15 Juli 2019, anak saya akhirnya lahir setelah 12 jam lebih berjuang melawan kontraksi yang sakitnya belum menghilang dari ingatan. Ia punya hidup baru di dunia ini. Begitu juga saya.
Hari itu, semuanya berubah. Vagina saya kini sudah ditambal jahitan. Perut saya penuh dengan stretch mark bekas tempat anak saya berdiam selama 9 bulan. Puluhan saraf saya juga putus. Prioritas berubah, jam tidur berubah, segala hal berubah.
Tapi, ada satu perubahan yang masih mengganggu saya hingga kini. Pikiran saya tentang betapa tidak adilnya dunia ini bagi perempuan, terutama ibu. Dan ini saya alami setelah saya punya anak.
Setelah melahirkan, semua orang akan fokus pada si bayi. Apakah bayinya sehat, beratnya berapa, tingginya berapa, semua hal detil ditanyakan. Tapi, saya jarang menemukan yang bertanya keadaan saya.
Ketika berat badan belum kembali normal, tetangga akan mulai basa-basi, “Tinggal turunin kiloan ya sekarang mah.” Padahal ketika mengandung, mereka juga yang rajin-rajin mengingatkan untuk makan banyak tanpa setop. “Demi si dedek,” kata mereka.
Akan tetapi, komentar positif malah datang ketika melihat perut para suami buncit. Alih-alih body shaming, mereka akan memuji, “Wah, pasti bahagia ya sekarang.”
Kemudian akan timbul pertanyaan selanjutnya, “Nanti, siapa yang akan jaga dedek? Berarti harus resign ya?”. Pertanyaan seperti itu sayangnya hanya ditujukan kepada para ibu, bukan bapak. Seolah-olah tanggung jawab mengurus anak hanya milik ibu.
Saya mengalami itu semua. Saya akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaan impian saya.
Saya kira dunia akan melunak, setelah saya melakukan apa yang mereka bilang sebagai “kodrat”. Tapi, semuanya tampak malah makin mengerikan. Terutama ketika melihat media sosial.
Melihat betapa ibu-ibu modern memamerkan achievement mereka seperti memasak MPASI (makanan pendamping ASI) sendiri, memberi ASI 2 tahun penuh, ataupun vaksin mahal tanpa demam. Semua itu membuat saya stress. Ternyata masih banyak milestone lain yang harus saya kejar demi memenuhi standar sosial.
Kemudian saya kembali berpikir, lagi-lagi beban ini hanya dimiliki oleh ibu. Bapak-bapak tak pernah ditanya apakah bisa memasak sendiri, apakah bisa gendong anak yang benar, atau bahkan apakah bisa bersih-bersih rumah.
Semuanya dibebankan pada perempuan, pada ibu.
Ini juga berlaku untuk apresiasi. Ketika seorang anak punya kemampuan baru, pikiran orang akan otomatis tertuju pada sang ibu, “Oh ini ibunya hebat yang ngajarin.”
Kenapa semua yang berhubungan dengan anak lekat kaitannya hanya dengan ibu? Seolah-olah peran bapak dalam mengurus anak hanyalah memberi uang banyak untuk kebutuhan sehari-hari.
Pikiran itu terus mengganggu saya, sampai akhirnya saya memutuskan untuk kembali bekerja dan menyapih anak lebih dini.
Lagi-lagi, hujatan itu datang lagi. Kok berhenti sebelum 2 tahun? Kenapa balik kerja lagi? Nggak kasihan sama anaknya? Saya hanya tersenyum sambil melengos pergi.
Pertanyaan-pertanyaan usil seperti itu mustahil hinggap di para suami. Mustahil. Saya bisa jamin. Belum pernah saya mendengar keluhan suami, “Duh, anak gak ada yang jaga nih, kayaknya gue resign aja.”
Kenapa ya? Jujur saya belum menemukan jawabannya sekarang. Yang saya tahu, dalam agama saya, ibu sangat dijunjung tinggi, posisinya pun 3 kali di atas seorang ayah.
Tapi, mengapa dunia memperlihatkan sebaliknya?
Januari 2022,
Firda Iskandar