digitalMamaID – Sepanjang hidupnya, perempuan dihadapkan pada stereotip dan berbagai label yang disematkan orang lain pada dirinya. Tidak cukup dengan mengelompokkan menjadi perempuan baik dan perempuan nakal, setelah menjadi ibu bahkan dituntut menjadi supermom! Ibu yang sempurna, serba bisa, tak boleh berbuat salah sedikitpun. Ruang digital di era internet memberi tempat bagi perempuan angkat bicara. Aktivisme perempuan telah menggerakkan perubahan dari ruang maya.
Pada Agustus 2024, konten kreator Okke lewat akun Instagram @mamamolilo membagikan serangkaian konten tentang berbagai kesulitan yang dialami perempuan dan anak sejatinya berawal dari kebijakan pemerintah yang keliru. Di bagian takarir kreator konten yang tinggal di Bandung ini menjelaskan, ibu dituntut memberi ASI eksklusif kepada bayinya, bahkan jika bisa dengan menyusui secara langsung (direct breast feeding). ASI eksklusif perlu waktu enam bulan, sementara cuti ibu melahirkan hanya tiga bulan!
Suami pun tak bisa mendampingi dan terlibat banyak karena cuti yang diberikan juga sedikit. Ada yang hanya empat hari saja. Ibu jadi harus melewati masa sulit sendirian hingga mengalami post partum depression.
Setelah kembali bekerja, persoalan makin bertambah. Ruang menyusui terbatas, day care bagus mahal, sistem dukung tidak memadai. Perempuan berada di persimpangan, antara melepaskan pekerjaannya atau membersamai anaknya saja.
Harga kebutuhan pokok yang melambung membuat ibu putar otak bagaimana memberi gizi memadai untuk keluarga. Saat kesehatan terganggu, akses terhadap layanan kesehatan tidak mudah didapatkan. Semua bermuara pada kebiajakan pemerintah.
Pada situasi yang tidak ada bagus-bagusnya ini, perempuan sering diminta untuk tutup mulut, “Udahlah, ngapain ibu-ibu ikut mikirin politik!”
Okke menolak pandangan itu. “Eh jan salah buk, semua lini kehidupan kita, termasuk ibu-ibu sekalipun dipengaruhi oleh politik. Buktinya semua keluhan yang dialami gue dan para ibu yang gue ceritain di atas, ya karena kebijakan pemerintah. Mari berupaya dengan cara kita masing-masing agar negara kita membaik,” begitu tulis Okke.
Membangun daya kritis perempuan
Begitulah Okke lewat kontennya berusaha untuk mengajak para ibu bersikap kritis pada hal-hal yang ditemui sehari-hari. Ia juga membangkitkan daya kritis terhadap anggapan-anggapan keliru pada masyarakat soal perempuan. Misalnya saja, ia menanggapi berbagai konten media sosial yang kerap memberi label ‘matre’ (materialistis) pada perempuan.
Belakangan banyak konten yang menunjukkan perempuan menyelesaikan konflik dengan memberi uang. Seolah, perempuan otomatis nurut dan diam setelah diberi uang. Versi lainnya, laki-laki menyelesaikan konflik dengan pasangannya cukup lewat berhubungan badan. Pernahkah Mama terpapar konten semacam ini? Konten yang bagi sebagian orang terlihat lucu ini, kata Okke, sesungguhnya justru menunjukkan relasi yang tidak sehat. Melalui kontennya, Okke memberi penjelasan mengapa konten-konten semacam ini tidak tepat dan hanya melanggengkan stereotip perempuan matre sedangkan laki-laki otaknya di selangkangan.
Aktivisme perempuan terlihat jelas lewat konten-kontennya. Okke berusaha mengajak perempuan tidak menormalisasi pola pikir keliru. Perempuan diajak untuk berpikir kritis agar bisa mendudukkan persoalan dengan benar.
Komunitas tak kasat mata
Okke bernama lengkap Oktarina Prasetyowati. Ia dikenal lewat sederet karyanya yang menuangkan ide-ide progresif. Ia menulis Istoria de Paz: Perempuan dalam Perjalanan (2008) dan Indonesian Idle (2007). Selain itu, ia juga berkarya bersama penulis lainnya Kamar Cewek: Cowok Boleh Ngintip (2006) hasil duet dengan Ninit Yunita, Lajang dan Nikah: Sama Enaknya, Sama Ribetnya (2009), karyanya dengan Nita Sellya, dan masih banyak karya lainnya.

Pemikiran-pemikirannya kini dituangkan di akun @mamamolilo. Your internet mom friend, begitu ia memperkenalkan dirinya di jagad Instagram. Ia juga membuat podcast di platform KBR Prime, isinya soal ngobrol jujur-jujuran jadi ibu.
‘Ngonten’ bukan hal baru baginya. Sejak tahun 2000 ia sudah aktif ngeblog di berbagai website. “Kalau pada akhirnya saya ‘ngonten’ di Instagram dan mencoba bikin podcast audio dan mungkin nantinya audiovisual, sebenarnya ini cuma pindah dan eksplorasi platform aja, menyesuaikan dengan zaman. Semangatnya sih sama, membagikan konten,” katanya menjawab pertanyaan digitalMamaID melalui surat elektronik, Kamis, 5 Desember 2024.
Apapun platform yang ia gunakan, konten Okke punya benang merah menceritakan pengalaman, pikiran, dan opininya sebagai perempuan. “Awalnya sih, hanya memanfaatkan media yang saya punya untuk bersuara tanpa banyak campur tangan atau kepentingan pihak lain. Tapi pada perkembangannya saya melihat, dengan saya menceritakan pengalaman seperti ini, saya mengumpulkan perempuan yang punya pengalaman dan opini yang sama; sehingga pada akhirnya jadi kayak komunitas nggak kasat mata yang saling menguatkan,” tutur Okke.
Tak seindah iklan popok bayi
Kontennya mendorong perempuan lain untuk mengeluarkan pendapat yang sama di platform sendiri. Perempuan jadi berani untuk membagikan pengalaman dan pendapatnya. Ia mengatakan, “Buat saya, untuk isu-isu penting, semakin banyak perempuan bersuara, maka semakin meningkat awareness dan kepedulian orang kan?”
Satu perempuan yang berani dan mau angkat suara, akan mendorong perempuan lain mengungkapkan pendapatnya. “Waktu saya baru melahirkan, saya merasakan bahwa menjadi ibu itu nggak seindah iklan-iklan popok bayi. Kemudian saya bikin komik di IG ngomongin ugly truth dan awur-awurannya saya jadi ibu sampai saya self-harm dan berakhir ke ruang konsultasi psikolog. Ternyata banyak ibu yang merasakan hal yang sama,” katanya.
Cerita ternyata berhasil membangun interaksi dengan ibu-ibu lain. Bersama-sama, para ibu ini membangun kesadaran bahwa menjadi ibu tidak mudah, support system itu penting, mental health ibu penting. “Jadi ibu yang sempurna kayak iklan itu impossible, dan sebagainya. Dengan kesadaran seperti itu akan lebih mudah mencari solusi,” ujar Okke.
Apa yang disampaikan Okke ini terlihat dari interaksi di kolom komentar. Cerita Okke menjadi pemantik untuk ibu-ibu lain bercerita, bahkan membangkitkan aktivisme perempuan lainnya. Perempuan jadi punya ruang menyampaikan masalahnya di platform milik Okke yang kini telah diikuti lebih dari 16.000 akun. Okke juga mengembangkan beberapa komunitas untuk ibu-ibu misalnya komunitas menari @groovinmamas, sebuah komunitas menari tempat ibu mengambil jeda. Ada pula broadcast channel Instagram yang dinamai Mamaolilo’s Thrift Shop Finds untuk ibu-ibu yang menyukai barang preloved.
