Peringatan: Artikel ini mungkin dapat memicu kondisi emosi dan mental pembaca. Kami menyarankan untuk tidak meneruskan membacanya jika mengalami kecemasan dan mempertimbangkan untuk meminta bantuan profesional.
Ingatan Hendri (40) kembali ke masa remaja, saat ia duduk di bangku SMP di Kota Bandung. Ketika itu, ia mulai mendengar suara-suara lirih berbisik di telinga, “Hidupmu tidak berguna. Untuk apa tetap hidup?” Kalimat itu melayang-layang di kepala. kadang terdengar begitu keras, kadang lirih sampai tak terdengar. Ia bertahan melawati masa-masa gelap itu dengan menenggelamkan diri bersama teman-teman maya.
“Mereka menanggapi apapun omongan saya dan mau berjam-jam ngobrol enggak penting. Dan saya seperti bisa jadi diri sendiri,” kata Hendri menuturkan kisahnya melalui aplikasi percakapan WhatsApp, Kamis, 4 Mei 2023. Hendri yang kini tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Bogor meminta wawancara dilakukan melalui WhatsApp.
Hendri remaja mengalami pergolakan luar biasa. Waktu kecil ia mengalami pelecehan seksual oleh kerabat. Tidak sekalipun ia membuka mulut soal ini. Ia tidak berani bercerita kepada keluarga, termasuk ibunya. Bagi ibunya, pendidikan adalah segalanya. Ia hanya boleh belajar. Ketika gadis remaja seusianya bersuka ria membolak-balik majalah dan membaca komik atau novel, Hendri hanya boleh menonton berita televisi dan radio. Ia harus bersusah payah menyelundupkan komik ke kamarnya sendiri.
Di mata ibunya, ia hanya pembuat masalah dan merepotkan. Komunikasi dengan sang ibu tak pernah mulus. Ia simpan rapat-rapat jiwanya yang hancur. Ia membawa trauma melewati masa remaja hingga dewasa.
Bagi awam, ia tak berbeda dengan gadis remaja lainnya. Ia ke sekolah dan bergaul seperti biasa. Tidak ada yang janggal dari aktivitasnya. Tidak ada yang percaya kalau di dalam dirinya sering muncul niat mengakhiri hidup.
“Menurut saya waktu itu aib. Teman-teman SMP dan SMA tidak ada yang tahu kalau saya pernah mengalaminya karena saya biasa saja saat berinteraksi dengan mereka,” katanya.
Ia kemudian mengenal internet. Sepulang sekolah, ia menyelinap ke warnet (warung internet) untuk masuk ke ruang obrolan maya, mIRC. Ia berteman dengan siapa saja, bahkan pengguna dari mancanegara. “Kalau cocok, biasanya lanjut ke Yahoo Messenger, bertukar nomor telefon, email, juga surat-suratan,” tutur Hendri.
Hubungan pertemanan itu ada yang berlangsung lama, bahkan sempat kopi darat. Tidak semuanya baik, ada juga yang memanfaatkan keadaannya dengan bertingkah nakal. Meski begitu, ia tidak kapok. Ia tidak berhenti berteman dengan orang asing di dunia maya. “Rasanya ada yang menganggap saya ada, hadir di dunia ini,” ucapnya.
Beranjak dewasa, kondisinya tidak membaik. Meski kemudian ia berhasil menyelesaikan sekolah, berkeluarga, kemudian menjadi ibu, persoalan dalam dirinya belum hilang. Ia sering mengalami kecemasan sampai ia tak sanggup lagi menahan semuanya. “Saya bilang ke suami, tolong saya, jiwa saya sakit,” katanya. Mei 2021, ia mulai berobat ke psikiater. Ia terdiagnosa menderita depresi mayor dan post traumatic stress disorder (PTSD).
Potret kesehatan mental remaja
Tidak dulu, tidak sekarang. Kesehatan mental remaja kerap dianggap remeh. Survei nasional pertama untuk mendiagnosis kesehatan mental remaja Indonesia usia 10-17 tahun menunjukkan, sepertiga remaja Indonesia (34,9%) terdiagnosis mempunyai setidaknya satu masalah kesehatan mental, pada Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) disebut dengan Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Selain itu, 5,5% remaja terdiagnosis punya gangguan mental atau disebut dengan Orang dengan Gangguan Kejiwaan (ODGJ). Dengan 44,5 juta orang berusia 10-19 tahun di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 15,5 juta dan 2,45 juta remaja yang masing-masing tergolong ODMK dan ODGJ.
Survei yang dipublikasikan pada Oktober 2022 itu menyebut, dari jumlah orang yang terdiagnosa mengalami gangguan kesehatan mental itu, hanya 2,6% remaja yang sudah mengakses layanan bantuan dan konseling. Layanan itu paling banyak didapat dari sekolah, dokter, dan tokoh agama.
