Malam itu, pukul dua pagi. Aku dengar suami baru turun dari lantai atas. Dia mengambil minum dan suara kucuran airnya membangunkan saya.
“Belum tidur? Abis ngapain?” tanyaku pelan sambil memicingkan mata.
“Biasa, abis baca, riset, nulis,” jawabnya sambil beranjak ke tempat tidur.
Sambil kembali terlelap saya berpikir, kapan terakhir kali saya melakukan hal untuk diri sendiri?
**
Sebelum menikah dahulu, saya aktif di kampus, setelah menikah dan memiliki anak juga saya tetap bekerja paruh waktu. Tapi, pandemi mengubah itu tiba-tiba. Tanpa minta izin, seperti tamparan di pipi. Area pekerjaan paruh waktu saya, penerbitan buku, melesu saat pandemi. Satu-satunya aktivitas saya selain mengurus anak dan rumah hilang begitu saja. Dari situ, tampaknya saya mulai kehilangan sebagian diri sendiri juga. Ya, diri sendiri, selain peran yang akan saya jalani sepanjang hidup saya, menjadi istri dan ibu.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya saya enggak mau jadi wanita karir seutuhnya saat punya anak. Pertama, tanggung jawabnya besar. Kedua, saya enggak punya energi sebanyak itu. Saya maunya jadi ibu rumah tangga yang punya kegiatan. Tapi, ya itu, kegiatan di luar rumah yang bikin hati saya semangat saat ini vakum dulu karena pandemi. Hampir setiap hari saya menyemangati diri sendiri, ngetweet afirmasi positif, sampai ekstremnya menghapus akun IG (sekarang saya bikin baru dengan teman terbatas) agar saya enggak insecure liat pencapaian, kondisi keluarga lain yang kelihatannya baik-baik saja ketika pandemi.
“Jangan mikir kejauhan, hak-hak Ibu kok mau posting apa. Jangan gampang insecure,” nasihat suami suatu hari.
“Kamu enggak tau sih, di dunia ibu-ibu yang main medsos ada standar tertentu yang tiba-tiba aja ada. Kalau enggak ikut standar itu berasa ketinggalan, enggak punya duit, enggak kreatif, dan lain-lain. Beda sama bapak-bapak,” kataku panjang lebar.
“Karena aku insecure-an dan suka overthinking, sebaiknya aku pergi aja dari circle itu,” lanjutku menyemangati diri sendiri.
Lantas bagaimana agar tidak kehilangan diri sendiri? Sejauh ini saya melakukan hal-hal di bawah ini yang lumayan membantu keluar dari rasa itu.
Berdoa dan berpikir positif
Apapun masalah yang dilalui, berdoa menjadi rem pertama agar kita menjadi tenang. Melibatkan tuhan dalam urusan kita akan membuat kita lebih berpikir positif.
Hibur diri sendiri atau cari hobi baru
Lakukan kegiatan ringan yang disukai. Masak-masak cemilan hasil browsing Youtube, nonton drakor atau serial, tapi jangan sampai keasyikan dan lupa waktu.
Hindari hal-hal yang bikin enggak nyaman di media sosial
Mute atau block hal-hal yang enggak bikin kamu nyaman, selektif menerima teman, dan jangan bawa serius tiap liat postingan orang lain, bisa jadi mereka juga punya masalah, punya cicilan, media sosial hanya pelarian saja kok. Jangan menganggap diri paling terpuruk.
Ngobrol sama suami di waktu yang tepat
Sebagai orang susah memulai obrolan serius sama suami, biasanya saya kirim pesan dulu, nanti setelah suami kerja baru diobrolin. Jangan lupa juga soal timing. Timing yang baik menghasilkan kualitas obrolan yang baik pula. Urusan jagain anak dan urusan rumah biasanya jadi obrolan utama. Jangan ragu bilang bahwa istri butuh bantuan.
**
Keesokan harinya, aku mengirim pesan panjang kepada suami soal masalah kehilangan diri sendiri ini. Cheesy kalo dibaca sebenernya. Hehe.
“Ting,”
Ada pesan balasan dari suami.
“Pulangnya mau dibeliin apa? Nanti malam kita ngobrol ya ❤.”
Alin Imani