digitalMamaID — Di era teknologi ini, anak-anak sudah akrab dengan screen time sejak usia dini. Screen time juga kerap menjadi senjata bagi orangtua untuk membuat anak-anak tenang dan betah di rumah. Sayangnya, penggunaan gadget atau screen time yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif pada anak, seperti menyebabkan anak kecanduan gadget. Kenali tanda-tanda anak kecanduan gadget!
Menurut psikolog anak dan remaja Dhian Kusumastuti, salah satu tanda anak kecanduan gadget adalah menolak untuk melepaskan diri dari gadget. Jika sudah parah, maka akan berdampak pada kesehatannya seperti malas makan, gangguan penglihatan, sakit perut, sakit kepala, gelisah, dan mudah marah.
“Dari sekian dampak penggunaan screen time berlebih ini, yang paling berdampak banget itu ‘rasa sulit menahan’ anak jadi nggak sabaran,” kata Dhian dalam acara Talkshow Parenting yang dilakukan secara daring oleh Educourse, Selasa, 14 Oktober 2025.
Tanda-tanda anak kecanduan gadget
Oleh karena itu, menurut Dhian, penting bagi orangtua untuk mengenali tanda-tanda anak ketika mulai kecanduan gadget. Berikut ini beberapa tanda-tanda yang muncul ketika anak sudah mulai tidak dapat dipisahkan dari gadget.
- Gelisah dan emosional: anak mudah cemas dan marah bahkan tantrum jika dilarang menggunakan gadget atau ketika gadgetnya diambil.
- Penurunan minat: anak menolak untuk bermain dengan teman atau melakukan beraktivitas yang dulu merupakan hobinya, dan hanya ingin bermain dengan layar ponselnya.
- Tidak paham aturan: orangtua sudah mengingatkan anak tentang waktu istirahat dari ponselnya, tetapi anak menolak dan tidak mau mengerti. Ini juga salah satu indikasi bahwa anak sudah over konsumsi tontonan digital.
- Perubahan pola tidur: otak anak yang terlalu sering menonton akan susah fokus, karena otak terbiasa dengan rangsangan cepat dan berlebihan. Sehingga ketika akan di shutdown itu butuh proses yang lama agar anak mengantuk.
- Menarik diri dari keluarga dan teman sebaya: tidak mau keluar rumah atau ketika dalam acara keluarga pun memilih berteman dengan ponsel karena merasa mulai ketemu dengan dunianya yang lebih enjoy di gadget.
- Penurunan fungsi kognitif: penurunan konsentrasi di sekolah sangat mungkin terjadi karena fungsi kognitif menurun, fokusnya menurun, dan prestasi akademik pada prosesnya akan ikut menurun juga.
- Keluhan psikosomatis: paling parah anak akan mengalami gangguan kesehatan seperti stres, kecemasan, sakit kepala, dan sakit perut tanpa sebab yang jelas.
Menurut Dhian, kasus-kasus ekstrem ini kerap ia temui pada anak-anak di usia 5 tahun ke atas yang tidak ada pembatasan dan berlebihan ketika mengkonsumsi konten digital. Oleh karena itu, Dhian berpesan kepada para orangtua atau wali anak yang mengizinkan anaknya menggunakan gadget untuk tidak lupa membuat aturan dan batasan-batasan. Aturan itu termasuk tontonan apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi anak.
“Jadi kembali lagi bukan tidak boleh sama sekali (screentime) karena tidak bisa dimungkiri hal-hal yang bersifat digital di zaman ini punya manfaat juga. Tapi di tengah perkembangan pesat teknologi ini, tetap harus ada batasan sesuai dengan usia perkembangan anak,” ujar Dhian.
Bagaimana membedakan anak yang sudah kecanduan gadget atau masih wajar?
Usia anak-anak merupakan periode krusial di mana semua kemampuannya sedang dalam tahap perkembangan, termasuk kemampuan kognitif, sosial dan emosionalnya. Jadi ketika anak-anak yang sedang asyik menonton kemudian diminta untuk berhenti, memang tidak menutup kemungkinan anak akan merasa kecewa, menangis, bahkan marah. Namun, itu semua adalah respons wajar.
Sama halnya ketika orang dewasa diminta untuk menghentikan hobinya, maka ada perasaan marah dan tidak menerima. Oleh sebab itu, menurut Dhian, semua emosi ini merupakan emosi normal yang memang harus dikeluarkan oleh anak, selama emosi tersebut tidak menyakiti dirinya maupun orang-orang di sekitarnya.
“Kalau marah sudah tidak terkontrol, merusak barang, menyakiti diri, atau melempar barang ke orangtua itu sudah tanda-tanda bukan bagian dari tahap perkembangan lagi, masuk kategori tidak normal,” jelas Dhian.
“Tapi kalau diambil hp nangis itu wajar, kasih waktu buat nangis. Lalu kita ajak ngobrol baik-baik. Kalau dinasihati dia mau nerima mau beralih untuk main yang lain, itu masih normal,” tambahnya.
Menurut Dhian, semua hal ini terjadi berawal dari pembiasaan apa yang dibentuk di lingkungan keluarganya. Misalkan sejak kecil anak-anak terbiasa menggunakan gadget tanpa kenal waktu dan batasan, maka jangan heran bila kemudian sulit untuk menghentikannya. Berbeda cerita ketika orangtua membuat aturan dan batasan untuk anak menggunakan gadget. Misalnya hanya boleh di hari Sabtu dan Minggu, atau boleh setiap hari tapi hanya 1 jam.
“Ada aturan tapi inkonsisten. Kadang boleh nonton berjam-jam kadang tiba-tiba diambil bahkan tidak boleh sama sekali. Anak akhirnya bingung dan cari celah. Jadi penting juga untuk orang tua konsisten ketika membuat aturan dan ketika akan mengambil Hp kita izin dulu, pasti nangis, tapi dijelaskan, ‘ini sudah malam tubuhmu sudah capek, waktunya istirahat, besok kamu punya jatah lagi’,” ujar Dhian.
Regulasi penggunaan gadget
Melarang anak untuk tidak bermain gadget sama sekali adalah hal yang cukup mustahil di zaman yang serba digital ini, karena itu penting bagi orang tua untuk tidak hanya menjadi polisi bagi anak-anak tetapi menjadi orang tua dan teman yang menyenang bagi anak-anak. Caranya dengan membuat aturan sedini mungkin tentang penggunaan gadget.
1. Buat jadwal khusus kapan anak bermain gadget
Misalnya hanya boleh bermain gadget setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah atau tugas sekolah dan hanya boleh selama 1-2 jam.
2. Libatkan anak saat membuat aturan
Langkah ini membuat anak merasa memiliki tanggung jawab dan dipercaya. Cara ini mendorong anak mengikuti aturan yang telah dibuat bersama-sama. Misalnya buat perjanjian kalau orangtua boleh mengakses apa yang dia lihat.
“Jadi sebelum kasih Hp buat nonton, orangtua bikin kontrak tertulis dengan anak bahwa misalnya, hanya boleh 1 jam, download apapun harus izin orangtua, orangtua boleh melihat apa saja yang dilakukan atau ditonton anak, kalau melanggar nanti akan ada penarikan hp. Tentu dengan cara yang fun tidak kaku,” ujar Dhian.
3. Buat zona bebas gadget
Misalnya dilarang bermain gadget ketika sedang di meja makan atau ketika sedang berkumpul di acara keluarga.
4. Orangtua menjadi role model buat anak-anak.
Jika melarang membawa Hp di meja makan maka orangtua juga harus mengikuti aturan itu. Termasuk juga bagaimana cara orangtua mengelola emosi ketika bermain gadget maka anak-anak juga cenderung akan mengikuti.
5. Negosiasi dengan anak remaja.
Menangani remaja tidak maka harus membuat kesepakatan bersama. Aturan yang terlalu kencang akan membuat anak tidak patuh dan jika dibiarkan makin tidak terkontrol.
“Jadi kalau ada yang tidak setuju boleh buat bernegosiasi, misalnya bermain Hp 2 jam tidak cukup boleh 3 jam karena kalau no gadget sama sekali susah banget. Yang penting tahu batasan sesuai usia dan tahu batasan seperti apa ketika anak sudah remaja,” kata Dhian
6. Bonding yang baik antara orangtua dan anak.
Semua aturan dan kesepakatan tentang gadget itu akan mustahil dilakukan jika tidak ada bonding yang bagus antara anak dan orangtua di awal.
“Parenting apa yang akan kita terapkan, bagaimana cara kita berbicara pada anak, sejauh apa kita mau mendengarkan anak, sejauh apa kita hadir untuk anak, hal-hal fundamental dulu. karena kalau kita jarang ngobrol dengan anak, tiba-tiba ngatur hidupnya rasanya akan mustahil untuk didengarkan, karena anak bukannya tidak mau nurut tapi karena bondingnya belum terbangun sejak awal,” jelasnya.
Pesatnya perkembangan teknologi kadang memberi rasa ketakutan tersendiri bagi banyak orangtua. Terutama bagi mereka yang masih belum cakap berteknologi. Oleh karena itu, menurut Dhian, penting bagi orangtua untuk juga sama-sama belajar dan beradaptasi dengan perkembangan zaman dan teknologi.
“Sebagai orangtua kita harus terbuka dengan dunia digital, meskipun anak zaman sekarang lebih tahu. Jangan bersembunyi di bawah kalimat ‘ibu tidak ngerti’. Kita harus masuk ke dunia anak-anak karena bagaimana mungkin kita tahu medan perang yang dia hadapi kalau kita tidak lihat dulu. Bagaimana mengajari caranya berperang kalau belum tahu medannya. Kalau kita tahu maka kita bisa mengedukasi anak,” kata Dhian.
Saatnya terus meningkatkan keterampilan dan pengetahuan ya, Mama! [*]






