Montessori dari Hati: Anak yang Dipercaya, Anak yang Bisa

Ilustrasi montessori/ODUA IMAGES
Share

digitalMamaID – Kadangkala ketika Mama ingin melibatkan anak ke dalam kegiatan sehari-hari seperti, memasak, mencuci, atau membereskan rumah, Mama punya banyak kekhawatiran. Entah itu jadi berantakan, kotor, makin lama, atau menambah pekerjaan karena tidak sesuai ekspektasi. Padahal menurut Montessori, jika anak diberikan kepercayaan, ruang untuk berproses dan belajar dari kesalahan, anak akan merasa aman dan percaya diri.

Hikmah Khaerunissa, Founder @montiparent_id mengatakan, kekhawatiran tersebut terjadi karena, selama ini sudut pandang orangtua dalam bekerja berfokus pada upaya mengubah lingkungan atau hasil. Sebaliknya, sudut pandang anak justru berfokus pada upaya mengembangkan diri atau proses.

“Mereka tujuannya bukan hasil. Mereka tujuannya adalah membangun dirinya sendiri. Konstruksi untuk dirinya sendiri menjadi bisa. menjadi ahli, menjadi signifikan di lingkungan. Hal ini harus kita amati, harus kita maklumi ketika misalnya anak-anak memang bekerjanya tidak sesuai dengan keinginan kita,” ungkapnya dalam Parenting Class Online, Montessori Parenting Indonesia, Minggu, 22 Juni 2025.

Jadi anak itu harus diberi kepercayaan, anak yang bisa karena orangtua percaya. Percaya itu dalam bentuk apa saja sih?

Ubah mindset orang tua

Menurut Hikmah, anak bisa karena orangtua percaya kepada anak. Orangtua harus mulai mengubah mindset dengan memandang anak sebagai individu yang kompeten dan potensi, bukan sebagai sosok yang lemah. Dengan begitu, orangtua lebih menghormati dan menghargai anak.

“Orangtua masih banyak yang berpikir bahwa anak itu objek, bukan subjek. Anak itu objek yang lemah, tidak mengerti apa-apa, tidak bisa apa-apa,” katanya.

Banyak anak yang menjadi objek kekerasan, objek kemarahan, objek eksploitasi. Menurut Hikmah, hal itu karena orang dewasa menganggap anak adalah objek lemah yang bisa dimanfaatkan dan bisa menjadi sasaran empuk kemarahan.

“Misalnya, orangtua sedang punya masalah dengan orang lain yang kena dampaknya adalah anak. Dia marah kepada anaknya padahal anaknya tidak salah apa-apa. Ini sering sekali terjadi. Kenapa? Ya, karena mindset yang salah dari orang tua, menganggap anak ini objek,” jelasnya.

Lebih lanjut, jika orangtua melihat anak sebagai objek yang lemah, yang bergantung sepenuhnya kepada orangtua sehingga perlu diatur, dilindungi berlebihan hingga nyaris tidak diberi kesempatan untuk berusaha sendiri. Sebenarnya itu menunjukkan kasih sayang yang salah.

Akibatnya, anak tumbuh menjadi pribadi yang pasif, penakut dan sulit percaya diri karena self esteem-nya rendah, karena sejak awal jarang diberi kesempatan untuk mencoba dan berpeluang untuk belajar.

Jangan sepelekan anak

Selain menganggap lemah, orangtua seringkali menganggap bahwa anak itu tidak tahu apa-apa. Jadi, banyak orangtua yang menganggap bahwa anak sebagai wadah yang kosong, yang bisa di coret-coret. “Orangtua menganggap bahwa anak tidak punya potensi dan keinginan sendiri. Anak tidak punya fitrah, tidak punya keinginan dan hasrat sendiri. Sehingga segala sesuatunya harus diberi instruksi dan diatur setiap saat,” jelasnya.

Dampaknya, anak tumbuh menjadi kurang inisiatif, sulit mengambil keputusan karena tidak diberi kesempatan untuk berpendapat. Anak yang pendapatnya tidak dihargai, akan merasa dirinya tidak berharga dan membuat anak bergantung kepada orangtua sehingga kurang percaya dengan kemampuannya sendiri karena, orangtua selalu menganggap bahwa anak tidak tahu apa-apa. “Hal-hal seperti itu yang ternyata bisa menghambat perkembangan anak,” lanjutnya.

Ketiga, selain dianggap lemah dan tidak tahu apa-apa, anak seringkali dijadikan proyek oleh orangtua. Orangtua memandang anak sebagai perpanjangan diri mereka yang harus sesuai dengan ambisi mereka. Semua pilihan anak diatur sehingga anak tumbuh bukan menjadi versi dirinya sendiri tapi, versi idealnya orangtua.

