digitalMamaID- Rancangan Undang-Undang penyiaran (RUU penyiaran) menjadi sorotan, terutama mengenai larangan terhadap jurnalisme investigasi.
Larangan itu dimuat dalam Pasal 50 B Ayat (2) huruf c RUU Penyiaran.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, aturan ini merugikan masyarakat.
Sebab, dalam lingkup pemberantasan korupsi misalnya,produk jurnalistik kerap menjadi kanal alternatif membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan oleh pejabat publik.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari Indonesian Corruption Watch, LBH PERS, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Kemudian, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Greenpeace Indonesia, AJI Indonesia, dan Watchdoc.
Menurut mereka, sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi watchdog atau pengawas.
Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR ini dinilai bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan menjadi polemik di masyarakat.
Delapan catatan
Ada 8 catatan Koalisi Masyarakat Sipil terkait draft yang dinilai kontroversial tersebut.
- RUU Penyiaran menambah daftar panjang regulasi yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Adanya norma yang membatasi konten investigatif tersebut justru semakin menghambat kerja-kerja masyarakat sipil.
- Bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip good governance.
- Karena karya liputan investigasi merupakan salah satu bentuk paling efektif yang dihasilkan dari partisipasi publik dalam memberikan informasi dugaan pelanggaran kejahatan atau kebijakan publik kepada jurnalis. Produk jurnalisme investigasi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis.Konten jurnalistik investigatif jadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup pluit (whistleblower). Dalam konteks pemberantasan korupsi maupun gerakan masyarakat sipil, tidak sedikit kasus yang terungkap berasal dari informasi publik yang diinvestigasi oleh jurnalis
- Pembatasan liputan eksklusif investigasi jurnalistik akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi. Hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum dałam proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi. Data dan Informasi mendalam yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas peristiwa dugaan kasus korupsi maupun pelanggaran lainnya.
- Standar isian siaran dalam RUU Penyiaran soal liputan investigasi dapat menghambat pencegahan korupsi. Karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekadar pemberitaan. Tapi lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik.
- Ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan regulasi lain, khususnya yang menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers. Ketentuan dalam RUU Penyiaran bertentangan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
- RUU Penyiaran membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media. Dengan larangan penyajian eksklusif laporan jurnalistik investigatif maka pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan (watchdog).
- Ketentuan dalam RUU Penyiaran merupakan bentuk ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia. Ini karena jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Atas dasar ini, Koalisi Masyarakat Sipil menolak DPR dan pemerintah menghentikan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi.
Menghapus pasal-pasal yang multitafsir, membatasi kebebasan sipil, dan tumpang tindih dengan UU lain.
Kemudian, mendesak pemerintah dan DPR membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya.
Terakhir, menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers, termasuk RUU Penyiaran.