Konten tentang kebijakan pemerintah yang mempengaruhi kesejahteraan ibu adan anak misalnya, banyak sekali perempuan yang bersuara tentang nasibnya. “Cuti (melahirkan) aku cuma dikasih sebulan. SEBULAN,” begitu salah satu komentarnya.
“Kendaraan umum yang tidak ibu-bapak bawa anak kecil friendly, gendong bayi kecil-kecil dipaksa bungkuk-bungkuk di angkot, naik tangga penyeberangan sulit bawa anak, gillss emang transportasi publik tidak ramah sama sekali,” tutur komentar lainnya.
Interaksi sesama perempuan dengan persoalan yang serupa pada akhirnya membangun sebuah kesadaran bersama bahwa perempuan harus kritis. “Aku pun baru sadar kebijakan pemerintah ngaruh di semua lini kehidupanku tuh pas jadi ibu-ibu. Siyok lihat teman di negara maju se-diperhatiin itu. Kok aku warga negara yang ‘mandiir’ banget ya??? Ayok buibuuukkkk kita singsingkan lengan baju dan lebih galak ke pemerentaaahhh,” tulis seorang ibu di kolom komentar @mamamolilo.
Membongkar batas
Internet dan media sosial menjadi wadah aktivisme perempuan. Perempuan jadi bisa menyampaikan pengalaman, pikiran dan opininya secara terbuka untuk khalayak luas. Sesuatu yang sulit dilakukan secara langsung di masyarakat. Menurut Okke, hal itu bisa jadi karena terkendala pembawaan setiap perempuan yang berbeda, tidak adanya kesempatan, atau bahkan karena ketakutannya. Kehadiran media sosial membongkar batas-batas ini.
Sejalan dengan ruang ekspresi yang makin besar di internet, serangan balik untuk mereduksi suara perempuan juga kian kencang. Menurut Okke, internet memungkinkan kehadiran seseorang secara anonim. Bersembunyi di balik identitas maya, orang merasa aman melakukan hal-hal yang tidak akan mereka lakukan di dunia nyata saat menyandang identitas jelas.
Pengguna internet dan media sosial seolah hanya menghadapi layar, bukan manusia. “Mereka nggak lihat wajah orang yang diajak bicara. Kalau di dunia nyata, wajah lawan bicara berubah marah aja kan bisa otomatis membuat kita diam kan? Nah di internet nggak ada yang bisa jadi rem seperti itu,” kata Okke.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan perempuan. Perempuan di dunia nyata sudah sering jadi obyek, dipisahkan dalam ketogori “perempuan baik” dan “perempuan nakal”, jadi obyek bercandaan seksis, dilecehkan dan mengalami kekerasan seksual karena dianggap objek pemuas nafsu dan lain-lain.
Kombinasi cara berpikir pelaku yang menganggap perempuan adalah objek dan bersembunyi di balik anonimitas ditambah dengan situasi yang tidak bisa melihat emosi perempuan. “Ya hasilnya serangan yang liar terhadap perempuan, terutama perempuan yang nggak sesuai dengan kategori ‘perempuan baik’. Misalnya saja mereka yang berani menampilkan seksualitas, mereka yang nggak submisif dan menentang status quo, dan lainnya,” tutur Okke.
Okke pun tak luput dari serangan seperti ini. Ada yang menuliskan di kolom komentar, lainnya lagi mengirimi pesan langsung. “Yang mancing serangan itu biasanya konten tentang relasi setara, kayak konten kritik pembagian kerja rumah tangga tradisional yang sudah usang, atau konten mengajak ibu-ibu untuk asertif menyampaikan keinginan dan kebutuhan,” katanya.