Ketika anak menjadi proyek orangtua, dampaknya anak akan kehilangan otonomi dan merasa ditekan untuk menghidupi mimpi orang lain serta terjadi krisis identitas. Jadi, anak tidak tahu apa yang mereka inginkan, mereka sukai karena dari dulunya sudah dituntut untuk menggapai mimpi orang lain bukan mimpinya sendiri.

Kenali kebutuhan dan karakteristik anak

Penting untuk memahami tahapan perkembangan anak agar kita bisa memberikan stimulasi dan dukungan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka. Montessori mengatakan, orangtua harus memberikan effort paling besar itu di nol sampai enam tahun. Kenapa? Karena ketika nol sampai enam tahun ini anak-anak sedang membangun fondasi kepribadian dan kemandirian anak.

Di periode ini anak memiliki, apa yang Montessori sebut dengan absorbent mind dan sensitive periode. Absorbent Mind adalah kemampuan anak di nol sampai enam tahun untuk menyerap semua pengalaman, informasi dan lingkungannya secara alami dan tanpa sadar.

“Jadi seperti spons yang menyerap air, semuanya keambil gitu ya. Pada masa ini anak belajar bahasa, belajar perilaku, dan belajar banyak hal lainnya langsung dari interaksi dengan mengamati lingkungan sekitarnya tanpa sadar dan tanpa filter. Semuanya terserap begitu saja,” jelasnya.

Dari nol sampai tiga tahun, anak menyerap secara tidak sadar, tanpa filter dan masuk ke alam bawah sadarnya. Sedangkan tiga sampai enam tahun, anak menyerap sekitarnya dengan lebih sadar, lebih selektif dalam memfokuskan segala sesuatunya. Ini yang Montessori highlight bahwa orangtua perlu memanfaatkan masa ini karena anak punya absorbent mind.

Sedangkan sensitive periode, adalah masa-masa tertentu di dalam perkembangan anak di mana anak lebih peka dan tertarik pada aspek-aspek tertentu di lingkungannya. Sehingga belajar dan menyerap hal-hal tertentu itu lebih mudah, lebih cepat, dan secara alami.

Sensitive periode ini terbatas waktunya. Jadi, kalau misalnya sudah lewat sebenarnya anak bisa lebih berlatih cuma agak lebih lambat dibandingkan ketika masa sensitive periode itu berlangsung. Misalnya, toilet training itu sensitive periode-nya di satu sampai tiga tahun. Jadi ketika lebih dari usia itu agak lebih susah,” jelasnya.

Beri respons yang sesuai

Lalu apa yang bisa dilakukan di rumah? Karena, nol sampai enam tahun, rata-rata orang tua belum menyekolahkan anaknya dan full berada di rumah. Menurut Montessori, di nol sampai enam tahun, perkembangan anak ada di kemandirian fungsional. Jadi, melakukan berbagai aktivitas sehari-hari secara mandiri dan bertanggung jawab sesuai tahapan usianya.

Salah satunya adalah Exercises Practical Life (EPL). Salah satu elemen dasar dari metode Montessori yang membantu anak-anak mengembangkan kemandirian, koordinasi, konsentrasi, dan rasa tanggung jawab terhadap diri mereka juga lingkungan. “Ini bisa sekali dilakukan di rumah dengan kegiatan-kegiatan yang sederhana seperti memasukkan cucian ke mesin cuci, mengupas telur rebus sendiri, memakai sepatu sendiri, menyapu, menyendok makanan” katanya.

Lingkungan harus mendukung kemandirian dan rasa percaya diri anak. Jadi jika anak diminta untuk mengambil minumnya sendiri, upayakan gelasnya memang bisa dijangkau anak, galonnya memang bisa dijangkau anak dan aman.

Jadi respons orangtua harus penuh empati dan sabar. Orang tua perlu memahami bahwa anak memang masih belajar untuk berkembang, untuk membangun dirinya sendiri sehingga respons orangtua harus penuh dengan empati dan sabar untuk menemani anak-anak berkembang.

Toleransi lebih pada anak

Jadi berikan ruang untuk berproses dan belajar dari kesalahan sehingga anak merasa aman untuk mencoba dan percaya bahwa mereka mampu. Jadi ketika misalnya anak cukup lama memakai bajunya, cukup lama memakai sepatunya, atau anak mencoba mengambil minumnya sendiri dan ternyata tumpah atau gelasnya pecah, orangtua harus memberi toleransi lebih untuk anak.

“Jangan strict bahwa anak harus ideal, harus perfect, anak harus bisa dan lain sebagainya. Karena mereka sedang membangun dirinya sendiri dan itu berproses. Kita pun menjadi ahli karena kita berproses, tidak ujug-ujug menjadi ahli, apalagi anak-anak. Sehingga dampingan kita untuk memberi toleransi lebih kepada anak-anak, ini akan sangat membantu anak-anak untuk berkembang dan memberikan kesempatan lebih untuk mereka,” pungkasnya. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID