digitalMamaID – Ambruknya bangunan musala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin 29 September 2025 lalu, masih meninggalkan duka mendalam. Insiden yang merenggut nyawa dan melukai ratusan santri ini menjadi cerminan bahwa keselamatan anak di lingkungan pendidikan masih sekedar formalitas bukan prioritas.
Padahal, lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat teraman kedua setelah rumah. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa kualitas bangunan, standar keamanan, hingga pengawasan rutin tak boleh dianggap remeh, karena setiap celah kelalaian bisa berujung fatal, kehilangan nyawa juga kehilangan kepercayaan.
Diawali getaran
Di balik deretan angka korban, ada kisah nyata para santri yang menyaksikan langsung detik-detik runtuhnya bangunan musala Pondok Pesantren Al-Khoziny. Alfatih Cakra Buana (14) salah satunya. Ia masih ingat betul, saat itu dirinya sedang salat berjamaah di musala ketika mendadak terasa getaran. Ia berusaha berlari menyelamatkan diri, tapi terlambat. “Ada getaran, lalu (saya) langsung lari dan bangunan runtuh,” ungkapnya dikutip dari BBC.
Beberapa saat setelahnya, ia sempat meminta tolong. Disaat bersamaan, ia juga mendengar suara minta tolong dari beberapa lokasi reruntuhan. Dua malam ia terkubur dalam beton, beruntung kepalanya tidak tertutup material berat sehingga ia bisa bernapas.
“Sempat ada selang air, saya minum tapi, itu terasa seperti mimpi,” jelasnya. Ia hanya ingat, badannya sulit bergerak bahkan ia merasa seperti tidur selama seminggu lamanya. Alfatih berhasil diselamatkan pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Saat itu ia mendengar suara seperti mengetuk sesuatu. Ketika terbangun ada lubang dan suara tim penyelamat. Ia merangkak keluar kemudian ambulans membawanya ke rumah sakit terdekat.
Kisah serupa juga dialami Zainal (18), santri yang selamat dari tragedi tersebut. Ia menceritakan berada di lantai dasar bangunan untuk salat berjamaah, tepatnya di saf ke-17 sebelah kanan imam. Memasuki rakaat kedua, ia merasakan kerikil berjatuhan lalu guncangan seperti gempa. Setelah itu, ia tidak sadarkan diri. Saat terbangun dengan kondisi pusing, ia sudah berada di RSUD RT Notopuro.
Pengurus pesantren, Abdul Salam Mujib mengatakan, bangunan yang ambruk itu sedang tahap renovasi sejak beberapa bulan yang lalu. Rencanannya, lantai pertama akan difungsikan sebagai tempat ibadah, lantai dua dan tiga akan dijadikan balai pertemuan.
Tak lama berselang dari pengecoran atap lantai tiga selesai, bangunan itu ambruk. Ia menduga, struktur bangunan tidak kuat menopang beban setelah pengecoran.
Kegagalan konstruksi total
Berdasarkan analisis Tim SAR gabungan dan ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), penyebab runtuhnya bangunan adalah kegagalan konstruksi. Jenis keruntuhan yang terjadi adalah “pancake collapse”, kondisi lantai-lantai bangunan runtuh secara vertikal dan bertumpuk satu sama lain. Pola ini menyebabkan terciptanya celah-celah sempit yang sangat menyulitkan proses evakuasi.
Kasubdit RPDO (Pengarahan dan Pengendalian Operasi) Bencana dan Kondisi Membahayakan Manusia (KMM) Basarnas, Emi Freezer saat konferensi pers di Posko SAR Gabungan di Sidoarjo, Rabu 1 Oktober 2025 menjelaskan secara rinci penyebab keruntuhan.
“Hasil analisis dari ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) ini semua sudah kegagalan struktur. Struktur penyangga semua totally collapse atau gagal total untuk memberikan sanggahan,” kata Emi dikutip dari CNN.
Kondisi itu membuat bangunan sangat tidak stabil dan berisiko runtuh susulan, sehingga proses evakuasi korban harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Emi menggambarkan kondisi reruntuhan layaknya “jaring laba-laba”. Satu getaran kecil saja bisa merembet ke seluruh bagian bangunan.
Ahli struktur bangunan ITS, Muji Hermawan menambahkan, kerusakan terjadi pada seluruh elemen utama, kolom, balok, hingga pelat. “Kalau melihat kerusakan dan tingkat kerusakan itu merupakan kegagalan struktur, dan model kerusakannya sudah hancur semua baik kolom, balok, maupun pelat,” kata Muji.
Terjebak di celah sempit
Setidaknya empat lapis lantai runtuh bertumpuk, sehingga menyulitkan tim SAR mengevakuasi korban. Selain itu, sebagian elemen bangunan juga tersambung dengan gedung di sekitarnya, sehingga menambah risiko bagi petugas. Beberapa bagian kolom utama justru melengkung membentuk “U-shape”, bukan patah seperti kegagalan konstruksi pada umumnya.
Lengkungan itu juga mengartikan kemampuan konstruksi bangunan tersebut tidak mampu menahan beban secara keseluruhan. Akibatnya banyak tercipta celah-celah sempit tempat korban terjebak yang sulit untuk diakses.
“Akibatnya adalah maka tercipta void, ruang celah-celah sempit, yang ada di dalam yang kesulitan untuk kita bisa akses,” pungkasnya.
Sementara itu, data terkini disampaikan oleh Kepala Kantor SAR Surabaya Nanang Sigit. Hingga evakuasi hari keempat, total sudah ditemukan 10 korban tewas dan 103 selamat.
“Total semua pada hari ini adalah korban ditemukan lima orang dan semua dalam kondisi meninggal dunia sehingga kalau dijumlahkan seluruh korban yang ditemukan 10 meninggal dunia, 103 selamat,” kata Nanang, dikutip detikJatim, Jumat, 3 Oktober 2025.
Pencarian korban lainnya mulai melibatkan alat berat karena, sudah melebihi golden time dan pencarian korban selamat dihentikan. [*]