Okke tak langsung bereaksi pada semua serangan itu. Ia memilah semua reaksi warganet. “Ada komentar-komentar yang bisa memantik diskusi dan memberi masukan juga buat saya. Ada yang memang cuma ingin nyerang aja. Untuk tipe pertama, ya saya respons sampai batas tertentu, yang kedua saya abaikan dan block,” katanya.
Untungnya, Okke tak memilih menyerah. Ia percaya diri dengan konten yang ia buat. Sebab semua kontennya adalah hasil riset kecil dengan sumber-sumber yang kredibel. Ia yakin kontennya tidak menyesatkan. Bahkan, ia tertantang mengolah cara penyampaian materinya. Ia mencoba terus menyesuaikan dengan mayoritas audiens yang ia targetkan.
Membungkam daya kritis
Pengalaman berbeda dialami oleh Ressa Ria, pendiri Samahita Foundation, sebuah organisasi yang aktif bergerak di pendampingan perempuan korban kekerasan. Ibu yang biasa disapa Icha ini aktif bermedia sosial. Meski tidak khusus digunakan sebagai media utama aktivismenya, pandangan-pandangan kritisnya terlihat dari aktivitas digitalnya.

Ia bercerita, beberapa tahun lalu saat masih aktif menggunakan Twitter (sekarang X), ia terpapar cuitan Humas Kota Bandung yang mengumumkan kecamatannya sebagai kecamatan terbaik di Kota Bandung. Ia merespons cuitan itu dengan pengalamannya sebagai warga. “Masa kecamatan terbaik masih ada pungli buat ngurus surat ahli waris doang,” begitulah kira-kira cuitannya kala itu. Tak lupa ia menyebut akun Ridwan Kamil yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Bandung. Ia dikenal sebagai wali kota yang aktif menggunakan media sosial untuk mengatasi berbagai persoalan warga.
Cuitan itu dibuat Icha karena pengalamannya saat mengurus surat keterangan ahli waris di kantor kecamatan. Ia tahu benar, mestinya layanan surat tersebut diberikan secara gratis oleh pemerintah. Tapi nyatanya, ia dimintai membayar Rp 1,5 juta. “Sedikit banyaknya kan aku melek hukum, bahwa yang seperti itu gratis, nggak harus bayar,” katanya kepada digitalMamaID saat ditemui di Bandung, Rabu, 4 Desember 2024.
Itu sebabnya ia tergelitik saat kecamatan yang masih ada pungli, dinobatkan sebagai yang terbaik di Kota Bandung. Rupanya cuitan itu benar-benar sampai ke Emil, begitu Ridwan Kamil biasa disapa. Ia mengetahui itu setelah rumahnya didatangi Ketua RW dan orang-orang dari kelurahan. Rupanya pihak kecamatan mengumpulkan semua kelurahan untuk mencari tahu siapa orang yang mencuit itu. Kelurahan lantas mencari lewat seluruh Ketua RW. Tangkapan layar twit Icha itu dibahas di rapat kecamatan dan kelurahan. Sialnya, Ketua RW setempat mengenali Icha. Ia sendiri yang mengantarkan pegawai kelurahan mendatangi rumahnya.
Icha diminta untuk membuat klarifikasi lewat media sosialnya. Pemerintah meminta agar ia membuat pernyataan bahwa twit-nya keliru karena saat mendatangi kecamatan pada hari Jumat. Ia bicara dengan seseorang yang berbaju olah raga yang ternyata calo. Icha diminta mengunggah pernyataan itu ke media sosial dengan mention akun Humas Pemkot Bandung dan Ridwan Kamil.
“Ya saya nggak mau, lah! Karena emang nggak begitu kejadiannya. Jelas-jelas saya ke sana bukan hari Jumat,” katanya.
Dari kejadian itu, ia melihat pemerintah merespons keluhan warga. Tapi di satu sisi, tidak ada jaminan keamanan saat warga menyampaikan pendapatnya di media sosial.
