digitalMamaID — Di tengah masyarakat yang masih memegang teguh sistem patriarki, perubahan sering kali datang bukan dari revolusi besar, tetapi dari keberanian orang-orang biasa. Mereka yang menjalani hidup dengan aturan yang timpang, yang sejak lahir telah ditentukan perannya, namun dengan keberanian dan pilihan-pilihan kecil, mereka perlahan meruntuhkan batasan yang mengekang. When Life Gives You Tangerines adalah kisah tentang orang-orang seperti itu—mereka yang tidak terlahir sebagai pejuang, tetapi dengan keteguhan dan cinta, mereka mengubah nasib mereka sendiri.
Dengan latar Pulau Jeju yang indah, drama ini membawa kita ke dalam kehidupan Oh Ae Sun dan Yang Gwan Sik. Dua karakter yang membuktikan bahwa perubahan tidak selalu datang dari tempat yang besar, tapi dari hati yang penuh keberanian.
When Life Gives You Tangerines adalah drama Korea yang menggambarkan realitas kehidupan perempuan di Pulau Jeju. Disutradarai oleh Kim Won Seok, yang sebelumnya sukses dengan My Mister dan Signal, serta ditulis oleh Lim Sang Choon, penulis Fight for My Way dan When the Camellia Blooms, drama ini menggabungkan sinematografi yang indah dengan narasi yang kuat. Dibintangi oleh IU sebagai Oh Ae Sun muda dan Park Bo Gum sebagai Yang Gwan Sik muda, serta Moon So Ri dan Park Hae Joonsebagai versi tua mereka. Serial ini bukan hanya kisah cinta, tetapi juga perjalanan menuju kebebasan dan kesetaraan.
Ae Sun: Perempuan yang berani memutus siklus
Ae-sun adalah anak dari seorang haenyeo, penyelam perempuan tradisional yang bekerja mencari nafkah dari laut. Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang keras, di mana perempuan harus bekerja sementara laki-laki memiliki hak lebih dalam keluarga.
Ayahnya seorang nelayan, meninggal di laut. Kemiskinan ibunya membuat Ae Sun dititipkan di keluarga ayah. Di sana, ia diperlakukan sebagai anggota keluarga kelas dua. Ia banyak mengerjakan urusan rumah tangga. Makanan yang ia dapat berbeda dengan anggota keluarga yang lain.
Ae Sun adalah gadis yang pintar. Ia meraih nilai sempurna di kelas. Ia juga punya watak sebagai pemimpin. Tapi ia sering dikalahkan oleh keadaan. Ia bahkan dipaksa untuk merelakan jabatan ketua kelas kepada siswa yang lebih kaya.
Gadis cilik itu sering menghabiskan waktu di pinggir laut, menanti ibunya yang sedang menyelam. Ia kerap kesal karena ibunya menyelam begitu lama. Kegigihan ibunya rupanya menurun pada Ae Sun. Ia begitu mengagumi ibunya. Sayang, ibunya meninggal dunia saat Ae Sun berusia 10 tahun. Ibunya meninggal karena sakit paru-paru. Sejak saat itu, Ae Sun berjuang sendiri menaklukkan kerasnya hidup yang dikungkung patriarki.
Setelah menikah dan memiliki anak, ia menolak menerima nasib yang sama untuk anaknya. Dalam salah satu adegan paling emosional, Ae-sun dengan tegas menolak ketika anaknya disarankan menjadi penyelam juga. “Tidak, dia tidak akan seperti aku,” katanya. Ini bukan sekadar penolakan pekerjaan, tetapi simbol perlawanan terhadap takdir yang dipaksakan oleh sistem patriarki.
Ae Sun adalah gambaran banyak perempuan di dunia nyata yang berusaha keluar dari siklus ketidakadilan. Ia berani menolak mengulang tradisi yang merugikan perempuan.
Gwan Sik: Laki-laki yang menghancurkan sekat patriarki
Sering kali, perjuangan feminisme dianggap sebagai tugas perempuan saja. Namun, drama ini menunjukkan bahwa melawan patriarki juga membutuhkan laki-laki yang berani berdiri di sisi perempuan. Gwan Sik, suami Ae Sun, adalah sosok seperti itu. Ia bukan laki-laki dengan kata-kata manis, tetapi perbuatannya berbicara lebih dari segalanya.
Dalam adegan makan bersama keluarga, ia melakukan sesuatu yang sederhana tetapi penuh makna. Ia memberikan kacang polong miliknya kepada anak mereka, lalu berpindah tempat untuk duduk semeja dengan istri dan anaknya. Padahal, dalam tradisi keluarga, menantu perempuan hanya duduk bersama ibu mertua, sementara ayah dan anak laki-laki di meja terpisah. Dengan satu tindakan kecil ini, Gwan-sik meruntuhkan batas yang selama ini dipaksakan oleh tradisi.
Salah satu momen paling kuat dalam drama ini adalah ketika ia berkata kepada keluarganya, “Ae Sun ke sini untuk hidup denganku, bukan jadi menantumu.”
Kata-kata ini menunjukkan bagaimana ia melihat Ae Sun bukan sebagai seseorang yang harus tunduk pada keluarganya, tetapi sebagai pasangan hidup yang setara. Sikap Gwan Sik dianggap sebagai sebuah anomali saat itu. Dalam tradisi Korea, menantu perempuan sering diperlakukan seperti pembantu rumah tangga. Wajib melayani keluarga mertua dan dianggap tidak punya suara.
Gwan Sik menjadi contoh bahwa laki-laki bukan musuh dalam perjuangan feminisme. Justru, mereka bisa menjadi sekutu dalam menciptakan perubahan.
Perubahan dimulai dari rumah
Pada akhirnya, When Life Gives You Tangerines mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu datang dari revolusi besar, tetapi dari keputusan kecil yang kita buat setiap hari. Ae Sun dan Gwan Sik tidak mengubah dunia dalam skala besar, tetapi mereka menciptakan dunia yang lebih baik untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.
Ketika kehidupan memberikan kita jeruk tangerine, kita bisa memilih untuk menerimanya begitu saja atau bertanya: mengapa hanya ini yang diberikan kepada kita? Seperti Ae Sun dan Gwan Sik, kita bisa memilih untuk mengubahnya.
When Life Gives You Tangerines tayang di Netflix! [*]