer yang menipu pengikutnya lewat investasi bodong Binomo, jadi pengingat betapa besar pengaruh kreator atau influencer di masyarakat.
Aturan Cina soal influencer
Melihat dampak besar influencer, pemerintah Cina mengambil langkah tegas. Dikutip dari CNBC, Cyberspace Administration of China (CAC) kini melarang influencer membuat konten tentang topik sensitif seperti keuangan, kesehatan, hukum, dan pendidikan tanpa ijazah atau sertifikat profesional di bidang tersebut.
Aturan yang berlaku sejak 25 Oktober 2025 mewajibkan platform besar seperti Douyin (TikTok versi Cina), Weibo, dan Bilibili untuk memverifikasi para kreatornya. Influencer juga harus menandai konten yang menggunakan AI atau mengutip hasil penelitian. Bahkan, iklan untuk produk medis, suplemen, dan makanan kesehatan dilarang untuk mencegah promosi terselubung yang disamarkan sebagai video edukatif.
Menurut CAC, tujuan utama kebijakan ini untuk mengurangi misinformasi dan menjaga agar publik mendapat informasi akurat dan bisa dipercaya. Namun, kebijakan ini juga memunculkan perdebatan, apakah langkah tersebut merupakan upaya menjaga kualitas informasi, atau justru bentuk baru dari pembatasan kebebasan berekspresi di ruang digital?
Edukasi atau propaganda
Menurut Santi Indra Astuti, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA), kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari karakter politik dan budaya Cina. “Cina memang punya kebijakan yang strict dalam pengontrolan bermedia sosial. Termasuk juga dalam membuat konten. Ya, tentu ada tujuan edukasi di situ. Di samping juga menjadi propaganda untuk mendukung program-program pemerintah,” katanya saat dihubungi digitalMamaID, Selasa, 4 November 2025.
Santi menilai, meski kebijakan tersebut kerap dikritik karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi, di sisi lain konten di Cina justru terlihat lebih terarah yakni edukatif serta mengajarkan nilai-nilai moral berbasis family values, tradisional, disiplin yang sesuai dengan perilaku hidup budaya Cina.
Antara pembatasan dan kualitas informasi
Kebijakan ini memicu reaksi beragam di dunia maya. Sebagian warganet mendukung, karena dianggap mampu memperbaiki kualitas konten dan menekan hoaks. “Sudah saatnya orang yang benar-benar ahli memimpin percakapan,” tulis salah satu pengguna Weibo seperti yang dikutip dari CNBC.
Namun, tak sedikit yang menentang. Mereka khawatir kebijakan ini akan mempersempit ruang diskusi. “Bisa jadi nanti opini pribadi pun harus disertai izin resmi,” tulis pengguna yang lain.
Menurut Santi, niat pemerintah Cina sebenarnya baik, yakni ingin mengendalikan misinformasi di masyarakatnya. Tapi ada batas tipis antara menjaga kualitas informasi dan membatasi kebebasan berpendapat. “Untuk menegakkan kualitas informasi, titik tolaknya adalah bertanya apa yang paling baik diberikan kepada masyarakat, bukan apa yang tidak boleh diberikan pada maskarakat,” ujarnya.
Santi melihat pemerintah memang punya tanggung jawab menjaga mutu informasi publik. Namun, pembatasan juga bisa menjadi alat untuk menekan perbedaan pendapat. “Mengendalikan misinformasi bisa menjadi strategi untuk mengontrol kebebasan berekspresi. Pemerintah dapat melabeli pandangan yang berbeda sebagai misinformasi jika tidak sejalan dengan norma atau ideologi resmi,” kata Santi.
Ia juga menambahkan, praktik semacam ini tidak hanya terjadi di Cina. “Di Indonesia pun kadang pendapat yang berbeda dari arus utama bisa dengan mudah dilabeli ‘hoaks’,” tambahnya.
Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia
Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah memiliki badan khusus yang menangani sertifikasi profesi yakni Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Konten kreator termasuk di dalamnya, namun aturan ini belum diwajibkan secara resmi.

Jika aturan seperti di Cina diterapkan di Indonesia, menurut Santi, hasilnya bisa positif sekaligus menimbulkan tantangan baru. “Saat ini justru saya melihat di masyarakat muncul kerinduan untuk mengkritisi para kreator konten yang sering sekali memang memunculkan konten yang tidak berkualitas dan tidak bermutu,” ungkapnya.
Hal ini disebabkan banyak kreator konten yang justru mendapatkan keuntungan dari konten kontroversial atau sensasional. Karena itu, kebijakan penertiban bisa menjadi angin segar bagi publik yang rindu akan tontonan mendidik. Namun, Santi juga mengingatkan agar kebijakan semacam ini tidak membatasi kesempatan edukasi bagi semua orang.
“Kalaupun nanti pemerintah menerapkan kedaulatan terbesar, kontrol terbesar harus datangnya dari publik,” katanya.
Ia menegaskan, kebebasan berekspresi di ruang digital harus dibarengi dengan tanggung jawab. “Ketika mereka bebas sebebas-bebasnya ya akhirnya kontennya jadi nggak bermutu,” ujarnya.
Literasi digital sebagai solusi
Bagi Santi, solusi jangka panjangnya bukanlah pembatasan, melainkan literasi digital. Masyarakat yang cerdas secara digital mampu menilai mana konten berkualitas, mana yang menyesatkan.
Santi menganalogikan sertifikasi ini dengan label pada makanan. “Lihat deh sekarang makanan yang ada di sekitar kita, ada yang berlabel halal dan ada yang berlabel non halal atau ada makanan yang tanpa label. Nah, masyarakat mau pilih yang mana silakan aja disesuaikan dengan kebutuhannya tapi semua tentu punya resiko sendiri-sendiri,” ujarnya.
Dengan begitu, publik punya dasar untuk mengkritisi dan memilih konten secara sadar. Pada akhirnya, seleksi alam akan terjadi. Pada akhirnya, creator atau influencer yang berintegritas dan memberi nilai positif akan tetap bertahan karena dipercaya masyarakat.
Pelajaran penting dari kebijakan Cina adalah perlunya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab moral dalam menyebarkan informasi. Santi menyarankan agar pemerintah Indonesia menekankan pendekatan edukatif daripada larangan. “Biarkan ruang ini (digital-red) menjadi ruang yang demokratis. Pemerintah menyediakan ruang tapi sekaligus juga mengajarkan pentingnya hak dan kewajiban,” ujar Santi.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas, dan media untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat. Santi mengingatkan bahwa dalam kebijakan pembangunan partisipatif, setiap pihak memiliki tugas dan harus berkolaborasi untuk mencapai kondisi terbaik yang diinginkan masyarakat. [*]