Ia juga pernah menghadapi fanboy pejabat di media sosial. Suatu kali ia mengomentari unggahan Ridwan Kamil di Instagram. Unggahan itu membicarakan kursi taman yang rusak. Narasinya, kursi itu rusak karena diduduki oleh orang berbadan besar.
Icha tergugah untuk menulis pendapatnya di kolom komentar. “Bapak tahu nggak kalau caption Bapak itu body shaming dan bisa mengarah pada perundungan. Aku cuma nulis gitu aja, nggak ada menyerang dia. Setelah itu banyak sekali menghubungi lewat DM. Akun-akun bodong gitu, loh,” katanya.
Isi pesannya banyak yang tidak sesuai dengan konteks. Ada pula yang berisi ancaman-ancaman bernada kasar. “Ada yang bilang kalau sudah tahu di mana rumah saya. Ada yang sampai bilang , ‘Oh dasar ibunya pecun di Saritem’. Pokoknya kasar, nggak nggak kontekstual, nggak substansial,” kata Icha.
Ia sendiri tidak habis pikir, semua serangan itu hanya berasal dari satu komentar di sebuah unggahan pejabat publik saja. Icha tidak gegabah menanggapinya. Tak jarang ia meledek balik pengirim pesan jahat itu. Ia sadar betul, mereka berlindung di balik akun anonim. “Kalau didatangi langsung pasti nggak akan berani juga itu,” ujarnya.
Mendukung perempuan di ruang digital
Akan tetapi, ia sadar betul keberaniannya itu karena punya sistem dukung yang memadai. Ia punya lingkungan teman dan keluarga yang mendukung di barisan pengikut media sosialnya. Orang-orang yang punya nilai sama, sehingga kerap hadir memberi dukungan pada unggahan-unggahannya.
Menurut Icha, support system sangat diperlukan untuk menghadirkan ruang digital yang aman bagi perempuan. “Misalnya ada perempuan yang mengalami perundungan di medsos, ada support system perempuan-perempuan ini untuk saling melindungi,” katanya.
Ini yang masih belum terbentuk. Masih banyak perempuan yang punya pandangan misogini. Itu sebabnya seringkali perdebatan di ruang digital justru melibatkan sesama perempuan. “Mestinya membangun women support women di ranah digital,” ujar Icha.
Soal ancaman yang dihadapi di dunia maya, situasinya memang tidak lebih baik dengan di dunia nyata. “Seringnya perempuan disuruh untuk melindungi diri dari tindak pelecehan, tapi masyarakat suka lupa untuk menciptakan lingkungan aman bagi perempuan, yang kayak gini kan nggak bakal mengubah situasi ya, dunia maya tetap bakal nggak aman buat perempuan,” tutur Okke.
Ia memilih untuk memaksimalkan proteksi keamanan akun dan tidak banyak mengekspos kehidupan pribadi. Sebisa mungkin ia tidak melakukan tindakan yang punya tendensi kekeran berbasis gender online (KBGO). “Seperti menjaga etika komunikasi, nggak nyebarin konten tanpa izin, atau kalau share konten lain sensor wajah dan identitas, refleksi sebelum posting apa pun memakai filter diri: is it true? Is it kind? Is it necessary? Plus rajin report konten-konten yang punya tendensi KBGO,” katanya membagikan saran. Ia juga jadi menyadari pentingnya kreator konten turut mengampanyekan ruang aman perempuan di dunia maya.
Internet memberi kesempatan untuk mengatasi kesenjangan gender. Sebagai teknologi, internet memperlakukan segala gender dengan setara. Akan tetapi, hal itu hanya bisa terjadi jika penghuni ruang digital memiliki kesadaran untuk memberi kesempatan yang sama pada perempuan berbicara. Meski aktivisme perempuan terbukti bisa menggerakkan perubahan, perjuangan belum selesai. (Penny Yuniasri/Alin Imani) [*]
Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama Women’s Media Collabs, didukung oleh IMS – International Media Support dan European Union.