Ada satu hal yang cukup menggelitik di pikiranku saat makan siang. Tepatnya saat ada satu teman sebut saja Kaysa mengomentari warna pakaian temanku lainnya yang bernama Rizka. “Aku nggak suka warna gamis kayak gini,” telunjuk Kaysa mengarah ke pakaian Rizka.
Refleks Rizka menjawab, “Ya ampun jangan di depan orangnya langsung kek.”
Meski saat menjawab Rizka diiringi tawa kecil, tapi dari mimik wajahnya aku bisa sedikit merasakan ketidaknyamanannya. Setiap siang, kami biasa makan bersama teman-teman satu lantai di kantor.
Entah ada angin apa, aku yang sedang menikmati kunyahan nasi dan lauk siang itu terbawa suasana. Aku tahu kebiasaan Kaysa ini, hobi sekali mengomentari make up dan outfit teman-teman di kantor. Lebih tepatnya nyinyir bukan komentar positif apalagi saran yang membangun. Rasanya perlu ada seseorang yang berani memberikan ultimatum padanya. Dan itu adalah aku.
“Jangan paksa orang buat suka sama selera warnamu. Tidak semua yang kamu suka, orang lain harus suka,” begitu kalimat tegasku pada saat itu ke Kaysa. Agar suasana agak cair aku iringi tawa kecil di akhir kalimat tersebut.
Kaysa terdiam dan tampak biasa saja.
Namun, respon tidak terduga datang dari beberapa teman yang mendengar kalimatku. Ternyata banyak yang mengaminkan kalimatku. Bahkan ada yang berucap, “Tuh dengerin Kaysa. Jangan kayak gitu.”
Lainnya juga ikut menyuarakan sambil bersorak, “Tahu tuh Kaysa. Huuu…”
Kami tertawa bersama-sama. Untungnya Kaysa bukan tipe orang yang baper ketika diberikan ultimatum seperti itu. Tampaknya teman-teman juga tahu kalau aku tipe orang yang ceplas-ceplos dan suka memberikan ultimatum ketika ada suatu hal yang menyenggol hati. Semoga Kaysa paham maksud nasihat ucapanku itu.
Semenjak kejadian itu, Kaysa tampak tak berubah juga. Dia tetap mengomentari penampilan di sekitarnya. Ya, aku tahu memang butuh proses dan kesadaran diri yang tinggi untuk berubah menjadi lebih baik. Semoga saja sampai tulisan ini dibuat Kaysa sudah menjadi pribadi yang lebih baik.
Adila Rarasthika