digitalMamaID — Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI) mencatat tingginya kasus-kasus kekerasan di satuan pendidikan selama Januari- Desember 2025. Berdasarkan data pengaduan yang diterima FSGI dan media ada 60 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Kasus itu melibatkan 126 pelaku dan 358 korban.
“Jumlah ini naik signifikan dari 2024 yang hanya 36 kasus dan 15 kasus pada 2023,” kata Ketua Umum FSGI Fahriza Marta Tanjung dalam siaran pers yang diterima digitalMamaID, Senin, 8 Desember 2025.
Kekerasan fisik tertinggi
Bentuk kekerasan yang terjadi dikelompokkan sesuai dengan pasal 6 Permendikbud Ristek 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Berdasar data yang terkumpul, kekerasan fisik 45 persen, kekerasan seksual 28,33 persen, kekerasan psikis 13,33 persen, perundungan 6,67 persen, intoleransi dan diskriminasi 1,67 persen, serta kebijakan yang mengandung kekerasan 5 persen.
“Kekerasan fisik masih menempati posisi tertinggi dengan 27 kasus atau hampir separuh dari total kasus,” ujar Fahriza.
Fahriza menyebutkan, jumlah korban dari kasus kekerasan fisik di satuan pendidikan ini mencapai 73 orang. Dari jumlah itu, terdapat 8 orang yang meninggal pada rentang usia 8 sampai dengan 17 tahun. Bahkan ada dari 5 korban meninggal itu yang masih usia SD. Sedangkan 2 korban meninggal lainnya usia SMP dan 1 siswa SMK.
Kekerasan seksual di urutan kedua
Fahriza menyebutkan, kasus kekerasan seksual menempati urutan kedua dari total kasus yaitu mencapai 17 kasus (28 persen). Kekerasan ini melibatkan17 pelaku dan 127 korban. Pelaku tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Dari 17 pelaku, ada 1 oknum guru perempuan sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap siswanya yang berusia 16 tahun.
“Kekerasan seksual tidak hanya terjadi sekolah berasrama, tapi juga di sekolah-sekolah umum yang tidak berasrama,” ungkapnya.
Sedangkan kasus kekerasan psikis berada di urutan ketiga yaitu delapan kasus (13,33 persen). Dengan korbannya memutuskan bunuh diri yaitu sebanyak 3 orang (37,5 persen).
“Keputusan seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri atau bunuh diri umumnya karena mengalami stres berkepanjangan yang tidak tertangani sehingga korban memasuki fase depresi,” jelas Fahriza.
Kasus bullying atau perundungan sebanyak empat kasus (6,67 persen), di antaranya kasus di Aceh Besar dan SMAN 72 Jakarta di mana para korbannya kemudian melakukan tindakan balas dendam. Korban membakar pondok pesantren di Aceh Besar. Sementara di SMAN 72 Jakarta, korban melakukan aksi peledakan bom di sekolahnya. “Peledakan bom tersebut, setidaknya melukai 96 korban,” ujar Fahriza.
Lebih lanjut terkait kasus diskriminasi dan intoleransi sepanjang tahun 2025 hanya ada satu kasus (1,67 persen).
Sementara, kebijakan yang mengandung kekerasan ada tiga kasus dengan korban mencapai 55 anak. Ini termasuk kasus di Pondok Pesantren di Sidoarjo, yaitu ambruknya bangunan mushola dan menyebabkan meninggalnya 53 santri.
“Kebijakan Ponpes yang tetap menggunakan mushola yang sedang dibangun untuk ibadah para santri. Berisiko tinggi ambruk dan membahayakan para santrinya,” kata dia.
Kekerasan berdasar jenjang pendidikan
Dari 60 kasus kekerasan di satuan pendidikan sepanjang tahun 2025 terjadi di seluruh jenjang pendidikan dari PAUD hingga SMA/SMK. Rinciannya kasus tertinggi terjadi di jenjang SD sebanyak 18 kasus (30 persen), di jenjang SMP 17 kasus (28,33 persen), di Pondok pesantren sebanyak delapan kasus (13,33 persen), di jenjang MTs tiga kasus (5 persen), jenjang SMA enam kasus (10 persen), jenjang SMK lima kasus (8,33 persen), dan jenjang PAUD sebanyak tiga kasus (5 persen).
“Adapun pelaku-pelaku kekerasan sangat beragam, tidak hanya pendidik dan peserta didik tapi juga tenaga kependidikan (tendik), pejabat struktural bahkan alumni,” kata Fahriza.
Menurut Fahriza, peserta didik sebagai pelaku kekerasan paling tinggi karena kasus sebagian besar dilakukan oleh para pelaku secara bersama-sama. Biasanya korban sudah kerap di bully oleh pelaku (1 orang), namun karena korban diam, tidak melawan, tidak mengadu, maka pelaku meningkatkan kekerasannya secara bertahap dan perilaku itu kemudian diikuti oleh teman-teman pelaku dan korban, sehingga jumlahnya secara bertahap meningkat akibat peniruan perilaku,
Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menekankan pentingnya keterbukaan sekolah dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolahnya. Karena itu FSGI mendorong satuan pendidikan melakukan penguatan tata kelola dengan merevisi tata tertib untuk pencegahan kekerasan di sekolah, menyediakan kanal aduan luring dan daring serta mencantumkan nomor kanal pengaduan lain, seperti Pengaduan KPAI, Dinas Pendidika, Kementerian Agama, Kemendikdasmen, dan KPPPA.
“FSGI juga mendorong Kepala Daerah menetapkan peraturan kepala daerah yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan, mengalokasikan anggaran, memfasilitasi dan membina satuan Pendidikan dan Membentuk Satuan Tugas,” kata Retno. [*]






