digitalMamaID – Media perempuan di Indonesia mengalami pertumbuhan, meski harus susah payah bertahan. Konde.co meluncurkan sebuah riset yang berjudul “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia” yang berisi tantangan media perempuan di Indonesia, baik media alternatif maupun media perempuan arus utara (mainstream).
Peluncuran buku hasil riset tersebut didahului dengan diskusi bersama Peneliti Konde.co dan Dosen LSPR Lestari Nurhajati, Jurnalis Konde.co Nani Afrida, Jurnalis Kompas Sonya Helen Sinombor, Editor in Chief digitalMamaID Catur Ratna Wulandari, Direktur PR2Media dan Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia Masduki, dan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di Goethe-Institut, Jalan Dr. GSSJ Ratulangi, Jakarta, Sabtu, 3 Juni 2023.
Pemimpin Redaksi Konde.co Luviana Ariyanti mengungkapkan, lahirnya media perempuan di Indonesia melalui perjuangan perempuan-perempuan luar biasa yang menyumbangkan tenaga hingga gaji sendiri. Pada Februari 2023, Konde.co dengan dukungan Google News Iniative mempertemukan sebanyak 26 media perempuan alternatif dan arus utama dalam Sarasehan Media Perempuan yang laporannya dituliskan dalam buku “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia”.
Pertumbuhan media perempuan Indonesia
Hasil riset menunjukkan, data media di Indonesia yang ada selama ini hanya menggambarkan secara umum tentang jumlah media. Kini jumlah media di Indonesia mencapai 47 ribu media. Dari jumlah itu, 43 ribu diantaranya adalah media daring (online), sedangkan jumlah perusahaan media yang tercatat di Dewan Pers sebanyak 1.700. Namun, detail tentang kategorisasi segmen pembaca media dan tema media tidak bisa ditemukan datanya. Maka dari itu, sulit untuk mengetahui berapa banyak jumlah media yang peduli dengan isu perempuan.
Pemetaan ini juga memunculkan data tentang tumbuhnya portal dan media perempuan daring baru di Indonesia. Media-media ini dengan progresif dan cara yang beragam, mempromosikan kepentingan, hak, dan kondisi perempuan secara terus menerus, sekaligus memberikan pendidikan untuk khalayaknya. Keberadaan media perempuan online tidak hanya ditemukan berkantor di Jakarta, tetapi juga di daerah. Para pengelola media alternatif bekerja keras dengan daya yang terbatas untuk mengelola small news room, sedangkan media mainstream terus memperjuangkan persoalan klasik seperti berjuang dalam big news room yang masih bias gender.
“Kami mengundang dosen, pemerhati media, organisasi dan lembaga donor untuk bersama sama memikirkan ini karena media alternatif harus hidup diantara minimnya diversity of content dan diversity of ownership, sekaligus jurnalis media mainstream yang juga sedang berjuang untuk ini di ruang redaksinya,” ujarnya saat membuka acara.
Terkendala finansial hingga mendapat pembaca
Sejumlah tantangan yang dihadapi media perempuan alternatif di antaranya persoalan finansial hingga mendapatkan pembaca. Sementara, media arus utama menghadapi tantangan perubahan bisnis dan memperbesar pembaca. Produk jurnalistik tentang isu perempuan yang berperspektif dan mendukung perempuan juga jadi tantangan besar bagi media perempuan tersebut.
Peneliti Konde Lestari Nurhajati mengungkapkan, hal yang terpenting untuk ditangkap media perempuan adalah perspektif yang berpihak pada perempuan dan kelompok marginal. Patriarki dan bias gender dalam ruang redaksi masih menjadi kendala umum, bahkan di media perempuan sekalipun.
Kendati demikian, harapan media perempuan, khususnya media alternatif, agar tetap hidup juga senantiasa menyala. Untuk itu, kolaborasi antara media alternatif dan arus utama harus terus dibangun dan dipelihara. “Ketika media arus utama dapat bergerak mempengaruhi pemangku kebijakan, media alternatif bisa berperan mendekati komunitas masyarakat dan keduanya dapat membawa perubahan yang berarti,” ujar Lestari.
Sementara Direktur PR2Media dan Dosen Universitas Islam Indonesia, Masduki mengungkapkan tentang pentingnya mendorong media alternatif di Indonesia yang terus bertumbuh untuk menjadi watchdog atau mengawasi kekuasaan. Media-media alternatif ini menuliskan secara kritis. Sampai hari ini negara tidak mendukungnya. Berbeda dnegan di Eropa yang umumnya negara mendukung keberadaan media-media alternatif.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyatakan, dari berbagai persoalan yang dihadapi, media perempuan juga memiliki kekuatan yang menjadi nilai plus. Salah satunya ialah kemampuannya menggerakkan komunitas. Melihat hasil ini, Dewan Pers akan mendukung keberadaan media-media alternatif, juga perjuangan para perempuan di media mainstream. [*]