Belakangan ini, dunia kecantikan kerap dihiasi oleh istilah berawalan eco — mulai dari ecofriendly, ecobag, ecoproduct, hingga ecobeauty. Namun, bila diselami lebih dalam, ecobeauty bukan sekadar label ramah lingkungan yang ditempel di kemasan kosmetik. Istilah ini sejatinya menyatukan dua hal yang tak bisa dipisahkan: eco (ekologi) dan beauty (keindahan).
Kecantikan sejati, pada dasarnya, tidak pernah berdiri sendiri. Ia hidup dari, oleh, dan bersama alam. Kulit kita tumbuh dari air dan tanah yang sama dengan jenis bunga-bungaan yang kita sukai, dan punya khasiat alami dalam perawatan. Semua ini, berkelindan saling berkesinambungan, tak mungkin ada kulit sehat tanpa udara yang bersih. Tak mungkin ada rona di wajah perempuan yang alami, tanpa peran sinar matahari yang terfilter dengan baik oleh lapisan ozon. Bahkan tabir surya dengan SPF setinggi apa pun tidak akan mampu menggantikan perlindungan yang diberikan lapisan bumi pada kulit kita.
Dengan kata lain, dunia kecantikan, tak akan bisa terlepas dari proses alami lingkungan di sekitar kita.
Kecantikan yang berakar pada alam
Saya mempelajari makna kecantikan alami ini, tak semata-mata dari teori ketika saya sekolah teknik kecantikan kulit tingkat dasar dan mahir, tetapi dari pengalaman langsung. Beberapa tahun lalu, saya mengelola klinik kecantikan kulit berbasis bahan alami — di saat sebagian besar klinik kecantikan kulit, berfokus pada teknologi yang menawarkan hasil instan dengan teknik laser, peeling kimia, dan serum mutakhir.
Bagi banyak orang, keputusan untuk mendalami khasiat nutrisi dari alam, dianggap langkah mundur. Tapi bagi saya, justru di situlah letak arah keunikannya dan punya pasar yang lebih tersegmentasi: yaitu kembali kepada yang alami. Saya percaya bahwa tubuh manusia, terutama kulit, memiliki kecerdasan alami yang mampu memulihkan diri jika kita memberinya proses dan bahan yang tepat.
Saya bekerja dengan bahan-bahan sederhana: menggunakan masker bengkoang dan masker-masker alami sebagai bahan dasar proses pengelupasan kulit wajah (exfoliating). Bahan yang sering dianggap “kuno”, tapi menyimpan pengetahuan berusia ratusan tahun tentang keseimbangan kulit yang alami. Namun, di pasar yang dipenuhi materi promosi “serba-instan” dan hasil cepat, menjual sesuatu lewat proses alami memang tidak mudah.
Realitas industri kecantikan modern
Menurut Euromonitor International (2024), nilai pasar industri kecantikan dan perawatan diri di Indonesia mencapai US$ 9,2 miliar (sekitar Rp143 triliun) dan diproyeksikan tumbuh rata-rata 8,1% per tahun hingga 2028. Laporan Statista (2025) memperlihatkan bahwa segmen skincare menjadi yang paling dominan, menyumbang 41% dari total industri, dengan konsumen muda sebagai pasar utama.
Namun, BPOM RI dalam Laporan Tahunan Kosmetika 2024 mencatat bahwa hanya 11% produk kosmetik baru di Indonesia yang benar-benar memanfaatkan bahan alami lokal. Sisanya, lebih dari 80% menggunakan bahan aktif sintetis atau hasil impor.
Meski begitu, kabar baik datang dari arah yang lain. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dalam Wellness and Traditional Beauty Outlook 2024 mencatat adanya kenaikan 27% pelaku usaha perempuan di sektor wellness and traditional beauty. Sebagian besar berbasis komunitas dan memanfaatkan bahan lokal seperti rempah dan minyak alami.
Fenomena ini menandakan kebangkitan kesadaran baru: bahwa perempuan mulai kembali menggunakan teknik perawatan kecantikan yang alami, berdasarkan bahan baku kosmetika industri.
Siapakah Sunan Ambu?
Sebagai perempuan yang besar di kawasan Jawa barat (baca: Sunda), saya mempelajari dan mengenal sosok Sunan Ambu sejek kecil — figur perempuan sakral dalam kepercayaan Sunda lama, atau dikenal juga dengan Susuhunan Ambu atau Ibu yang Dimuliakan. Ia adalah penguasa kahyangan, ibu dari para pohaci (dewi kesuburan dan air), penjaga keseimbangan antara langit dan bumi.
