digitalMamaID — Di tengah ingatan bangsa yang belum pulih dari luka Orde Baru, negara justru menorehkan ironi baru. Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI Soeharto. Padahal Soeharto lekat dengan represi, pelanggaran HAM, dan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Lebih getir lagi, gelar itu diberikan bersamaan dengan penghormatan kepada Marsinah, buruh perempuan yang tewas disiksa di masa kekuasaannya. Dua nama yang berdiri di sisi berlawanan sejarah kini dipertemukan dalam satu upacara kenegaraan. Sebuah keputusan yang bukan sekadar paradoks, tapi tamparan bagi semangat reformasi yang dulu lahir untuk menumbangkan warisan Soeharto sendiri.
Tepat di Hari Pahlawan, 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh di Istana Negara. Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025 sebagai bentuk penghargaan negara atas jasa-jasa luar biasa para tokoh dalam mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Hadir dalam acara penganugerahan adalah Wakil Presiden Gibran Rakabuming, para pimpinan lembaga tinggi negara, para menteri Kabinet Merah Putih, para ketua umum partai politik, para ketua organisasi keagamaan, perwakilan Legiun Veteran Republik Indonesia, serta sejumlah kepala daerah dari berbagai provinsi.
Adapun 10 tokoh penerima penghargaan sebagai pahlawan nasional antara lain Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Presiden ke-2 RI Soeharto, Marsinah, Mochtar Kusumaatmadja, Rahmah El Yunusiyyah, Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.
Soeharto dan Marsinah
Dari sejumlah nama yang menjadi pahlawan nasional ini, terdapat nama Soeharto yang selama ini dianggap sebagai tokoh sentral dari rezim otoriter Orde Baru yang semestinya diadili atas dugaan kejahatan kemanusiaan. Tidak hanya itu, gelar ini pun disandingkan dengan korbannya Marsinah, seorang aktivis buruh yang tewas dibunuh 32 tahun lalu. Ini sebuah ironi yang berhasil melukai perjuangan para buruh yang telah ditahan di balik jeruji besi dan penyiksaan rezim Orde Baru.
Marsinah, seorang buruh pabrik yang berjuang menuntut upah layak dan kerap bersuara lantang mempertahankan hak dan keadilan para buruh. Ia ditemukan meninggal dunia pada 8 Mei 1993 dengan kondisi tubuh terdapat luka penyiksaan dan tanda-tanda kekerasan seksual.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto yang disandingkan dengan Marsinah dianggap telah mengaburkan sejarah hingga mencederai reformasi. Banyak pihak beranggapan, memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto justru menimbulkan polemik hingga menutupi sejarah kelam dan berbagai pelanggaran yang dilakukan selama masa pemerintahannya.
Karena selama 32 tahun pemerintahan, Soeharto meninggalkan banyak pelanggaran HAM berat seperti tragedi 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Timor Timur, Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Tanjung Priok, peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 tahun 1998, pemerkosaan massal 98, hingga penculikan aktivis 98 menjadi bagian dari sejarah kelam yang hingga kini belum diusut secara tuntas oleh negara. Alih-alih menghukum dan mengadili terduga pelaku kejahatan kemanusiaan dan bapak korupsi yang telah merugikan negara hingga Rp231-539 triliun, negara justru menyulapnya menjadi pahlawan nasional kesiangan.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya menyebut, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah bentuk pengkhianatan yang tidak hanya mencederai akal sehat dan keadilan, tetapi juga menunjukkan upaya sistematis negara dalam membentuk narasi baru yang menghapus ingatan kolektif rakyat tentang kekejaman rezim masa lalu. “Bagi para penyintas pelanggaran HAM, tindakan ini bukan hanya bentuk pengingkaran sejarah, tetapi juga luka baru yang terus dibiarkan menganga tanpa arti,” kata Dimas dikutip dari laman Kontras.
Penolakan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS), mengecam keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Ia bahkan menganggap pemberian gelar ini sebagai sebuah tindakan yang cacat secara moral dan bersifat ahistoris. Karena di bawah komando Soeharto jutaan nyawa telah melayang di tangan aparat negara dan jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia menjadi jalan bagi Soeharto dalam memperkaya dan menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya melalui penyalahgunaan kekuasaan.
