digitalMamaID – Bullying rupanya tak hanya jadi ancaman pada anak. Kasus meninggalnya dokter muda mahasiswa program spesialis menjadi pengingat, bullying bisa terjadi pada orang dewasa.
Meninggalnya Aulia Risma Lestari (30), dokter muda yang sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi di RSUP Kariadi, Semarang menuai banyak sorotan. Aulia diduga mengalami perundungan dan pemerasan oleh seniornya.
Aulia ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya di Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang. Ia diduga mengakhiri hidupnya dengan menyuntikkan obat bius jenis Roculax ke lengannya. Ditemukan pula buku tulis sebagai barang bukti. Bahkan tak berselang lama setelah kematian ayahnya, beredar voice note Aulia yang menyiratkan adanya tekanan dan bullying yang dialaminya.
Dilansir dari Tempo, Pelaksana Tugas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, instansinya telah membentuk tim investigasi dan mengantongi bukti terkait perundungan yang dialami Aulia. Tidak hanya pemerasan Rp 20 – 40 juta sebulan oleh senior, Aulia juga harus bekerja melebihi jam kerjanya, diminta membuat tesis hingga kegiatan mencuci pakaian (laundry).
“Dengan adanya bukti-bukti kuat yang telah diserahkan, Kemenkes berharap penyelidikan dapat menemukan titik terang dan memberikan keadilan bagi keluarga korban,” kata Nadia di Senayan, Jakarta, Selasa, 3 September 2024.
Mengenai sanksi bagi pelaku, menurut dia, jelas termaktub di Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Mulai dari teguran, penurunan pangkat, penundaan pangkat atau dikeluarkan apabila pelaku Aparatur Sipil Negara (ASN), pemutusan kontrak apabila pelaku dokter.
Namun, jika pelaku adalah peserta PPDS atau mahasiswa, maka Kemenkes akan mengembalikan pelaku tersebut ke kampusnya. Kampus melakukan pembinaan, dengan tidak lagi melakukan pendidikan selama satu semester atau beberapa semester.
“Hingga sanksi berat, pelaku tidak boleh sama sekali melakukan praktik pendidikan di rumah sakit vertikal Kemenkes. Kemenkes dapat mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) pelaku,” tegas Nadia.
Faktor terjadinya bullying
Lalu kenapa perundungan masih saja terjadi di jenjang perguruan tinggi bahkan di lingkungan kerja, yang notabene pelaku sudah memiliki kemampuan berpikir yang matang dan sudah menginjak usia dewasa?
Menurut Wiwiek Triernawati, guru sekaligus pemerhati sosial dalam tulisannya di Kompasiana, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perundungan di perguruan tinggi, di antaranya adalah:
- Hierarki yang kaku antara dosen, senior, dan junior.
Mahasiswa yang berada di tingkat lebih rendah sering kali merasa tidak berdaya ketika berhadapan dengan senior atau dosen yang memiliki kuasa. Ketiadaan mekanisme yang jelas untuk melaporkan kasus perundungan juga turut memperparah situasi ini. Korban sering kali merasa takut untuk melapor karena khawatir akan mendapatkan balasan atau tindakan represif.
- Selain itu, budaya kompetitif di perguruan tinggi juga menjadi pemicu utama.
Mahasiswa yang bersaing untuk mendapatkan pengakuan akademik, beasiswa, atau prestasi lainnya terkadang menggunakan cara-cara yang tidak etis, termasuk menjatuhkan menggunakan cara-cara yang tidak etis, termasuk menjatuhkan lawan melalui perundungan.
“Pada beberapa fakultas, seperti fakultas kedokteran atau hukum dan teknik, tekanan akademik yang tinggi juga menjadi faktor yang memperparah dinamika sosial yang tidak sehat ini,” ungkap Wiwiek.
Bullying menurut psikolog klinis
Topik mengenai perundungan di lingkup perguruan tinggi dan dunia kerja sebenarnya bukan barang baru. Meski dewasa secara usia, nyatanya risiko perundungan tetap ada. Psikolog Klinis Pingkan Rumondor, S.Psi., M.Psi., dikutip dari Suara.com mengatakan, rata-rata pelaku bullying dengan sadar melakukan bullying namun tidak sadar penyebab dirinya melakukan tindakan tersebut.
“Dari perspektif pelaku biasanya merasa hanya sekadar bercanda. Tetapi di sisi lain, di balik perilaku bullying, ada perasaan tidak mampu dan malu terhadap dirinya sendiri dan berusaha ditutupi agar tidak diketahui orang lain. Caranya dengan menjatuhkan orang lain,” jelas Pingkan
Dari sisi psikologis, seringkali justru yang melakukan bullying, sebetulnya tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Agar merasa nyaman dengan dirinya sendiri, mereka akan menarget orang yang menurutnya berbeda dengan dirinya untuk direndahkan.
Bukan tidak mungkin mencegah budaya bullying di lingkungan kerja. Pingkan menyarankan agar setiap orang harus mengenali batasan personal. Jika ada yang merasa terintimidasi, maka bisa membicarakannya dengan rekan kerja. “Tak perlu terburu-buru, tenangkan diri lebih dulu lalu komunikasikan secara terbuka kepada atasan. Bangun relasi juga dengan leader yang posisinya lebih di atas senior kita,” lanjutnya.
Solusi objektif bermetodologi
Menurut Dr. Taufik Nur Azhar, Ahli Neurosains, mengurai persoalan ini dalam tulisannya berjudul “Mengurai Kompleksitas Problematika Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia”. Menurut dia, seharusnya kejadian ini menjadi momentum bersama berbenah dalam kerangka mencari solusi terbaik.
“Saatnya segenap pemangku kebijakan dan kepentingan duduk bersama. Lembaga penyelenggara pendidikan, kementerian dan lembaga negara terkait, organisasi profesi, civitas akademika, alumni, para mitra pengguna jasa, para pengambil kebijakan di tingkat lokal, regional maupun nasional, perwakilan masyarakat dan masyarakat umum urun rembug menjadi bagian proses penyelesaian masalah,” paparnya dalam tulisannya.
Persoalan program PPDS menurutnya, merupakan sebuah persoalan kompleks yang melibatkan banyak variabel. Beberapa diantaranya terkait kurikulum, sumber daya, kebijakan pendidikan dan teknologi dan dinamika sosial. Untuk itu diperlukan pendekatan objektif bermetodologi dan dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dilaksanakan. Beberapa metode yang relevan untuk mengatasi persoalan ini meliputi pendekatan sistemik, metode berbasis bukti, pendekatan kualitatif, serta penerapan teknologi maha data (big data) dalam konteks pengambilan keputusan.
“Jika segenap pemangku kepentingan dan kebijakan dalam proses penyelenggaraan PPDS dapat bersinergi untuk menghasilkan solusi inovatif berdasar pendekatan objektif bermetodologi, maka momen yang terjadi saat ini dapat menjadi momen kebangkitan yang membuka cakralawa harapan perbaikan dan peningkatan kualitas program pendidikan di masa depan bukan?” pungkasnya. [*]