digitalMamaID – Di zaman sekarang, kita hampir selalu “terhubung”, ya Mama. Lewat aplikasi chat, media sosial, video conference, notifikasi yang nggak pernah berhenti, dan harapan bahwa kita harus online 24/7. Meski teknologi membawa banyak kemudahan bagi kita semua, ternyata tren ini memiliki sisi gelap, yaitu digital burnout atau kelelahan digital, lho, Mama!
Ini bukan sekadar rasa capek biasa, tetapi kondisi di mana beban digital meresap hingga ke fisik, emosi, dan produktivitas kita. Masalah ini semakin nyata sejak pandemi COVID-19, ketika pekerjaan jarak jauh dan pembelajaran daring mempercepat intensitas penggunaan aplikasi digital dan internet.
Mengutip dari Jakarta Daily, survei yang dilakukan oleh Sophos—perusahaan inovator keamanan siber—bekerja sama dengan Tech Research Asia (TRA) menunjukkan, para karyawan di bidang keamanan siber dan teknologi informasi mengalami digital burnout. Data mereka menunjukkan, 90% karyawan merasakan burnout hampir di semua aspek pekerjaan, dan 30% di antaranya menyatakan perasaan burnout meningkat secara “signifikan” dalam satu tahun terakhir.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi ketika kita terlalu lama terpapar dunia digital? Apakah kita menyadari efeknya sebelum semuanya menjadi lebih berat?
Apa itu digital burnout dan bagaimana dampaknya?
Mengutip dari situs Hello Magazine, Dr. Diane Zelman, seorang Profesor Psikologi Klinis di Alliant University menjelaskan, digital burnout adalah kombinasi antara stres fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan mental yang diakibatkan oleh penggunaan perangkat elektronik secara berlebihan, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi.
Karena tuntutan digital yang terus-menerus, akhirnya kita sulit menetapkan “off switch” dalam hubungan dengan perangkat digital dan internet.
Dr. Diane Zelman membeberkan beberapa efek dan tanda yang sering muncul pada orang yang mengalami digital burnout, antara lain:
- Gangguan fisik dan mental: mata sering lelah, sakit kepala, mudah tersinggung, serta kualitas tidur menurun karena pikiran masih aktif meski sedang tidur, sehingga tubuh terasa sangat lelah secara mental.
- Gangguan konsentrasi: merasa cemas saat tidak online, sering terganggu oleh notifikasi, sulit fokus, dan sering multitasking, tetapi hasil kerja tetap kurang optimal.
- Gangguan sosial: ketika kita hanya melakukan doomscrolling, yaitu menggunakan media sosial secara pasif dengan menghabiskan waktu untuk menggulir situs berita atau media sosial tanpa interaksi apa pun.
Cara mengelola dan mengurangi digital burnout
Jangan biarkan digital burnout menggerogoti mental Mama, ya! Berikut langkah-langkah sederhana yang bisa Mama lakukan agar hidup digital tetap seimbang:
- Tetapkan batasan digital / waktu “offline”
Buat jadwal di mana Mama benar-benar mematikan notifikasi (kecuali untuk hal yang penting), atau alokasikan waktu offline setiap hari. Misalnya 1–2 jam sebelum tidur atau pagi hari setelah bangun tidur tanpa gadget. Cara ini membantu pikiran beristirahat dan memproses hari dengan lebih tenang. - Atur lingkungan kerja dan gaya kerja
Jika Mama bekerja secara remote atau hybrid, tetapkan waktu inti untuk komunikasi wajib, dan biarkan sisanya lebih fleksibel. Batasi jumlah meeting virtual, atau beri jeda di antara satu meeting dengan meeting lainnya agar otak bisa melakukan reset. - Latihan mindfulness dan relaksasi
Meditasi sederhana, latihan pernapasan, atau sekadar stretching bisa membantu meredakan ketegangan mental, lho! Kurangi juga multitasking dan doomscrolling agar pikiran lebih rileks. - Lakukan digital detox
Sediakan waktu dalam sehari atau seminggu untuk fokus pada aktivitas non-digital. Mama bisa mengisinya dengan membaca buku, berjalan kaki, bersosialisasi langsung dengan orang lain, atau berolahraga. Ini penting agar rasa “selalu harus online” tidak mendominasi kehidupan. - Pertimbangkan untuk menghubungi tenaga profesional
Jika penggunaan teknologi mulai mengganggu aktivitas harian, hubungan pribadi, atau kehidupan sosial Mama, mungkin sudah waktunya mencari bantuan profesional untuk membantu menata kembali keseimbangan digital.
Saatnya istirahat dari dunia digital
Digital burnout bukan sekadar rasa lelah karena terlalu lama menatap layar, Mama. Ini adalah kondisi psikis dan fisik yang nyata, yang bisa berdampak pada kesejahteraan mental dan produktivitas kita. Semakin sering kita diharuskan “selalu online”, semakin besar juga risiko kita terkena dampaknya.
Penting bagi kita semua untuk menyadari tanda-tandanya, dan aktif mengambil langkah agar tidak tenggelam dalam beban digital. Perubahan kecil dalam kebiasaan sehari-hari, komunikasi yang sehat dengan lingkungan sekitar, serta dukungan sosial bisa membawa perbedaan besar.
Bagaimana dengan Mama? Apakah Mama pernah merasa kelelahan akibat penggunaan perangkat digital yang terus-menerus? Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak dan memikirkan apa arti “istirahat” di tengah hidup serba digital saat ini. [*]