Ia telah menciptakan sistem kebijakan dan kehidupan bernegara yang berjalan dengan paradigma perusakan dan eksploitasi lingkungan. Ia juga merampas ruang hidup rakyatnya, termasuk ruang hidup masyarakat adat. Objektifikasi, penundukan, dan penindasan terhadap perempuan diinstitusionalisasikan oleh Soeharto dalam sistem dan tindakan kenegaraan. Etnis Tionghoa didiskriminasi dan dipinggirkan secara sistematis oleh negara di bawah kepemimpinannya. Kebebasan beragama dan berkeyakinan ditekan habis-habisan oleh negara. Ruang-ruang intelektual dan berpikir kritis dibabat oleh negara, termasuk melalui genosida terhadap satu generasi intelektual Indonesia pada 1965.
“Seluruh rekam jejak Soeharto sangatlah jelas bertentangan dengan syarat keteladanan dan integritas moral yang diatur dalam Pasal 25 UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Lebih lanjut, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga bertentangan dengan asas-asas yang diatur dalam Pasal 2 UU GTK, khususnya asas-asas kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan keterbukaan,” menurut GEMAS.
YLBHI: Pemerintahan Prabowo niretika, merusak hukum dan HAM
Meskipun pemberian gelar Pahlawan Nasional adalah hak prerogatif presiden, hak tersebut tidaklah bersifat mutlak. Asas keterbukaan dalam Pasal 2 UU GTK hadir dengan tujuan untuk menjamin adanya partisipasi publik yang bermakna sebagai ruh dari pemberian penghargaan oleh negara, termasuk gelar Pahlawan Nasional.
“Untuk itu, kami yang berdiri dan terus berpihak pada para korban, penyintas, keluarga korban pelanggaran HAM dan kekerasan negara menyatakan dengan tegas bahwa penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo tidak dapat diterima karena merupakan praktik yang bertentangan dengan hukum dan menjadi sebuah upaya sistemik dalam meminggirkan upaya pengungkapan kebenaran dan juga penegakan HAM di Indonesia,” ujar GEMAS.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, mengecam keras pemberian gelar pahlawan ini. Menurutnya pemberian gelar ini justru semakin menunjukkan rezim Prabowo telah semakin masuk dalam pemerintahan yang mengkhianati UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengkhianati dan menyakiti rakyat, serta telah terbukti melakukan tindakan-tindakan tercela.
YLBHI memandang bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya sebuah pengkhianatan terhadap para korban dan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga semakin membuktikan bahwa Pemerintahan Prabowo nir etika, merusak hukum dan hak asasi manusia, tak peduli dengan anti korupsi, dan merendahkan nilai-nilai kepahlawanan.
Menurut Muhammad, gelar pahlawan hanya layak diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, serta kedaulatan rakyat, bukan kepada penjahat HAM dan bapak korupsi.
ICW: Penghargaan terhadap Soeharto sama saja pengabaian kepada korban
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pelabelan pahlawan terhadap pemimpin paling korup dapat dianggap sebagai pelemahan gerakan antikorupsi dan upaya penghapusan kejahatan Soeharto dari catatan sejarah. Pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto berarti sama saja dengan mengabaikan para korban pelanggaran HAM selama masa orde baru dan melanggengkan impunitas juga merusak pendidikan antikorupsi di publik. Sebab fakta sejarah tak bisa dihindari, Soeharto merupakan salah satu presiden terkorup, tapi kemudian mendapatkan gelar pahlawan.
“Maka, kami menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengingkaran terhadap fakta sejarah dan perjuangan panjang rakyat Indonesia melawan kekuasaan yang korup dan sewenang-wenang. Pemerintah seharusnya berpihak pada kebenaran sejarah, bukan pada romantisme kekuasaan yang telah meninggalkan jejak pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sistematis,” kata Koordinator Divisi Edukasi Publik ICW, Nisa Zonzoa dikutip dari website ICW.
Menurut ICW, pemberian gelar tersebut bukan hanya akan mencederai nilai-nilai reformasi 1998, tetapi juga menampar wajah keadilan dan nurani bangsa. Tindakan ini menunjukkan bahwa negara gagal belajar dari masa lalunya sendiri, dan justru memilih memutihkan pelanggaran kekuasaan atas nama rekonsiliasi yang semu.
