digitalMamaID — Peristiwa ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan untuk tidak lagi menormalisasi praktik bullying yang selama ini dianggap biasa saja.
Ledakan terjadi di SMAN 72 Jakarta pada Jumat, 7 November 2025. Ledakan tersebut mengakibatkan 96 siswa terluka dengan 29 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit. Polisi tengah menyelidiki pelaku ledakan tersebut yang masih berstatus seorang pelajar. Polisi juga mengamankan barang bukti dan mendalami motif pelaku melakukan aksi nekatnya yang diduga karena bullying.
Fenomena bullying ini kembali menjadi sorotan di dunia pendidikan. Seolah membuka tabir bahwa aksi bullying tidak pernah ada habisnya karena lemahnya sistem pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti tidak henti-hentinya mengingatkan agar sekolah jangan pernah menormalisasi praktik bullying di lingkungan sekolah. Kasus ledakan ini juga merupakan sinyal agar pihak sekolah benar-benar merespons dan mengusut tuntas jika terjadi perundungan di lingkungan sekolah mereka.
“Kasus dugaan korban bullying yang berujung balas dendam anak korban dengan kemampuannya membuat dan meledakan bom molotov di SMAN 72 Jakarta mengejutkan publik nasional dan memberi sinyal bahwa bullying belum menjadi pengarusutamaan di banyak sekolah, hampir di semua jenjang dan meliputi mayoritas sekolah di Indonesia,” kata Retno dalam keterangan tertulis yang diterima digitalMamaID, Minggu, 9 November 2025.
Menurut Retno, penanganan kasus bullying di sekolah masih sering keliru, tidak berpihak pada korban, dan tidak sesuai dengan ketentuan Permendikbud Ristek 46/2023 tentang Pencegahan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Sehingga tidak jarang orangtua korban yang merasa tidak puas memilih melaporkan ke kepolisian.
Retno juga beranggapan, menormalisasi bullying di sekolah akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, baik anak korban, saksi maupun pelaku. Belum lagi, selama ini pelaku perundungan kerap berlindung di balik kata “bercanda” sebagai alasan perundungan, padahal jelas sekali bahwa bullying sangat berbeda dari bercanda.
“Bully sangat jauh berbeda dengan bercanda karena kalau bercanda kedua pihak tertawa bahagia, sedangkan bullying satu pihak tertawa dan pihak lain tersakiti dan tertindas,” tegas Retno.
Karena itu, mantan Komisioner KPAI Periode 2017-2022 ini juga mengingatkan sekolah-sekolah untuk membuat kanal khusus pengaduan kekerasan. Bukan hanya itu, pihak sekolah pun harus membentuk satuan tugas tim pencegahan dan penanganan kekerasan (PPK) di sekolah.
“Sekolah-sekolah harus memiliki kanal pengaduan lengkap dengan nomor kontak, email maupun medsos yang dapat diakses para korban dan saksi tanpa rasa takut karena dilindungi kerahasiaannya, ini amanat Permendikbud Ristek 46/2023,” ujarnya.
Retno mengingatkan, prinsip pencegahan ini wajib dilaksanakan sekolah termasuk berbagai upaya lainnya seperti sosialisasi pencegahan bullying kepada para siswa, menggelar kelas parenting dan mengadakan pelatihan bagi Tim PPK sebagaimana amanat Permendikbud Ristek 46/2023.
Meskipun sudah ada aturan ini, menurut Retno, masih banyak tim PPK tidak sepenuhnya menerapkan pedoman ini karena ketidaktahuan. Bahkan, mereka tidak pernah membaca aturan tersebut.
“Padahal amanat pembentukan Tim PPK justru ada dalam Permendikbud Ristek lengkap prinsip-prinsip kerja Tim PPK,” imbuhnya.
Menurut Retno, penanganan kasus kasus Kekerasan di satuan pendidikan harus menjadi tanggung jawab Tim PPK untuk menerima laporan, memeriksa, sampai rekomendasi, oleh karena itu sangat mendesak untuk Tim PPK mendapatkan pelatihan untuk memahami Permendikbud Ristek 46/2023 tentang PPKSP.
