Seorang laki-laki berusia 47 tahun yang menjadi pasien sebuah klinik kesehatan mental di Belanda mengambil 1000 foto setiap hari dan menghabiskan 3-5 jam untuk mengorganisirnya. Kasus ini dilaporkan sebagai kasus kejiwaan digital hoarding pertama yang dipublikasikan di jurnal ilmiah. Kasus ini memang merupakan contoh ekstrim dari perilaku menimbun file digital. Tapi, sadarkah Mama bahwa di zaman sekarang, kebanyakan orang juga menyimpan begitu banyak digital clutter tanpa benar-benar membutuhkannya?
Digital hoarding didefinisikan sebagai akumulasi file digital secara tidak terkendali hingga mengakibatkan stres dan kesulitan menjalankan aktivitas sehari-hari. Pasien dalam kasus di atas merasa foto-fotonya menyimpan kenangan yang tak ingin dilupakannya, dan yakin bahwa ia akan membutuhkan foto-foto itu lagi di masa depan. Terdengar familiar?
Alasan yang sama seringkali menyebabkan memori ponsel kita penuh dengan aplikasi, foto dan video, desktop perangkat penuh dengan shortcuts, dan folder Documents kita penuh dengan berbagai file. Problem yang kita alami mungkin tidak seekstrim digital hoarding yang merupakan sebuah gangguan psikologis. Namun, digital clutter yang bertebaran di perangkat kita berupa file digital yang sebetulnya tidak benar-benar kita butuhkan lagi juga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari jika terus menerus dibiarkan.
Penyebab Digital Clutter
Apa yang menyebabkan file digital kita semakin menumpuk setiap hari? Ada beberapa alasan yang mungkin terjadi, diantaranya:
- Semakin murah dan besarnya kapasitas perangkat penyimpanan yang mendorong orang mengumpulkan lebih banyak data. Harddisk eksternal yang beredar di pasaran kini telah mencapai satuan Terabyte, dan masih akan terus bertambah seiring waktu.
- Munculnya beragam cloud storage seperti Google Drive atau Dropbox yang membuat kita dengan mudah menyimpan file kita di cloud tanpa harus menyediakan ruang penyimpanan sendiri.
- File digital hampir tidak memakan tempat secara fisik sehingga lebih mudah dilupakan. Out of sight, out of mind.
- Semakin mudahnya mendapatkan dan memproduksi file digital. Dengan adanya internet, dengan mudah kita dapat mendownload berbagai file yang kita butuhkan mulai teks hingga media hanya dengan sekali klik. Adanya smartphone berkamera juga menyebabkan jumlah media berupa foto dan video melonjak dengan pesat.
- Menyimpan semua file tidak membutuhkan waktu dan tenaga dibandingkan dengan memeriksanya satu persatu, mengorganisir, dan menghapus yang tidak perlu.
- Perasaan takut kehilangan sesuatu yang berharga, yang umumnya dapat digolongkan menjadi dua kategori: kenangan masa lalu dan sesuatu yang mungkin akan dibutuhkan di masa depan.
Resiko Digital Clutter
Resiko digital hoarding memang tidak separah menimbun barang dalam bentuk fisik yang dapat membahayakan pelakunya. Akan tetapi, apabila kita membiarkan file digital kita menumpuk begitu saja dan menjadi clutter, ada beberapa resiko yang dapat terjadi, diantaranya:
1. Menurunkan produktivitas
- Apa, ya, judul file jadwal sekolah anak dari Bu Guru kemarin? Dimana, ya, file pasfoto yang hendak dicetak untuk ijazah? Digital clutter membuat pencarian dokumen menjadi lebih sulit dan lama di antara file-file lain yang tidak relevan.
- Ketika sedang mencari satu email penting, judul email lain yang belum Mama buka sejak minggu lalu berlomba-lomba menarik perhatian. Mama pun akhirnya malah membaca-baca email yang lain dan melupakan tujuan semula. Digital clutter memang dapat mengalihkan fokus kita dari hal yang seharusnya kita kerjakan sebagai prioritas.
- Digital clutter, seperti halnya physical clutter, seringkali mencerminkan energi negatif yang belum dapat kita singkirkan dari diri kita. Baik itu pengingat akan kegagalan menyelesaikan sesuatu (draft tulisan yang tak kunjung selesai sejak 5 tahun silam), hubungan yang telah lalu (foto dan lagu dari sang mantan), rasa bersalah (kumpulan resep yang tak pernah dimasak), atau hal-hal yang tak lagi menyenangkan (grup online yang membuat kita tidak nyaman tapi sungkan mau keluar). Digital clutter membebani mental kita dengan hal-hal yang sebenarnya patut kita tinggalkan untuk dapat fokus maju ke depan.
2. Tidak sehat bagi perangkat
- Pernahkah Mama mencoba menghitung berapa jumlah apps yang ada di smartphone? Berapa di antaranya yang masih benar-benar Mama pakai? Beberapa apps akan berjalan secara otomatis ketika perangkat dinyalakan, dengan resiko menghabiskan baterai dan kuota data.
- Selain itu, kita biasanya tak ingin repot mengupdate apps yang jarang digunakan. Akibatnya, apps yang tidak terupdate tersebut berpotensi disusupi oleh malware yang berbahaya bagi perangkat kita. Padahal, seringkali apps dapat mengakses data penting di smartphone seperti kontak, lokasi, dan penyimpanan data. Hal yang sama berlaku pula untuk software yang terpasang di tablet ataupun laptop kita.
Masih mau membiarkan perangkat kita dipenuhi digital clutter? Jangan sampai kita membiarkannya terus menerus hingga kita menjadi digital hoarder, ya!