digitalMamaID — Di tengah maraknya isu fatherless di Indonesia, istilah ”latte dad” menghadirkan gambaran kontras yang menghangatkan hati. Apa itu ”latte dad”?
Berdasarkan data BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) dan UNICEF tercatat ada sekitar 20,9 persen anak Indonesia yang tumbuh tanpa figur ayah, baik secara fisik dan psikis (fatherless). Situasi ini memprihatinkan karena peran ayah sentral dalam pembentukan karakter anak, emosional dan sosial.
Namun, berbanding terbalik dengan Indonesia yang masih bergelut dengan fatherless. Di Swedia, pemandangan ayah mendorong stroller sambil menyeruput kopi latte sudah menjadi hal yang lumrah. Mereka menyebutnya latte dad atau latte papa, simbol ayah yang hadir penuh dalam pengasuhan.
Sekilas mungkin ini seperti gaya hidup modern kota: ayah, kopi dan stroller. Namun, di balik itu ada makna tersirat bahwa pengasuhan bukan hanya tugas ibu, melainkan tanggung jawab bersama. Latte Dad juga bukan hanya budaya semata, melainkan bagaimana negara memberi ruang dan dukungan penuh agar ayah bisa hadir di tahun-tahun awal kehidupan anak, tanpa stigma atau rasa canggung.
Program cuti yang dermawan
Dilansir dari Today, orangtua Swedia menerima total 480 hari cuti orang tua, yang bisa dibagi antara ayah dan ibu saat anak lahir atau diadopsi. Walau fleksibel, artinya orangtua dapat memutuskan sendiri bagaimana membagi waktunya. Akan tetapi, 90 hari khusus dialokasikan untuk ayah dan tidak bisa dialihkan kepada ibu. Sedangkan untuk orang tua tunggal menerima 480 hari penuh.
Jika mengambil cuti tersebut, Badan Asuransi Sosial Swedia (Försäkringskassan) akan membayar hingga 80 persen dari gaji. Selain itu, mereka dapat mengalihkan hingga 45 hari cuti lebih kepada kakek-nenek atau teman dekat keluarga untuk membantu mengasuh anak. Jika punya anak kembar dua (twins) atau kembar tiga (triplets), orangtua bisa mendapatkan jatah cuti lebih dari 480 hari.
“Orangtua tidak harus menggunakan semua hari cuti itu sekaligus. Sebagian jatah cuti masih bisa dipakai hingga anak berusia 12 tahun,” dikutip dari sumber yang sama.
Dengan adanya kebijakan ini, para ayah di Swedia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk ikut mengasuh anak mulai dari mengganti popok, mengikuti kelas bayi, atau sekadar berjalan-jalan di taman bersama.
Dampak baik keterlibatan ayah
Psikolog UGM, Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog menyampaikan, ayah memiliki peran yang cukup penting dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan ayah dalam aktivitas bersama anak dapat menjadi kegiatan yang menstimulasi perkembangan kognitif.
“Ada perbedaan gaya bicara antara ayah dan ibu, seperti ayah yang cenderung lebih mengarahkan, lebih singkat. Bentuk komunikasi yang lebih kompleks dengan orang tua menuntut kemampuan bahasa yang lebih tinggi sehingga bisa menstimulasi perkembangan kognitif anak,” ungkap Diana, yang juga sebagai Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM.
Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan mendorong perkembangan fungsi eksekutif lebih optimal. Fungsi eksekutif berkaitan dengan kemampuan merencanakan, pengendalian diri, pemecahan masalah, dan atensi.
Diana menuturkan kehadiran sosok ayah dalam pengasuhan juga memengaruhi perkembangan emosi. Relasi positif antara ayah dan anak akan membantu anak mengembangkan emosi yang matang. Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi atau terlibat pengasuhan bisa mengurangi beban ibu sehingga turut mempengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak.
Perkembangan emosi yang terhambat, lanjutnya, menyebabkan anak memiliki emosi yang tidak matang sehingga tidak mampu meregulasi emosi baik mengekspresikan maupun mengendalikan emosi. Ketidakmampuan anak mengendalikan emosi ini akan mendorong cemas dan depresi (perilaku internalisasi), kontrol diri rendah, serta berperilaku berlebihan serta agresif (eksternalisasi).
“Keterlibatan ayah juga berpengaruh pada kelekatan anak yang akan memengaruhi perkembangan kognitif dan sosial anak. Anak yang tidak mendapatkan pengasuhan dan kehangatan dari sosok ayah akan mudah mengalami kecemasan, kompetensi sosial lemah, dan self esteem rendah,” imbuhnya.
Dalam perkembangan moral, ayah berperan penting dalam penanaman nilai inidvidu karena sikap cenderung lebih tegas dan maskulin daripada ibu. Diana menyebutkan banyak penelitian yang menunjukkan hilangnya peran ayah menyebabkan anak tidak memiliki moral yang baik dan terlibat dalam kenakalan remaja.
Diana menyampaikan, ayah memiliki peran dalam pembentukan identitas seksual anak. Keterlibatan ayah memberikan gambaran mengenai perbedaan gender, terutama pada anak laki-laki ayah menjadi role model dalam menjalankan perannya sebagai laki-laki. Sikap hangat dan positif ayah terhadap anak terutama laki-laki dapat membentuk maskulinitas.
“Banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan anak yang kehilangan figur ayah,” tuturnya.
Diana kembali menegaskan, ayah memiliki peran penting sama halnya dengan ibu dalam perkembangan anak baik kognitif, sosial, maupun emosional. Keterlibatan ayah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti melakukan kegiatan bersama, komunikasi dengan anak, saling berbagi hal yang disukai, mengasuh anak, memberikan pengarahan, selalu ada untuk anak dan lainnya.
Bisakah mewujudkan latte dad ada di Indonesia?
Saat ini aturan cuti ayah di Indonesia masih sangat terbatas. Berdasarkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), seorang ayah berhak mendapatkan cuti pendampingan istri melahirkan selama dua hari dan dapat ditambah paling lama tiga hari. PNS bisa sampai 10 hari, sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan perusahaan.
Di Indonesia baru ada sedikit beberapa perusahaan yang mulai memberikan cuti lebih panjang sebagai bagian dari kebijakan internal mereka. Tentu, ini masih jauh dari ‘standar emas’ yang dimiliki Swedia.
Budaya pengasuhan di Indonesia tergolong masih konservatif. Masih banyak yang beranggapan bahwa pengasuhan anak adalah tugas utama ibu, sementara ayah hanya mencari nafkah.
Kebijakan seperti ini juga membutuhkan dukungan lingkungan. Masih sedikit ekosistem yang mendorong ayah terlibat pengasuhan, seperti ruang komunitas parenting untuk ayah masih sedikit, kelas bayi untuk ayah, serta fasilitas publik yang secara khusus mendukung keterlibatan ayah atau kelompok diskusi khusus ayah.
Ruang-ruang semacam ini penting untuk membangun budaya, bahwa pengasuhan bukan sekadar urusan ibu, melainkan tanggung jawab bersama. Dengan adanya dukungan lingkungan, para ayah akan merasa lebih diterima dan percaya diri untuk hadir dalam proses tumbuh kembang anak.
Latte dad mungkin belum jadi fenomena massal di Indonesia, tapi bisa tumbuh jika regulasi cuti ayah diperpanjang dan norma sosial tentang pengasuhan lebih egaliter. [*]