“Sekolah-sekolah semua jenjang bekerjasama dengan Komite Sekolah untuk melakukan program pencegahan kekerasan melalui sosialisasi kepada para siswa dan kelas parenting secara berkala sebagai upaya pencegahan kekerasan. Lebih baik mencegah daripada mengobati,” ujarnya.
Korban bullying bisa berubah menjadi pelaku
Psikolog Meiri Dias Tuti, M.Psi menyebutkan, korban bullying bisa bertransformasi menjadi pelaku kekerasan ketika tekanan yang dialami tidak mendapatkan jalan keluar. Proses itu seringkali berjalan perlahan dan tanpa disadari oleh korban.
“Ketika seseorang menjadi korban bullying dalam waktu lama, ia bisa mengalami frustasi dan mencari cara untuk menyalurkan rasa sakitnya. Di era media sosial seperti sekarang, ia juga bisa terpapar informasi yang memperkuat cara berpikir atau bahkan mendorongnya untuk melakukan tindakan tertentu,” ujar Meiri dikutip dari IDN Times.
Belum lagi korban tidak memiliki ruang aman untuk melawan sehingga memilih menyimpan amarahnya dalam diam, kemudian menyalurkan melalui perilaku yang agresif. “Kadang, anak-anak atau remaja tidak bisa melakukan problem solving secara tepat. Mereka menanggapi dengan cara yang salah, misalnya membalas agar orang lain merasakan hal yang sama. Ini yang bisa berbahaya,” kata Meiri.
Alarm bagi dunia pendidikan
Psikolog Islam dari Universitas Ibnu khaldun, Prof. Dr. Imas Kania Rahman menyoroti peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta tidak berbeda dengan kasus pembakaran pesantren di Aceh sebagai alarm bagi dunia pendidikan. Karena peristiwa meledakkan sekolah dan membakar pesantren tidak lahir begitu saja.
Menurut Imas, tindakan ekstrim ini muncul dari rasa dendam yang tumbuh akibat luka psikis yang tidak tertangani dan kebutuhan dasar untuk diterima serta diperlakukan adil yang tidak terpenuhi.
“Dendam itu muncul karena luka batin yang dibiarkan terlalu lama, itu bukan karena masalah besar yang tidak bisa dihadapi, tapi karena luka kecil yang disimpan terlalu dalam, hingga menjadi api yang membakar,” tuturnya dikutip dari Radar Bogor.
Lebih jauh, ia memaparkan, dendam yang tumbuh dari perasaan diperlakukan tidak adil bisa berujung pada keinginan untuk melawan sistem, bukan sekadar individu. Siswa yang nekat meledakkan sekolah atau membakar pesantren kemungkinan besar marah pada sistem yang dianggap gagal melindungi dirinya.
“Kalau dendamnya kepada orang tertentu, tindakannya pasti personal. Tapi kalau sampai menyerang lembaga, berarti dia kecewa pada sistem. Dia merasa sudah berusaha mencari keadilan, tapi sistem tidak berpihak padanya,” imbuhnya.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lonjakan tajam kasus kekerasan di dunia pendidikan sepanjang tahun 2024, dengan total 573 kasus. Angka ini naik hingga dua kali lipat dibandingkan 2023 yang mencatatkan 285 kasus, dan pada tahun tahun sebelumnya JPPI mencatat 194 kasus di 2022, 142 kasus di 2021, dan 91 kasus di 2020. Jika dirata-rata, setiap harinya akan ditemukan minimal satu kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia.
“Jika dirata-rata, setiap hari ditemukan setidaknya satu kasus kekerasan di dunia pendidikan. Dengan 573 kasus sepanjang 366 hari di 2024, ini menunjukkan adanya masalah serius yang harus segera ditangani,” kata Ubaid dikutip dari website JPPI. [*]