Makna pahlawan
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) menyebut, bahwa pahlawan adalah orang yang berani mempertaruhkan keselamatannya, kepentingannya, demi keselamatan dan kepentingan orang lain. “Dia (pahlawan) mendahulukan orang lain, bahkan sampai bertaruh, bertaruh kepentingan, kerugian, atau keselamatan,” kata Savic.
Bagi Savic, Soeharto tidak mempertaruhkan semua itu, tetapi justru mendahulukan untuk kepentingannya, keluarganya, dan kroni-kroninya. “Soeharto adalah salah satu presiden paling kaya di dunia, bahkan sampai hari ini, dengan kekayaan lebih dari 15 miliar dolar, sampai hidup sendiri 15 miliar dolar itu berapa triliun? Ratusan triliun. Nggak ada presiden yang punya kekayaan ratusan triliun padahal sebelumnya militer, bukan pengusaha,” jelas Savic dilansir dari NU Online.
Pengamat Politik dan mantan anggota DPR RI, Didi Irawadi Syamsuddin menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan lahir dari perjuangan, tapi dari ingatan yang selektif dan sejarah yang dipoles rapi. Sebuah bangsa yang terlalu sering melupakan luka masa lalunya, akan mudah memuja pelaku sebagai penyelamat, dan menjadikan penindasan sebagai catatan kaki sejarah.
“Bagaimana mungkin seorang penguasa yang membungkam rakyat, ditimbang layak sebagai pahlawan hanya karena membangun jalan dan menanam padi? Padahal hanya menguntungkan segelintir orang saat itu, oligarki, konglomerat dan kroni-kroninya,” kata Didi.
Menurut Didi, jika pembangunan yang tidak sepenuhnya sukses bagi mayoritas rakyat menjadi penebus dosa, maka setiap tiran tinggal menunggu giliran untuk disambut dengan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan.
Mereka yang dulu memerintah dengan bayonet dan bisikan intel, kini diromantisasi lewat dokumenter, museum, dan narasi nostalgia. Seolah-olah stabilitas lebih berharga dari kebebasan, dan ketertiban lebih suci dari keadilan. Lupa bahwa di balik senyum rezim, ada darah, ada jerit, ada orang hilang yang tak pernah pulang.
“Bila bangsa ini terus menambal sejarah dengan kebohongan, maka anak cucu hanya akan mewarisi ingatan yang retak tentang pahlawan yang dibangun dari propaganda,
tentang dosa yang dibungkus sebagai jasa dan kebenaran, seperti biasa, akan tersesat di antara prasasti dan pidato kenegaraan,” ungkapnya.
Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menyebut putusan pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tidak terlalu mengejutkan, karena itu seperti mengikuti kultur politik yang ditanamkan Soeharto sejak dahulu. “Mendahulukan kepentingan keluarga, kelompok, baru sisihkan kepentingan bangsa dan negara. Maka pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto oleh mantan menantu Soeharto seperti merawat ajaran nepotisme ala Soeharto untuk terus disuburkan,” ujar Ray Rangkuti.
Dan nepotisme inilah ironi berikutnya. Sebab, jika kita berbicara tentang kepahlawanan maka pertanyaan muncul: gerangan tindakan apa yang membuat Soeharto layak disematkan sebagai pahlawan? Dan dari pertanyaan ini muncul pertanyaan berikutnya: keteladanan apa yang dapat dipetik dari penyematan Soeharto sebagai pahlawan?
“Dua pertanyaan ini penting karena pahlawan tentu saja harus melakukan tindakan kepahlawanan yang penting untuk diteladani,” ungkapnya.
Sedangkan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, telah membawa bangsa ini pada apa yang telah disematkan oleh reformasi sebagai bapak kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Ditambah catatan kelamnya tentang kejahatan HAM, partai-partai diberangus dan kebebasan berpendapat ditekan.
“Dengan rusaknya 3 prinsip berbangsa dan bernegara ini, kiranya pada tindakan apa dan teladan apa yang membuat Soeharto layak disebut pahlawan?” Kata Ray.
Jadi sudah sangat jelas, pemberian gelar pahlawan Soeharto adalah sikap politik subjektif pemerintahan Prabowo yang didasarkan pada ajaran nepotisme Soeharto. Tapi efek dari tindakan ini, selain menyuburkan nepotisme pemerintahan Prabowo, juga mengaburkan makna pahlawan sendiri. [*]