Peneliti kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Amirah Ellyza Wahdi yang terlibat dalam survei ini menjelaskan, kondisi kesehatan mental seseorang bersifat dinamis, bisa membaik tapi juga menurun. “Orang yang tidak memiliki gangguan mental sekalipun, ada titik dalam hidupnya ia membutuhkan dukungan. Misalnya saat banyak tekanan di sekolah, adaptasi dengan lingkungan baru,” katanya.
Dalam riset nasional itu disurvei juga tentang perilaku bunuh diri dan melukai diri sendiri. Hasilnya, hanya 0,4% remaja yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Dari seluruh sampel, hanya 1,4% yang pernah memiliki keinginan bunuh diri, dan hanya 0,5% yang membuat rencana bunuh diri. Akan tetapi, 80% dari mereka yang memiliki perilaku tersebut semua memiliki gangguan kesehatan mental.
Meski prevalensi gangguan kesehatan mental remaja tinggi, hanya 4,3% orang tua yang mengaku anaknya butuh bantuan. Hampir setengah (43,8%) orang tua yang disurvei menyatakan tidak mengakses bantuan karena ingin menyelesaikan masalahnya sendiri.
Semua remaja yang disurvei juga menunjukkan adanya strategi menolong diri sendiri saat menghadapi persoalan emosi dan perilaku. Sebagian besar memilih untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai, relaksasi atau meditasi, serta beribadah. Selain itu ada 6,8% yang mencari informasi dari buku, majalah, atau televisi. Serta ada 5,1% yang mencari dukungan lewat jaringan sosial misalnya ruang percakapan online, media sosial, dan grup-grup di internet.
Amirah menyebut, hal-hal di atas sebagai perilaku mencari bantuan untuk kesehatannya. Remaja memilih untuk mendiagnosa diri sendiri karena adanya hambatan untuk mengakses layanan kesehatan. “Mereka tahu butuh bantuan, tapi tidak tahu bagaimana mendapat bantuan. Kalau guru dan orang tua tidak teredukasi, akhirnya mereka tidak mendapatkan dukungan. Ini alasan kenapa bisa terjadi,” tutur Amirah.
Lari ke internet
Hendri dan banyak penyintas gangguan kesehatan mental harus berjuang sendiri sampai akhirnya mendapat pertolongan ahli. Pengalaman Hendri “berlari” ke internet juga dialami remaja lain yang bergulat dengan gangguan kesehatan mental. Bedanya, saat ini tak ada lagi mIRC atau Yahoo Messenger. Kini zamannya media sosial.
Media sosial tidak hanya jadi jembatan menjalin pertemanan. Pengguna media sosial bisa membuat konten dan berinteraksi lewat kolom komentar, tombol like dan share. Konten tentang kesehatan mental kini banyak bertebaran di media sosial. Di satu sisi, masyarakat menjadi lebih peduli dan tidak menganggap remeh soal kesehatan mental. Di sisi lain, pengguna media sosial juga membagikan kesedihan, kemarahan, perasaan putus asa, hingga perilaku melukai diri sendiri.
Platform media sosial sebenarnya mulai menyadari pentingnya melindungi pengguna dari konten kesehatan mental yang negatif seperti ini. Di TikTok misalnya, tidak bisa melakukan pencarian dengan kata kunci tertentu yang merujuk pada aksi melukai diri sendiri, yang muncul ialah peringatan untuk mencari pertolongan. Akan tetapi, langkah itu belum berhasil menutup seluruh celah.
Lewat pencarian kata kunci seperti “pulang sendiri atau dijemput aja” maka akan muncul banyak konten yang menunjukkan kesedihan dan keputusasaan. Celakanya, konten tersebut dibagikan tanpa ada konteks dan penjelasan utuh. Konten seperti itu bisa tayang ratusan ribu kali. Interaksinya pun sangat tinggi, ini bisa dilihat dari jumlah likes dan komentar yang mencapai puluhan ribu.
Konten semacam ini berpengaruh pada kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan oleh Risma Amelia Widyawati dan Afif Kurniawan dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga menunjukkan, paparan media sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku self-harm. Penelitian ini dilakukan pada pengguna media sosial usia 18-25, kelompok usia transisi dari remaja ke dewasa (emerging adulthood). Kelompok ini disebut memiliki faktor risiko tinggi untuk meniru konten yang mereka akses.
Fakta tersebut semakin mengkhawatirkan sebab tidak semua konten di media sosial bisa dipertanggungjawabkan. Kasus tewasnya seorang perempuan di Bogor pada Maret 2023 menjadi contoh. Ia meregang nyawa saat membuat konten pura-pura bunuh diri. Menggunakan sebuah kain yang digantung di rumahnya, ia hendak memperagakan adegan gantung diri. Nahas, kursi yang jadi pijakan terguling. Konten pura-pura itu menjadi nyata.
Hendri mengatakan, banyak konten kesehatan mental yang justru mendorong orang untuk mendiagnosa dirinya sendiri, bukan oleh ahli. “Bahkan ada iklan di media sosial, penyembuhan trauma hanya dengan satu kali pertemuan,” katanya.
Konten membahayakan
Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) Dr. Sandersan Onie membenarkan banyaknya konten yang justru meningkatkan risiko terhadap orang yang rentan melakukan bunuh diri. Tidak hanya berlaku bagi remaja atau dewasa, anak-anak tak terkecuali. “Jika ada anak melihat di media sosial, bisa meningkatkan risiko melakukan percobaan bunuh diri,” kata pria yang biasa dipanggil Sandy ini.
Pada 2019, seorang ayah di Inggris Ian Russel meyakini, putrinya yang berusia 14 tahun bunuh diri karena Instagram. Hal itu ia dapati setelah memeriksa akun Instagram putrinya. Putrinya mengikuti sejumlah akun yang kerap mengunggah konten tentang perilaku melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri.
Kejadian seperti ini bukannya tidak terjadi di Indonesia. Tapi masalahnya, Indonesia tidak punya data yang tepat soal angka bunuh diri. Stigma yang masih kental membuat keluarga tidak melaporkan kejadian bunuh diri.
Catatan INASP, kasus bunuh diri di Indonesia sudah terjadi pada anak-anak. Mulai dari 12 tahun hingga usia 60 tahun.
Angka bunuh diri yang tidak dilaporkan (underreporting) memang terjadi di seluruh dunia. Rata-rata di dunia sekitar 30-50%. Di Indonesia angkanya jauh lebih tinggi dari itu. INASP menyebut angkanya menyentuh 300%. “Saat ini terbesar di dunia. Belum ada estimasi akurat seberapa besar problem ini. Tapi kalau kita lihat, setiap orang setidaknya pernah mendengar atau mengenal orang yang bunuh diri,” tutur Sandy.
Meski minim data akurat, nyatanya anak-anak dan remaja di Indonesia juga terpapar konten demikian. Di era digital ini, sebuah konten tidak mengenal batas negara. Konten dari berbagai belahan dunia bisa tersirkulasi secara global.
“Pernah dengar Blue Whale Challenge? Itu seperti main tantangan, semakin lama tantangan semakin sulit, bahkan (tantangannya) sampai ke percobaan diri,” kata Sandy.
Tren di konten TikTok “my shampoo and conditioner ran out at the same time” juga banyak dibuat oleh remaja Indonesia. Konten-kontennya sederhana, seringkali hanya berisi foto atau video yang aman-aman saja. Ada juga yang menampilkan video seseorang sedang menangis. Namun teksnya berisi keputusasaan, kemudian diakhiri dengan “my shampoo and conditioner ran out at the same time”.
Sepintas itu hanya keluhan karena sampo dan kondisioner habis bersamaan. Bukan, mereka tidak berbicara tentang itu. Kalimat tersebut berasal dari puisi berjudul “Dont Kill Yourself Today” karangan Hannah Dains yang terbit di Wattpad. Isi puisi itu berusaha untuk mencegah seseorang mengakhiri hidupnya. Salah satunya berbunyi, “Dont kill yourself until you finish your shampoo and conditioner at the same time”. Rupanya frase itu mengilhami tren konten TikTok. Bait itu seperti kode untuk menyampaikan bahwa ia tak lagi punya keinginan untuk melanjutkan hidup.
Amirah mengatakan, perlu kehati-hatian saat mengonsumsi konten di media sosial. Konten bernada positif sekalipun tak bisa ditelan mentah-mentah mengingat tidak semua konten diproduksi oleh tenaga kesehatan atau ahli di bidangnya.
Sementara konten negatif justru akan berdampak buruk. “Itu yang namanya ketrigger,” ujarnya. Ia mencontohkan, serial Netflix berjulu “13 Reasons Why” yang diadaptasi dari novel berjudul sama menjadi perbincangan karena caranya menggambarkan bunuh diri. Tayangan yang seolah mengglorifikasi bunuh diri mendorong peningkatan perilaku serupa di dunia nyata.
Amirah mengatakan, perlu ada sensitivitas saat memproduksi konten, baik itu berupa berita, tayangan televisi, juga media sosial. “Ada aturan untuk memberi peringatan jika bisa mencetuskan rasa yang tidak enak,” ujarnya.
Begitu konten-konten tentang kesehatan mental yang tidak sensitif atau bahkan keliru diunggah ke media sosial, tidak ada yang bisa menghentikannya. Konten-konten itu akan terus menyebar. Semakin banyak interaksi pada konten tersebut, jangkauannya semakin luas atau viral. Sekali pengguna berinteraksi dengan konten tersebut, maka ia akan disuguhi konten dari akun yang sama maupun konten sejenis lainnya. Semua itu bisa terjadi berkat algoritma media sosial. Seperti apa algoritma media sosial bekerja? Baca selanjutnya di sini.
1 thoughts on “Kesehatan Mental Remaja (1): Tak Dapat Bantuan, Internet Jadi Pelarian”
Pingback: Kesehatan Mental Remaja (2): Algoritma, Penentu Perilaku Pengguna