Mengirim Anak Bermasalah ke Barak Militer Tidak Menyelesaikan Persoalan

Ilustrasi anak bermasalah dikirim ke barak militer/Panacreative Studio
Share

digitalMamaID —Mengawali masa kerjanya, menteri-menteri retret pembinaan di Akademi Militer (Akmil), Magelang. Sekarang giliran masyarakat sipil, anak bermasalah di Jawa Barat akan dikirim ke barak militer. Efektifkah kebijakan ini?

Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi belum lama ini membuat kebijakan kontroversial dengan mengirim pelajar “nakal” ke barak militer. Kebijakan ini disebut untuk menanamkan pendidikan karakter selama 14 hari. Pro kontra pun tak terelakkan. Banyak pihak yang mengapresiasi kebijakan ini, tapi banyak juga yang mengkritik keras langkah ini.

Orang tua siswa asal Babelan, Bekasi, Jawa Barat melaporkan Dedy Mulyadi ke Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM) karena menganggap barak militer tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan dan bukan solusi persoalan perilaku anak. Kecaman juga tidak hanya datang dari beberapa orang tua siswa, tapi juga aktivis, psikolog, pegiat dan banyak kalangan.

Pendidikan: investasi jangka panjang

Penelitian Mark Lipsey pada tahun 2009 menunjukkan, bootcamp militer terbukti tidak efektif dalam menurunkan tingkat kenakalan remaja secara jangka panjang. Penelitian lain bahkan menemukan, program bootcamp seperti ini dapat memiliki dampak negatif.

Pengamat pendidikan, yang juga pegiat literasi, Rahadian Paramita ketika dihubungi oleh digitalMamaID membenarkan bootcamp-bootcamp militer, sehalus apapun modelnya, hanya berdampak jika anak ada di situasi itu saja. “Jadi, kalau misalnya di jangka 14 hari. Anak akan kelihatan berubah selama ada di sana, selama 14 hari itu saja. Jadi, jangka pendek gitu,” jelasnya di ujung telepon, Senin, 12 Mei 2025.

Menurutnya, lebih lanjut bahwa dalam konteks pendidikan yang tujuannya itu jangka panjang, barak militer ini dirasa kurang tepat. “Dia (barak militer) bukan buruk-buruk amat, tapi problem-nya adalah itu jangka pendek. Jadi, begitu anak keluar dari situ kecenderungan untuk balik lagi ke perilaku sebelumnya itu tinggi,” ungkap Rahadian.

Ambiguitas label ‘nakal’

Persoalan lain pada kebijakan ini, menurut Rahadian, anak-anak yang dikategorikan ‘nakal’ ini ambigu dan tidak jelas definisinya. Jika merujuk ke istilah hukum, label anak nakal itu untuk anak yang berkonflik dengan hukum. “Jadi perlu diperjelas dulu problem anaknya seperti apa. Saya sangat yakin bahwa setiap anak itu punya problem-nya sendiri-sendiri tapi, saya tidak yakin lalu bisa di-treatment dengan cara yang seragam pula,” lanjutnya.

Hal serupa juga diutarakan oleh Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat Dan Satriana. Ia mengatakan, kriteria anak yang menjadi sasaran kebijakan ini perlu diperjelas lagi.

“Dalam Surat Edaran Gubernur memang telah disebutkan sasaran program adalah peserta didik yang memiliki perilaku khusus,” ungkapnya ketika dihubungi via WhatsApp, Minggu, 11 Mei 2025.

Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak, maka kemungkinan besar sasaran program adalah anak dengan perilaku sosial menyimpang. Dalam peraturan tersebut tertulis,  perlindungan khusus bagi anak dengan perilaku sosial menyimpang dilakukan melalui bimbingan nilai agama dan nilai sosial, konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial dengan melibatkan peran orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan.

“Meskipun kita bisa memahami apabila Gubernur Jawa Barat ingin segera menyelesaikan masalah dan merespons keresahan sebagian masyarakat dengan cepat, namun rangkaian bentuk perlindungan khusus serta peran semua lembaga terkait, tidak dapat serta merta digantikan oleh pembinaan khusus bersama TNI dan Polri,” jelas Dan.

Dan meminta Gubernur Jawa Barat untuk memeriksa kembali dan memperkuat fungsi maupun kinerja lembaga-lembaga yang kompeten untuk menyelesaikan permasalahan anak dengan perilaku sosial menyimpang, sembari melibatkan militer untuk pembinaan khusus dalam upaya perbaikan perilaku dan penguatan karakter.

“Penguatan peran lembaga terkait melalui rangkaian bentuk perlindungan diharapkan akan membantu menyelesaikan akar masalah dari perilaku sosial menyimpang serta memberikan dukungan terhadap kesinambungan perubahan perilaku yang dihasilkan melalui pembinaan khusus,” katanya.

