digitalMamaID – Konten ngemis online di TikTok menjadi perbincangan. Mengapa demi cuan orang rela melakukan hal itu?
Live TikTok belakangan diramaikan oleh orang-orang yang rela mandi guyur-guyur berjam-jam, berendam di lumpur, dan konten sejenis lainnya. Belakangan, netizen jadi geram karena aksi itu dilakukan oleh para lansia. Mereka digerakkan oleh pemilik akun yang sengaja mencari uang dari konten semacam itu. Menteri Sosial Tri Rismaharini sampai turun tangan agar ngemis online ini bisa dihentikan.
Netizen menyebut aksi ini sebagai ngemis online di TikTok. Di TikTok, penonton bisa memberi gift kepada kreator yang sedang live. Gift tersebut berupa sticker yang bisa dibeli dengan koin. Koin bisa didapat dengan menukar dengan sejumlah uang. Penerima gift bisa menukarnya kembali menjadi uang.
Fitur gift ini yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh netizen pengguna TikTok untuk mendulang rupiah. Mereka membuat berbagai aksi yang menarik perhatian penonton. Jika Mama berkelana di TikTok, banyak sekali ragam orang saat live. Ada yang berjualan, tanya jawab dengan followers, ASMR, meramal nama, menerima request lagu, dan sebagainya. Bahkan ada banyak aksi yang membuat mengerutkan kening. Misalnya live orang yang sedang tidur, makan sambal, lompat ke kolam, dan sebagainya. Biasanya mereka akan membuat tantangan. Misalnya konten guyur-guyur. Jika penonton memberi sejumlah koin tertentu, ia akan mengguyurkan satu gayung air ke kepala. Semakin besar nilai gift yang diberikan, semakin banyak air yang diguyurkan.
Kok ada sih yang ngasih gift?
Penonton siaran langsung TikTok tidak semua setuju dengan aksi demikian. Banyak juga netizen yang berkomentar agar penonton sebaiknya stop menonton. Jika tidak ada yang menonton, maka tidak akan yang memberikan gift. Harapannya, kreator akan menghentikan aksi konyolnya.
Akan tetapi, ada juga yang berpikir sebaliknya. Segera diberi gift, supaya apa yang diharapkan segera tercapai. Dengan begitu kreator segera menyudahi aksinya.
Jika dilihat, antusiasme penonton memang cukup tinggi. Aksi-aksi seperti itu bisa ditonton ribuan orang.
Perbedaan pendapat netizen ini lantaran aksi ngemis online di TikTok ini masih abu-abu. Pengamat media sosial yang juga Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria mengatakan, mengemis biasanya orang yang tidak melakukan apa-apa, berharap belas kasihan orang lain.
“Apakah ini melanggar? Usianya bukan eksploitasi anak, yang ditampilkan bukan pornografi juga buka kekerasan. Tapi kemudiam, kok tega? Akhirnya soal ketidakpantasan, bukan melanggar hukum,” katanya.
Konten yang dianggap ngemis online di TikTok itu, ada pula yang terpancing emosinya sehingga memberi gift karena kasihan. Ada pula yang terhibur dengan konten tersebut.
Hariqo mengatakan, agak tidak tepat juga jika berharap gift otomatis dianggap mengemis. Sebab ada kreator lain yang mendapatkan gift karena kontennya yang memang menghibur.
Persoalan digital creative skill
Hariqo mengatakan, fenomena konten yang kemudian dianggap ngemis online di TikTok ini merupakan persoalan digital skill atau kecakapan digital. Perkembangan dunia kreatif di era digital membuat orang bisa mendapatkan uang dari internet.
“Sebelum (bisa mendapatkan uang di internet) itu, ada materi soal kecakapan digital. Kemampuan digitalnya, menyangkut kemampuan dia misalnya membuat foto, video, atau lainnya. Bagi yang tidak punya kecakapan digital tertentu akhirnya bingung,” kata Hariqo.
Mereka akhirnya membuat konten seadanya, yang penting mendapat perhatian netizen dan membuka peluang mendapat uang. Ketika ada orang yang berhasil mendapat uang dari membuat konten guyur-guyur air, akhirnya ditiru oleh orang lain. Konten serupa pun akhirnya bermunculan.
Hariqo melihat semua ini perkara rendahnya literasi. Persoalan ini tak bisa diselesaikan dengan terbitnya aturan yang melarang mereka menggunakan pltaform media sosial atau membuat konten tertentu.
“Kalau dilarang, apa dasarnya melarang tampil di medsos. Larangannya seperti apa?” kata dia.
Lagi-lagi ini menjadi pekerjaan rumah literasi digital untuk netizen Indonesia. Fokus literasi digital tidak boleh lagi mengejar jumlah peserta. Sudah saatnya kualitas literasi digital diperbaiki.
Perlu dirangkul agar digital skill meningkat
Ketua Umum Siberkreasi Donny Budi Utoyo mengatakan, monetisasi media sosial tidak lepas dari traffict. Semakin banyak kunjungan pada akun tertentu, makin tinggi impresinya. Peluang mendapatkan uang menjadi endorser menjadi tinggi pula.
Persaingan untuk mendapat perhatian di media sosial semakin tinggi. Tidak semua kreator bisa membuat konten yang positif dan kreatif.
“Tapi dia produktif. Akhirnya orang membuat konten serampangan, menjual kemiskinan, kesedihan, prank, merugikan orang lai, dan hal-hal yang aneh-aneh,” katanya.
Ia melihat, semangat netizen Indonesia untuk bisa memonetisasi media sosial sangat tinggi, tapi banyak yang ingin instan. Padahal, untuk membuat konten yang berkualitas perlu usaha yang tidak kecil. Perlu waktu untuk melakukan riset meski hanya kecil-kecilan. “Tidak semua punya kapasitas ini. Akhirnya mau yang instan saja,” ujarnya.
Donny mengatakan, para kreator itu perlu dirangkul. Mereka perlu diajak untuk sama-sama belajar bagaimana membuat konten yang positif dan kreatif. “Kan dua tahun ini banyak pertemuan online. Sekarang mulai lagi pertemuan offline. Harapannya kegiatan bisa makin banyak. Skill content creator bisa semakin baik,” katanya. [*]