Masih ada kesenjangan antara penyandang disabilitas dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Menunggu kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada penyandang disabilitas, setidaknya dalam urusan penganggaran.
Sensus Penduduk Indonesia 2020 menunjukkan, jumlah penyandang disabilitas mencapai 23 juta orang. Sebagian besar berada di Jawa dan Sumatera, mengingat konsentrasi penduduk paling besar juga berada di pulau ini.
Perencana Ahli Muda Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Dwi Rahayuningsih mengatakan, kesenjangan terjadi di berbagai bidang. Kemiskinan pada penyandang disabilitas lebih tinggi yaitu sebesar 15,1%. “Sedangkan yang bukan penyandang disabilitas sebesar 10%,” kata Dwi saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional “Titik Temu: Kupas Tuntas Indonesia Ramah Disabilitas Mental dan Disabilitas Intelektual yang diselenggarakan oleh penerima beasiswa Program Magister dan Doktoral Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI Angkatan PK 185 secara hybrid, Sabtu (30/7/2022).
Dari segi capaian pendidikan, jumlah penyandang disabilitas yang tidak memiliki ijazah sebanyak 48,4%. Jauh lebih tinggi ketimbang masyarakat yang bukan penyandang disabilitas sebesar 25,4%.
Penyandang disabilitas juga lebih rentan menjadi korban kejahatan, sekitar 15,1%. Bandingkan dengan masyarakat biasa, sekitar 10% rentan menjadi korban kejahatan. Meski lebih rentan, penyandang disabilitas lebih sulit mendapat akses bantuan hukum. Hanya 14,3% penyandang disabilitas yang bisa mengakses bantuan hukum.
Akses terhadap bantuan finansial juga belum optimal. Inkulis keuangan masih minim bagi penyandangan disabilitas, baru sekitar 20,7%, lebih rendah dari masyarakat umumnya sekitar 38,5%. Demikian pula dengan jaminan kesehatan. Hanya 0,7% penyandang disabilitas yang sudah masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dwi mengatakan, saat membuat kebijakan, pemerintah berusaha untuk mengurangi kesenjangan ini. “Ada perubahan paradigma terhadap penyandang disabilitas,” katanya.
Jika semula mereka hanya dianggap sebagai obyek pembangunan, kini sebagai subyek pembangunan. Sebelumnya, penyandang disabilitas seolah diberikan perlakukan khusus. AKan tetapi, sekarang lebih diarahkan pada pelayanan tanpa diskriminasi. Pendekatan yang digunakan tidak lagi charity based, namun human right based. Perubahan pendekatan ini yang membuat pembangunan penyandang disabilitas tidak lagi menjadi domain sektor sosial saja, melainkan multisektor.
“Kementerian Sosial bukan lagi penanggung jawab, tapi seluruh kementerian lembaga menjadi penanggung jawab,” katanya.
Serangkaian aturan pelaksana telah dibuat untuk menyelaraskan paradigma baru ini. Kolaborasi lintas sektor diarahkan untuk pendataan dan perencanaan inklusif, penyediaan lingkungan tanpa hambatan, pemberdayaan dan kemandirian penyandang disabilitas, perwujudan ekonomi inklusif, pendidikan dan ketrampilan, akses dan pemerataan layanan kesehatan.
Dosen Universitas Ibnu Khaldun Saharuddin Daming yang juga penyandang disabilitas mengatakan, upaya yang sudah dilakukan pemerintah ini sebenarnya tidak istimewa. Sudah sewajarnya untuk menghormati dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas.
“Belum ada yang luar biasa, itu ordinary. Karena presentasi penganggaran masih berorientasi pada kementerian lembaga,” kata Saharuddin.
Ini berbeda dengan negara yang lebih maju. DI Australia misalnya, kata Saharuddin, pemerintah bisa memberikan hibah kepada organisasi masyarakat yang kegiatannya fokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas. Di Indonesia, banyak organisasi masyarakat yang memberdayakan penyandang disabilitas tidak memiliki dana yang cukup sehingga sulit berkembang maksimal.
“Hari ini, di sini masih banyak yang kerdil karena penganggaran. Mereka mendapatkan donasi masyarakat. Bagaimana akan marak kalau tidak mempunyai dana,” katanya.
Menurut Saharuddin, pemerintah perlu melakukan formulasi dan reformasi penganggaran. “Penganggaran yang tersedia tidak hanya untuk lembaga dan pemerintah tetapi juga lembaga-lembaga pembina disabilitas. Faktanya, merekalah gugus terdepan pemberdayaan masyarakat disabilitas,” tuturnya.
Memanfaatkan media sosial
Salah satu persoalan yang kerap dihadapi penyandang disabilitas ialah bullying atau perundungan. Hal ini disampaikan oleh Herlina dari Perkumpulan Orang Tua dengan Anak Disabilitas Indonesia (PORTADIN) Jakarta. Meski sudah dilaporkan, persoalan perundungan ini masih saja terjadi.
Menyikapi hal ini, Saharuddin berpendapat, sebaiknya memanfaatkan media sosial. Sebab pada banyak kasus, laporan ke berbagai pihak tidak segera ditindaklanjuti.
“Kalau ada handphone, videokan, upload ke media sosial. Kalau viral bisa mendapat perhatian. Ini bisa ditempuh karena cara lain sudah tidak efektif lagi,” tuturnya.
Ia menambahkan, meski cara ini bukan cara yang ideal, media sosial bisa dimanfaatkan untuk langkah yang kebih taktis.