digitalMamaID — Pekerja perawatan atau caregiver dalam sebuah keluarga masih didominasi oleh perempuan. Perempuan dianggap paling mampu melakukan pekerjaan perawatan tersebut. Sejak kecil sudah ditanamkan, kelak perempuanlah yang akan mengemban tanggung jawab untuk meneruskan kerja perawatan tersebut.
Hal ini semakin memperkuat stereotip peran gender yang sudah mengakar di masyarakat, bahwa laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah dan mengejar karir sedangkan perempuan di rumah dan melakukan pekerjaan domestik, mengurus suami, anak, lansia, dan disabilitas yang dianggap sebagai tugas alami perempuan.
Peran yang tidak dianggap bernilai
Dosen Program Studi Kajian Gender SPPB, Universitas Indonesia, Hariati Sinaga menilai caregiver merupakan isu feminis yang kerap disembunyikan oleh konstruksi sosial. Kerja-kerja perawatan ini hampir tidak pernah dibicarakan di ruang publik maupun di lingkungan pekerjaan.
Karena jarang dibicarakan atau bahkan tidak pernah dibicarakan, membuat keberadaan kerja perawatan yang berada di ranah domestik sering kali peranannya tidak dianggap, tidak bernilai, bahkan sering dianggap bukan pekerjaan. Padahal menurut Hartati, kerja perawatan adalah kerja reproduktif yang menopang seluruh aktivitas produktif masyarakat.
“Bahkan kata-kata kerja domestik pun baru muncul sekarang, dulu disebut cinta. (Melakukan kerja perawatan) itu adalah cerminan kasih sayang. Tetapi justru karena romantisasi itu dilakukan, disaat yang sama caregiver dibebankan tugas yang lain, itu membuat dia kehabisan tenaga,” ujar Hartati.
Menurut Hariati, hal ini semakin menunjukan melekatnya beban ganda yang harus diemban perempuan. Beban perempuan menjadi semakin berat apalagi jika perempuan tersebut menjadi caregiver untuk anggota keluarga yang sakit. Karena selain melakukan kerja perawatan ia juga melakukan kerja emosional, dia tidak boleh terlihat sedih, lelah, dan harus tetap semangat dan bahagia.
“Maka wajar ketika yang terserang adalah mental kita, depresi. Karena input yang kita terima sebagai pelaku kerja perawatan itu lebih sedikit dari output yang kita keluarkan,” ujarnya.
Abaikan kesehatan sendiri
Penyintas kanker sekaligus caregiver Dian Kartika Sari mengatakan, sebagian besar caregiver menghadapi risiko kesehatan yang signifikan termasuk risiko kematian karena beban fisik dan psikologis yang berat.
“Makanya kenapa seringkali yang merawat justru lebih cepat meninggal daripada yang sakit itu sendiri, karena dia tidak memiliki kesempatan untuk merawat dirinya sendiri. Itu yang saya alami,” ujar Dian dalam acara Talkshow Mengakui dan Meredistribusi: Feminisme, Kerja Perawatan dan Keadilan Gender di Kampus Universitas Indonesia, Jakarta, Senin, 17 November 2025.
Menurut Dian, para caregiver seringkali terlalu fokus merawat orang lain tetapi mengabaikan kesehatannya sendiri. Hal ini dialaminya ketika dia merawat orang tuanya yang sakit sehingga ia sendiri akhirnya menjadi penyintas kanker, bahkan dokter memvonis usianya ketika itu hanya sekitar 6-7 bulan lagi.
Beruntung, Dian memiliki seorang adik yang sudah aware tentang caregiver, apa yang harus dilakukan dan apa yang dibutuhkan caregiver. Meskipun orang tuanya hanya ingin dirawat oleh Dian, tetapi adiknya seringkali mengambil alih pekerjaan perawatan tersebut untuk memberinya ruang bernapas dan kesempatan beristirahat.
“Jadi ketika ibu saya sakit (lumpuh) adik saya sesekali merawat, menggantikan meskipun agak memaksa karena ibu hanya mau dengan saya. Adik saya melakukan itu agar saya punya kesempatan untuk beristirahat,” ungkapnya.
Ia mengatakan, caregiver perlu didengar dan membutuhkan teman. “Jadi kadang saya menghubungi sahabat ibu saya supaya ibu saya bisa ngobrol dengan orang lain, dan saya bisa bercanda dan mengobrol dengan teman saya di depan rumah. Jadi pesan saya, caregiver juga harus cinta pada diri sendiri, harus merawat diri, ketika kita merawat orang di waktu lain kita juga butuh orang untuk merawat kita,” tambah Dian.
Layanan inklusi
Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Walin Hartati menilai bahwa selama ini mayoritas caregiver disabilitas berasal dari anggota keluarga penyandang disabilitas itu sendiri.
“Teman-teman di HWDI itu ada yang ibunya tunanetra, anaknya disabilitas ganda, dia harus mengurus anaknya yang tantrum, mengurus rumah, dan macam-macam, sedangkan suaminya ya sibuk bekerja,” ungkap Walin.
Karena itu ia menyoroti pentingnya ada layanan perawatan sementara agar memberikan kesempatan bagi caregiver untuk beristirahat atau melakukan hal lain.
Selain itu, HWDI juga mendorong layanan kesehatan dan sosial agar lebih inklusif dan ramah disabilitas. Karena selama ini yang terjadi di lapangan, tidak sedikit orang dengan disabilitas misalnya mereka yang menggunakan kursi roda kesulitan untuk mengakses toilet atau ruang pemeriksaan.
“Bayangkan ketika melihat seorang ibu pengguna kursi roda sedang hamil dan membawa anak kecil berobat di Puskesmas, hanya ingin menggunakan kamar kecil tapi tidak bisa karena toiletnya kecil dan pengguna kursi Roda tidak bisa masuk,” ujar Walin. [*]