Nama Sunan Ambu muncul dalam kisah Lutung Kasarung dan Mundinglaya Dikusumah, dua cerita rakyat besar yang mengajarkan nilai kasih, kebijaksanaan, dan kesetiaan terhadap alam. Dalam kisah itu, Sunan Ambu digambarkan sebagai sosok yang tidak memberi mukjizat instan kepada manusia, melainkan menuntun mereka untuk melalui proses kesadaran — proses menjadi manusia seutuhnya.
Dalam pandangan saya, Sunan Ambu adalah simbol arketipe perempuan perawat — penjaga ritme alam, pelindung kehidupan, dan pengingat bahwa segala sesuatu yang indah memerlukan waktu untuk tumbuh. Ia adalah ibu semesta yang merawat dunia, sebagaimana seorang ibu merawat anaknya dengan sabar dan kasih.
Ecobeauty: Filosofi yang merawat dan bukan instan
Bila dikaitkan dengan dunia modern, filosofi Sunan Ambu sangat dekat dengan gagasan ecobeauty. Bukan hanya karena keduanya sama-sama berpihak pada alam, tetapi karena keduanya menekankan etika dalam perawatan.
Banyak orang memahami ecobeauty sebatas kosmetik dengan kemasan biodegradable atau bahan alami. Padahal, maknanya jauh lebih dalam. Ecobeauty adalah kesadaran bahwa merawat diri harus sejalan dengan merawat lingkungan. Bahwa kulit kita, rambut kita, dan bumi kita berasal dari satu sumber kehidupan yang sama.
Kita tidak akan memiliki kulit sehat bila udara tercemar. Tidak akan ada rambut kuat bila air mengandung logam. Tidak akan ada kecantikan sejati bila alam sedang sekarat, dan seharusnya manusia yang hidup dari hasil alam, melindunginya.
Bahasa Indonesia sendiri menyiratkan keterhubungan antara alam dan tubuh: alis bagai semut berderet, dagu bagai lebah bergantung, bibir bagai merah delima. Alam menjadi ukuran keindahan — dan sekaligus pengingat, bahwa kecantikan manusia hanyalah pantulan dari kecantikan bumi.
Dalam perjalanan saya sebagai pebisnis kecantikan kulit, saya belajar bahwa merawat adalah bentuk perlawanan yang subtil sekaligus progresif. Perlawanan terhadap logika pasar yang mengukur cantik dari hasil instan tanpa mengindahkan kesehatan, dan perlawanan terhadap cara pandang yang menjadikan tubuh perempuan sekadar objek visual.
Setiap kali saya melihat pelanggan tersenyum setelah berbulan-bulan menjalani perawatan alami, saya tahu: kecantikan yang lahir dari kesabaran memiliki kondisi yang jauh lebih sehat. Itu bukan hanya hasil dari bahan alami, tapi hasil dari hubungan yang sehat antara manusia, waktu, dan alam.
Seperti ajaran Sunan Ambu, kecantikan sejati lahir dari keseimbangan, bukan percepatan.
Kini, di dunia yang mengukur sesuatu dengan kecepatan. Wajah-wajah di layar tampak semakin seragam. Kata glowing menjadi tolok ukur tunggal narasi soal kecantikan. Namun, di tengah kilau artifisial itu, saya percaya kita sedang rindu pada sesuatu yang lebih dalam: rindu pada Ibu Bumi. Sunan Ambu, dalam kebijaksanaannya yang abadi, seolah bagian dari narasi alami menyoal perempuan dan kecantikan: “Rawatlah tanah seperti kamu merawat kulitmu. Bersihkan air seperti kamu membersihkan wajahmu. Dan cintailah bumi seperti kamu mencintai anakmu.”
Di situlah hakikat ecobeauty: sebuah spiritualitas perempuan modern yang tidak hanya mempercantik tubuh, tetapi juga memuliakan bumi. Sebuah kesadaran bahwa tubuh ini bukan sekadar milik kita, melainkan titipan dari Ibu Semesta yang perlu dijaga dengan cinta kasih dan semangat keberlanjutan (Sustainable Spirit).
Maka, setiap kali saya menyalakan lilin dengan wewangian melati di pagi hari dan mengoleskan minyak zaitun ke wajah, saya tahu — saya sedang merawat lebih dari sekadar kulit. Saya sedang merawat diri, dengan kebijaksanaan dari para ibu yang datang sebelum saya, dan mungkin makna dari legenda Sunan Ambu, adalah sebuah tradisi kecantikan kulit, yang mengedepankan bagaimana menjadi cantik seutuhnya dengan berdaya guna, terutama pada alam sekitar.
Foggy FF
Seorang kosmetologis. Selain itu, ia aktif menjadi seorang penulis esai dan pegiat literasi, di Bandung.Penulis dapat dihubungi melalui Instagram @halamanhalimun dan email halamanhalimun@gmail.com.






