Tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Biasanya yang terbayang pasti sosok-sosok gagah berani di medan perang kan? Tetapi kali ini kita akan coba lihat pahlawan dari sudut pandang yang lebih dekat, lebih personal, yaitu dirimu sendiri!
Tahukah Mama, kalau ternyata ada jejak cinta tanah air yang heroik dalam setiap tetes ASI yang kita berikan?
Tak hanya memberikan nutrisi terbaik, menyusui juga jadi aksi implementasi bela negara di era krisis iklim. Serius!
Nasionalisme zaman now itu butuh aksi nyata yang melindungi kehidupan bangsa. Di tengah isu krisis iklim yang makin genting, menyusui adalah salah satu bentuk tanggung jawab kolektif kita dalam memelihara lingkungan.
Praktik ini sesederhana namun sefundamental itu, lho, dalam menciptakan aksi nasionalisme yang ramah lingkungan.
Coba deh kita bandingkan. Studi akademisi Julie P. Smith dari Australian National University jelas banget bilang bahwa produksi susu formula itu butuh industri besar yang menghasilkan plastik, limbah, dan menyebabkan degradasi lingkungan.
Hitungan jejak karbonnya pun lumayan ngeri, diperkirakan mencapai 11-14 kgCO₂ per kilogram bubuk susu!
Sebaliknya, ASI adalah makanan alami dan organik, bebas limbah dan polusi. Seperti yang ditegaskan oleh Ketua Divisi Riset Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Andini Pramono, dalam laman laman Aimi-asi.org, ASI itu makanan alami tanpa limbah karena tidak butuh pabrik, bahan bakar, atau kemasan plastik.
Nah industri susu formula justru sangat bergantung pada rantai pasok intensif energi yang menghasilkan emisi karbon tinggi, deforestasi, dan konsumsi air besar-besaran.
Jadi, setiap kita menyusui, kita juga sedang mengurangi emisi karbon nasional. Keren banget, kan?
Implementasi nilai Pancasila
Mungkin kita sering berpikir, implementasi nilai Pancasila harus lewat tindakan super besar atau heroik bela negara. Padahal, nilai kepahlawanan itu bisa lahir dari ruang domestik, dari hati seorang ibu.
Nasionalisme tak bisa dilepaskan dari hubungan ontologis manusia dengan alam yang merupakan anugerah Tuhan. Dalam hal ini, menyusui menjadi praktik spiritual sekaligus ekoteologis, sebagai bentuk syukur dan memenuhi amanah terhadap ciptaan Tuhan.
Secara kemanusiaan, menyusui memberikan manfaat kesehatan luar biasa. Tentu ini sejalan dengan nilai Pancasila tentang keadilan sosial bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapat awal kehidupan yang terbaik.
Secara konstruksi ideologis, menyusui yang berkelindan dengan keberlanjutan lingkunganpun menjadi perwujudan dari sila ketiga. Ada andil dalam menjaga harmoni ekologis karena menihilkan jejak karbon dari produksi susu formula, plastik, dan limbah turunannya.
Mama, di setiap tetes ASI, kita sesungguhnya sedang menunaikan bela negara yang paling hakiki, yaitu melindungi masa depan bangsa sekaligus bumi tempat kita berpijak. Kita adalahPahlawan masa kini!
Biaya tersembunyi
Menyusui harus diakui sebagai sumber daya nasional yang berharga, nggak lagi sekadar praktik kesehatan.
Penelitian Septiani (2025) yang dipublikasikan di International Breastfeeding Journal menunjukkan, pada tahun 2020 para ibu di Indonesia memproduksi sekitar 455 juta liter ASI dengan nilai ekonomi mencapai 45,5 miliar dolar AS.
Sayangnya, ada sekitar 62–96 juta liter ASI yang hilang karena tergantikan oleh susu formula. Akibatnya, jejak karbon yang ditinggalkan dari konsumsi formula ini mencapai215–381 juta kilogram CO₂ dan jejak airnya mencapai 93 hingga 129 miliar liter.
Angka-angka ini tidak hanya memperlihatkan beban ekosistem, tapi juga menyingkap biaya tersembunyi dari pola konsumsi yang abai pada keberlanjutan.
Selain membebani lingkungan, keluarga Indonesia juga menghabiskan hampir 600 juta dolarAS setiap tahunnya untuk membeli formula. Bahkan penjualan ritel formula untuk anak usia0–36 bulan mencapai angka yang fantastis, yaitu 2,25 miliar dolar AS.
Mendukung keberlanjutan lingkungan
Masalah lingkungan di Indonesia sudah cukup kompleks. Di sinilah menyusui menjadi jalan keluar yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Bayangkan, Imperial College London News (2019) pernah menghitung jika seluruh bayi di Inggris mendapat ASI eksklusif selama enam bulan, pengurangan emisi karbon yang terjadi setara dengan menghilangkan 50.000 hingga 77.500 mobil dari jalan selama setahun.
Jika praktik ini diperluas di Indonesia dengan populasi bayi yang jauh lebih besar, tentu dampaknya akan sangat signifikan terhadap penurunan emisi nasional.
Sayangnya, budaya menyusui di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Promosi susu formula yang masif, minimnya ruang laktasi di tempat kerja maupun ruang publik, serta kurangnya dukungan keluarga sering membuat ibu gagal memberikan ASI eksklusif.
Oleh karena itu, nasionalisme di era krisis iklim harus ditafsir ulang. Bukan lagi sekadar cinta tanah air yang diekspresikan lewat simbol, melainkan lewat aksi nyata menjaga keberlangsungan lingkungan.
Menyusui adalah salah satu bentuk nasionalisme karena berpijak pada nilai Pancasila. Dalam setiap tetes ASI, seorang ibu sesungguhnya sedang menunaikan bela negara yang paling hakiki, yaitu melindungi masa depan bangsa sekaligus bumi tempat berpijak.
Sadarilah bahwa dirimu adalah juga adalah pahlawan yang terus bergerak melanjutkan perjuangan demi anak bangsa dan bumi yang lebih sehat.
Bangun sistem pendukung
Keberhasilan menyusui perlu dukungan semua pihak dari keluarga, masyarakat, hinggapemerintah. Jangan pernah remehkan atau hakimi ibu yang sedang berusaha memberikan ASI karena dukungan sekecil apa pun dari lingkungan itu penting banget!
Kita harus dukung prioritas fasilitas ramah menyusui dengan menyediakan ruang laktasi yang layak dan nyaman sekaligus mewujudkan sistem pendukung yang kuat agar pahlawan ASI bisa berjuang tanpa hambatan.
Selain itu, mari kita bersama mengawal kebijakan terkait promosi susu formula. Termasuk bersikap tegas melawan promosi yang masif dan menyesatkan yang mengganggu hak Mama dan bayi untuk mendapat ASI terbaik.
Mama, teruslah semangat! Apa yang kamu lakukan dari ruang domestik adalah bentuk nasionalisme paling murni dan teladan kepahlawanan di era ini.
Kita sedang memastikan Indonesia dan buminya punya masa depan yang lebih baik. Teruslah bergerak melanjutkan perjuangan, tetes demi tetes.
Selamat Hari Pahlawan!
Hanifa Paramitha Siswanti
Seorang ibu, jurnalis, dan pegiat laktasi






