digitalMamaID – Jejak digital itu abadi. Bagaimana jika informasi tentang seseorang yang sudah tidak relevan terus terekam di mesin pencari? Yuk, kenali hak untuk dilupakan atau yang dikenal dengan right to be forgotten!
Apa yang terjadi pada konten yang menyebar luas pada kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan? Apakah konten tersebut hilang dari internet? Atau masih bisa diakses dengan mudah? Sama halnya dengan penyebaran informasi atau berita lama yang sudah tidak relevan tentang seseorang, bagaimana jika orang lain masih bisa mengaksesnya dari internet?
Jika informasi tersebut terekam dalam mesin pencari selama bertahun-tahun dan mudah di akses, tentu hal ini bukan hanya merugikan rekam jejaknya tapi, dapat berdampak panjang bagi hidup seseorang. Padahal, ada hak digital yang melekat dengan hak asasi yang dimiliki setiap orang, yaitu right to be forgotten (hak untuk dilupakan).
Mengadopsi dari Uni Eropa yang sudah lebih dulu membuat right to be forgotten, Indonesia juga memiliki regulasi serupa. Tercantum dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Indonesia sendiri digadang-gadang menjadi satu-satunya negara Asia yang mengadopsi hak untuk dilupakan. Menurut Kominfo, hak tersebut memungkinkan setiap orang dapat meminta agar informasi maupun dokumen elektronik terkait dirinya yang sudah tak relevan lagi di internet dihapuskan.
Ketentuan permintaan hak tersebut wajib didasarkan pada ketetapan pengadilan. Setidaknya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu jika informasi tersebut itu sudah tidak akurat, kedua data itu sudah tidak relevan, ketiga data itu dimunculkan secara berlebih dan tidak tepat saji.
Implementasi hak untuk dilupakan akan berada di tangan pengadilan, bukan Kominfo. Kedepannya, kasus penghapusan informasi elektronik yang ditangani oleh pengadilan, bisa pidana maupun perdata.
Perbedaan konsep hak untuk dilupakan antara Indonesia dengan Uni Eropa
Mengutip Hukum Online, cakupan right to be forgotten di Indonesia cukup luas. Bukan hanya search engine atau mesin pencari yang harus melakukan penghapusan informasi elektronik atau dokumen elektronik, tetapi setiap penyelenggara sistem elektronik.
Konsep tersebut dinilai berbeda dengan Uni Eropa. Di negara-negara Eropa, informasi elektronik atau dokumen elektronik hanya dihapuskan dari hasil pencarian search engine atau mesin pencari, namun tidak dihapuskan dari sumber asalnya.
Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kominfo, Teguh Arifiyandi dalam pernyataannya di Hukum Online, implementasi right to be forgotten di Indonesia nantinya tidak pada mesin pencari (search engine) saja. Penghapusan konten yang dianggap tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan langsung dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik yang memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu.
Lalu siapa penyelenggara sistem elektronik yang dimaksud? Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) a UU 19/2016, yang dimaksud sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik adalah:
“Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.”
Selain itu, perbedaan penerapan right to be forgotten yang lain adalah soal luasnya cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusannya oleh seseorang. Dalam revisi UU ITE, informasi yang dapat dimohonkan untuk dihapus tidak hanya yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas lagi yaitu apapun informasi atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan. Maka yang bersangkutan dapat meminta penghapusan dengan menunggu penetapan pengadilan
Sedangkan di negara-negara Uni Eropa cakupannya sangat spesifik, yakni khusus pada konten yang terkait dengan data pribadi.
Ada potensi penyalahgunaan
Adanya hak untuk dilupakan ini tentu membawa angin segar sekaligus membawa tantangan tersendiri. Tak sedikit orang yang khawatir aturan ini akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, misalnya untuk menghilangkan rekam jejak informasi pribadi terkait dugaan kasus-kasus pidana atau kriminal.
Masih dari Hukum Online, Ketua Badan Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju berpandangan, penerapan aturan tersebut dapat berdampak panjang apabila misalnya seseorang dibebaskan dalam tindak pidana, kemudian dikabulkan permintaan penghapusan informasi oleh pengadilan. Maka tak saja situs yang memberitakan, namun juga berdampak pada situs milik pemerintah. Karena bisa jadi situs instansi pemerintah merekam data suatu jenis tindak pidana seperti situs milik MA.
“Media berita online pun boleh jadi bakal terkena dampaknya. Ketika media memberitakan kasus kejahatan sesuai fakta yang didapat dari kepolisian serta institusi penegakan hukum lain misalnya, kemudian terdakwa dibebaskan di pengadilan. Lantas mendapatkan penetapan pengadilan untuk menghapuskan berbagai informasi yang beredar terkait informasi seorang terdakwa di berbagai situs,” ujarnya
Masih dari sumber yang sama pula, Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) ELSAM Wahyudi Djafar berpadangan, revisi UU ITE ini tidak menjawab persoalan pokok. Perumusan aturan tersebut juga jauh dari prinsip-prinsip right to be forgotten. Selain mesti melalui penetapan pengadilan, kebijakan penghapusan data pribadi pun mesti diselaraskan dengan persyaratan minimum penghapusan data.
Rentan menyulitkan publik
Menurut Wahyudi, penghapusan data pribadi mestinya dibatasi dengan penentuan jenis-jenis data pribadi yang sah untuk kemudian dilakukan penghapusan. Serta penyedia jasa yang terkait, otoritas publik dan pengadilan pun mesti melakukan pelaporan secara terbuka. “Mengenai keputusan yang berkaitan dengan penghapusan atas informasi pribadi,” ujarnya.
Baginya di negara yang tingkat impunitasnya tinggi seperti Indonesia, pengaturan hak ini hanya akan dimanfaatkan oleh segelintir orang tertentu. Yakni untuk menghilangkan rekam jejak informasi pribadinya atas dugaan berbagai kasus yang terjadi. Misalnya, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu.
“Selain itu, belum adanya pemahaman yang kuat tentang data-data yang masuk kategori data pribadi atau data yang bisa diakses publik, dengan adanya rumusan ini, juga akan menyulitkan publik untuk mengakses rekam jejak kontestan politik yang akan mereka pilih. Sebab ada potensi mereka juga akan menghilangkan sebagian rekam jejaknya di masa lalu,” tandasnya.
Realitanya, di Eropa pun implementasi right to be forgotten masih sulit, masih menuai pro dan kontra. Setelah kasus besar Mario Costeja Gonzales dikabulkan, permintaan penghapusan tautan yang diterima Google meningkat. Berdasarkan data keterbukaan dari situs resmi Google, jumlah tautan yang sudah dievaluasi untuk dihapus tercatat sebanyak 1,63 juta. Jumlah itu berasal dari 523.394 permintaan. Tautan dari Facebook menjadi yang terbanyak dimintai untuk dihapus, yakni mencapai 13.852 tautan.
Google khawatir ada potensi penyalahgunaan hak dan juga arsip elektronik. Terlebih, jika aturan ini diberlakukan di negara-negara yang belum maju atau cenderung korup. Seperti di Indonesia ya, Mama? [*]