Perlu pendekatan personal

Bagi Rahadian sendiri, alih-alih menggunakan pendekatan militer, yang dibutuhkan anak adalah pendampingan yang personal. Treatment-nya memang harus berbeda-beda dan cenderung bersifat personal. Namun, tantangannya adalah sekolah pada umumnya tidak memiliki resource yang cukup untuk melakukan itu.

“Tapi, justru itulah yang harus dilakukan oleh negara kan? Berdayakan sekolah supaya bisa mengatasi atau menangani anak-anak seperti ini,” tegasnya.

Menyamaratakan semua anak lalu memberi treatment yang sama, bagi Rahadian merupakan kebijakan yang berbahaya. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan ulang kebijakan ini karena pendidikan itu jangka panjang, tidak ada yang instan.

“Jepang misalnya, bicara pendidikan karakter itu ya kelas dasar. Mulai dari PAUD sampai SD tingkat dasar kelas satu, dua, tiga itu lebih banyak ngomongin pendidikan karakter. Belum terlalu banyak akademik. Akademik itu di genjot di kelas yang lebih tinggi,” ungkapnya.

Hal itu menunjukkan, proses pembangunan karakter perlu waktu yang tidak sebentar. “Semua pengalaman di banyak tempat mereka cukup sadar, bahwa pendidikan karakter itu tidak ada yang instan, kecuali mau dicuci otak gitu ya. Anak itu kan ada proses tumbuh kembangnya,” pungkasnya.

Pendapat orang tua

Meskipun banyak kalangan menentang, tidak sedikit orang tua yang mendukung kebijakan ini. Salah satunya orang tua siswa kelas delapan, Ardi dan Ola. Menurut mereka, harus diakui hal ini menjadi cerminan kegagalan pendidikan internal (rumah) dan sekolah. “Kalau rumah dan sekolahnya berhasil, nggak akan ada kayak gini,” kata Ardi ketika ditemui langsung Kamis, 8 Mei 2025.

Walaupun, ada banyak faktor-faktor lain seperti faktor eksternal dari lingkungan dan teman-teman. Tapi, menurutnya jika rumah dan sekolah sudah cukup (berhasil), seharusnya anak tidak akan bermasalah.

“Jadi menurut saya, sah-sah saja orang tua mendaftarkan anaknya untuk dibawa ke barak militer. Pasti banyak sebenarnya orang tua yang sudah hopeless gitu sama anaknya, maksudnya nyari bantuan ke mana lagi. Jadi, semoga saja pas keluar dari sana, anak jadi dapat insight, jadi lebih terarah gitu,” tambahnya.

Senada, Retno, orang tua siswa kelas 10, mengaku pada dasarnya tidak menolak kebijakan ini. Berkaca dari pengalamannya di masa lalu, yang pernah mengikuti pelatihan di barak militer selama 40 hari sewaktu SMA, ia merasakan manfaatnya.

“Jadi, saya melihat bahwa pengalaman ketika saya ada di barak tentara dengan sistem disiplin yang mereka terapkan, bermanfaat untuk saya sampai sekarang,” ungkap Retno.

Menurutnya, bagaimana dirinya bersikap terhadap lingkungan hari ini, sedikit banyak dibentuk di barak militer dulu. Bukan soal tantangan fisik tetapi lebih cenderung kepada disiplin terhadap waktu, kebersamaan dalam sebuah kelompok dan menjadi lebih peka terhadap lingkungan.

Akan tetapi, mengenai barak militer gagasan Dedy Mulyadi, dirinya mengaku masih dalam konsep yang terbuka. Jika konsepnya serupa dengan yang ia jalani, ia tak keberatan. “Jika memenuhi saya akan mendukung tetapi, kalau tidak memenuhi maka saya tidak mendukung,” ungkapnya.

Lain halnya dengan Santi, ibu rumah tangga. Ia mengaku secara pribadi setuju terhadap setiap wacana yang visioner, selama implementasinya matang relevan, dan konsultasi dengan ahli terlebih dahulu. Jadi bukan hanya kebijakan untuk cari panggung semata.

“Tetapi yang paling krusial dan fundamental menurut saya, di keluarga,” ungkapnya ketika dihubungi via Whatsapp, Sabtu, 10 Mei 2025.

Menurutnya, program-program yang fokus untuk upgrade pengetahuan keluarga  juga tidak bisa diremehkan. Di samping wacana-wacana baru, tetap penting untuk tetap fokus pengembangan karakter anak, kreativitas, dan pemecahan masalah, yang beberapa caranya bisa lewat pembenahan seluruh stakeholder secara terukur dan terstruktur. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID