Kopi menjadi minuman yang sangat populer di masyarakat. Kafe menjamur menyuguhkan kopi andalannya. Jika Mama adalah penyuka kopi, mampirlah ke Cafe More. Sebuah kafe yang berada di Pusat Wyata Guna, Kota Bandung ini tak hanya menyuguhkan kopi nikmat, tetapi juga tempat barista difabel menitipkan asa.
Cafe More memiliki kisah inspiratif yang melampaui rasa kopinya. Barista-baristanya memiliki perspektif berbeda dari pada kebanyakan orang. Mereka memiliki netra low vision. Meski begitu, meraka mampu memberikan pengalaman kopi yang tak terlupakan.
Selamat datang di Cafe More, di mana rasanya tidak hanya berasal dari kopi yang harum, tetapi juga dari keinginan dan tekad barista dengan disabilitas. Kafe ini merupakan satu dari sedikit kafe di Indonesia yang mempekerjakan barista disabilitas.
Kafe ini merupakan satu dari 31 Sentra Wyata Guna yang tersebar di seluruh Indonesia. Setiap sentra ini dimiliki oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dan memiliki Surat Keputusan Kementerian Sosial (SKA). Salah satu kegiatan SKA Sentra Wyata Guna adalah Cafe More.
Pengelola Cafe More Erna menjelaskan, kafe ini berdiri sejak Desember 2019. Motivasi mendirikan kafe ini muncul dari kebutuhan kelompok disabilitas sekaligus menyiasati tren yang sedang berkembang. Semula kafe ini bekerjasama dengan Korea melalui Kementrian Sosial untuk membangun vokasional dan inovasi dengan sebutan Baris Ditebas akronim dari Barista Disabilitas Terobos Stigma Keterbatasan.
Perlatan meracik kopi, desain kafe, dan semua ide kafe ini berasal dari Korea. Hingga pelatih barista disabilitas sensorik low vision pun disediakan oleh pihak Korea. Pimpinan lembaga Korea tersebut juga seorang difabel. Itu sebabnya mereka tergerak untuk membantu dan membuktikan kepada publik: difabel juga mampu bekerja seperti orang kebanyakan.
Penuh tantangan
Erna mengatakan, rangkaian proses pendirian kafe ini bukanlah hal yang mudah. Tantangan demi tantangan dihadapi, mulai dari perbedaan pendapat, persaingan kafe di Bandung yang ketat, hingga promosi kafe yang masih sangat kurang. Kafe ini memang kekurangan sumber daya manusia, khususnya dalam bidang promosi.
“Karena kami maunya pelatihnya bisa berkesinambungan karena ke depannya kita belum tentu punya biaya. Kalau dibiayain mereka terus nanti kedepannya yang biayain siapa kalau kita enggak kerja sama dengan universitas,” ucap Erna. Kendalah ini tak dihiraukan oleh Erna, mengingai kafe ini masih merintis dari nol.
Para barista di kafe ini pertama kali dilatih pada 2019. Mereka diajari membuat kopi dengan dasar espresso. Mereka diajari menggunakan mesin untuk membuat espresso. Selain itu, mereka juga belajar membuat minuman lain.
Sampai saat ini, sudah ada tiga angkatan yang mengikuti pelatihan ini. Setiap angkatan terdapat 5-8 orang peserta. Akan tetapi, saat ini hanya tiga barista saja yang masih bertahan.
“Hanya tiga orang yang bertahan karena banyak yang milih ke (bidang) olahraga. (Alasannya) karena dapatnya (pendapatan) lebih besar. Bisa sampe miliaran dan dapet uang bulanan. Kalau jadi barista kan mereka harus bekerja keras dulu,” kata Erna.
Tidak hanya jadi tukang pijat
Kehadiran barista disabilitas ini membuat Cafe More berbeda dengan kafe lainnya. Kafe ini membuktikan, disabilitas tidak membatasi seseorang. Mereka juga bisa setara.
“Makanya kenapa orang beli harganya mahal, karena kita menjual seninya disabilitas,” ucap Erna.
Para difabel netra tidak hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat saja. Mereka juga bisa jadi barista. Erna berharap, di masa yang akan datang makin banyak lapangan kerja untuk orang difabel netra.
Ia menjelaskan, disabilitas sensorik low vision berbeda masih bisa melihat meski sangat sedikit. Ini berbeda dengan tunanetra. Dengan sisa penglihatan itulah mereka meracik kopi.
Memang, keterabatasan ini kadang membatasi interaksi dengan pengunjung. Tapi keterampilan ini memberi kesempatan kerja yang berharga.
Masih banyak masyarakat yang menganggap pekerjaan mereka berjalan lambat atau tidak sesuai dengan standar. “Satu-satunya kata yang dapat diungkapkan adalah semangat,” ucap Erna. Motivasi ini yang membuat mereka terus berkarya dalam keterbatasan.
Erna khawatir, jika mereka berhenti, maka akan sulit untuk kembali bekerja. Mereka bisa kehilangan kepercayaan diri untuk kembali bekerja.
Tempat ini bagaikan inkubator. Tempat bagi bayi diberi perhatian khusus untuk tumbuh dan berkembang. Begitu juga dengan Cafe More yang memberi mereka untuk merintis dan mengatasi hambatan mereka.
Besar keinginan untuk memperbanyak tempat seperti Cafe More ini. Tapi untuk membuka cabang baru bukan perkara mudah. Perlu modal yang besar. Muncul pula ide untuk membuat kafe keliling menggunakan mobul. Lagi-lagi perlu biaya yang cukup besar. Perlu sokongan pemodal atau sponsor untuk mewujudkannya.
Selain itu, para barista ini perlu memantapkan posisinya di komunitas barista. Misalnya saja lewat sertifikasi barista. Ini akan menjadi bukti kompetensi mereka. Inilah yang coba diwujudkan.
Kesempatan kerja untuk difabel
Kepala Sentra Wyata Guna Iri Satria mengatakan, sampai saat ini belum banyak vokasional barista yang dilatih. “Kami Wyata Guna sedang mempersiapkan vokasional lagi dan akan merekrut lagi,” ujarnya.
Menurut dia, barista yang sudah terlatih saat ini harus bisa melatih generasi selanjutnya. Racikan-racikan yang sudah jadi ciri khas Cafe More bisa dipertahankan.
Selain itu, Iri pun sedang berusaha untuk memasangkan hasil pelatihan barista disabilitas kepada masyarakat luar. Ia berharap mereka bisa terhubung dengan kafe-kafe lain yang sangat banyak jumlahnya. Mereka bisa diberdayakan sebagai barista di kafe-kafe tersebut.
“Tapi harapannya agar bisa buka kafe sendiri karena mereka dilatih di sini agar bisa berwirausaha. Walaupun pada akhirnya agak sulit untuk mereka buka kafe sendiri setidaknya mereka bisa bekerja di tempat kafe lain,” ujarnya.
Kewajiban memberi lapangan kerja untuk difabel merupakan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Hak dan Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas. Jauh panggang dari api. Meskipun aturan menetapkan bahwa setidaknya 2% tenaga kerja di lembaga pemerintah dan minimal 1% di lembaga swasta harus berasal dari kalangan penyandang disabilitas, praktiknya masih jauh dari yang diharapkan.
Selain tak sesuai aturan, ada kemungkinan tingkat kemiskinan akan meningkat jika mereka tidak diberi peluang kerja yang sama. Saat ini, banyak orang dengan disabilitas telah lulus sekolah tinggi. Namun, hanya sedikit peluang pekerjaan yang disiapkan untuk mereka. Cita-cita hidup mandiri dengan bekal pendidikan jadi sulit tercapai.
“Paling tidak, kalau misalnya kita belum punya kesempatan untuk membuka usaha atau membuka peluang pekerjaan untuk orang lain setidaknya kita ingin merasakan bekerja ditempat lain terlebih dahulu. Karena memang dengan kondisi yang sekarang banyak juga temen-temen sangat membutuhkan pekerjaan,” ujar Taufik, salah seorang anggota organisasi penyandang disabilitas di Bandung.
Penyandang disabilitas perlu mendapatkan dukungan dan peluang yang memadai untuk hidup lebih mandiri, baik dalam aktivitas sehari-hari maupun di tempat kerja.
Ia berharap, semakin banyak peluang kerja bagi disabilitas. “Kami semua ingin teman-teman kami yang disabilitas merasakan keadilan, memiliki peluang pekerjaan yang layak, dan akhirnya dapat hidup sendiri,” ujarnya.
Lalu, bagaimana pengalaman para difabel low vision ini menjadi barista? Mama bisa baca kelanjutannya di sini, ya! [*]