digitalMamaID — Kota Bandung tengah menggaungkan semangat menjadi kota yang ramah anak dan inklusif bagi penyandang disabilitas. Namun, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Masih banyak ruang publik yang sulit diakses, fasilitas yang belum sepenuhnya mendukung, dan kesadaran yang perlu terus dibangun. Lewat Dream Festival 2025, berbagai pihak bergandengan tangan, menjadikan inklusi bukan hanya janji, tapi kenyataan yang bisa dirasakan oleh setiap warga, tanpa kecuali.
Ratusan anak disabilitas meramaikan Dream Festival 2025 yang digelar di Plaza Balai Kota Bandung, Jl. Wastukencana No. 2, Kota Bandung pada Minggu, 29 Juni 2025. Dream Festival 2025 yang digelar dengan konsep piknik di area terbuka ini diisi dengan berbagai kegiatan, seperti talkshow inspiratif, zona refleksi, booth-booth edukatif dan bazar UMKM.
Dream Festival 2025 digagas oleh Save the Children Indonesia yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung, RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat) Kota Bandung, RBM Kabupaten Bandung Barat, dan berbagai mitra. Acara ini sekaligus memperingati Hari Keluarga Nasional dan rangkaian menuju Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli mendatang.
Menurut BPS Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan jumlah penyandang disabilitas terbanyak di Indonesia, mencapai sekitar 3 juta orang. Di Kota Bandung sendiri, tercatat sekitar 8.900 orang penyandang disabilitas. Data ini menjadi pengingat penting bahwa isu inklusi bukan hanya wacana, melainkan kebutuhan nyata bagi jutaan warga.
Tidak hanya infrastruktur
Dalam sambutannya, Wali Kota Bandung M. Farhan menekankan komitmen untuk menjadikan kota ini lebih ramah bagi anak dan penyandang disabilitas. Ia mengakui masih banyak pekerjaan rumah, terutama soal infrastruktur yang saat ini cenderung mengedepankan estetika dibandingkan fungsi.
Untuk itu, pembangunan trotoar ramah disabilitas tengah digarap, dimulai dari kawasan Jalan Belitung hingga Jalan Kalimantan. “Sudah 200 meter selesai dari target 800 meter.” sambungnya.
Namun, tantangan tak berhenti di infrastruktur. Di bidang pendidikan, Farhan mengakui adanya keterbatasan tenaga pendidik inklusif. “Kami kekurangan tenaga pendidik untuk anak berkebutuhan khusus. Saat ini kami bekerja sama dengan UPI untuk menyiapkan guru-guru inklusif,” katanya pada wartawan.
Puncak acara Dream Fest 2025 ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Save the Children dan Pemerintah Kota Bandung. Langkah konkret ini menjadi simbol komitmen bersama dalam menciptakan Bandung yang lebih inklusif dan ramah anak.
CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar, menegaskan bahwa Dream Festival adalah ruang aman dan penuh kasih. “Setiap anak, termasuk anak disabilitas, punya potensi luar biasa. Sayangnya, masih banyak yang terbatasi karena stigma dan kurangnya akses dan pemahaman,” ujar Dessy.
Dessy membagikan kisah inspiratif Alisha (18), remaja tunarungu atlet lari daerah asal Cimahi yang kini merintis usaha rempah-rempah bersama ibunya setelah mengikuti program pelatihan Save the Children, Skill to Succeed. “Saat hati kita saat terbuka, saat kita mendengar, saat kita berempati, kita semua bisa mengubah masa depan anak-anak.” sambungnya.
Inge dan perjuangannya untuk Fauzi
Salah satu peserta Dream Festival 2025 yang hadir adalah adalah Inge (48), ibu dari Fauzi (11), anak dengan cerebral palsy level 2. Di tengah ramainya acara, Inge menyuapi Fauzi makan siang sambil berbagi ceritanya kepada digitalMamaID. Inge memapah Fauzi dari kursi roda yang ia simpan di pinggir trotoar.
“Fauzi waktu lahir nangisnya pelan, umur 1 tahun kejang. Berobat ke dokter awalnya epilepsy.” ceritanya. Sejak bayi, seperti yang biasa dilakukan seorang ibu, Inge selalu memantau perkembangan Fauzi, saat ia melihat milestone anaknya terlambat, ia konsultasi ke dokter dan menjalankan terapi. “Kami pergi ke beberapa dokter, sampai akhirnya ke dr. Purboyo Solek, dikasih tahu ini cerebral palsy level 2.” sambungnya.

Disadur dari situs Kementerian Kesehatan, celebral palsy adalah suatu keadaan (bukan penyakit) yang mempengaruhi perkembangan kontrol otot dan gerak serta postur. Hal ini terjadi karena kerusakan otak pada bagian yang mengontrol gerakan. Hal ini mengakibatlan munculnya disabilitas permanen seperti kelemahan otot dan kekakuan (spastititas).
Meski awalnya sempat terpukul, Inge kemudian bergabung dengan komunitas Keluarga Cerebral Palsy Bandung Raya. Hal ini rupanya membantu Inge bangkit. “Di komunitas ini kita sama-sama saling menguatkan. Kita sharing pengalaman merawat anak-anak ini. Jadi banyak bersyukur juga.” katanya sambil tersenyum.
Inge mengikuti Dream Festival dari info di komunitasnya. Ia bercerita dirinya dan komunitasnya sering diundang ke acara-acara disabilitas di tingkat kota. Namun, ia menyoroti keterbatasan akses disabilitas di Bandung yang ia bandingkan dengan Kota Jakarta di mana kota suaminya bekerja. “Kalau di Jakarta, semuanya sudah ramah disabilitas, ya. Sampai satpam juga membantu banget. Tapi, kalau di Bandung, di mall misalnya. Eh, satpam-nya biasa aja. Belum terlalu peduli gitu karena kita bawa kursi roda. Kemudian susah buat parkir gitu,” keluhnya. Dibalik keluhannya ia tetap menyimpan harapan, “Semoga nanti bisa lebih baik, ya.” ujar ibu tiga anak ini.
Di balik keterbatasannya, Fauzi rupanya punya kegiatan favorit. “Main lempar tangkap bola. Jadi di rumah banyak bola. Ada empat.” ceritanya. Karena keterbatasan yang dialami juga Fauzi berkomunikasi dengan bahasa yang unik. “Komunikasinya pakai bahasa kalbu.” kata Inge sambil tertawa. “Jadi saya lihatnya dari mata biasanya. Kalau pengin sesuatu dia langsung ambil. Dia udah tahu nih tempat kue-kue di mana.” ujarnya.
Sejak kecil Fauzi menjalani banyak terapi, dari mulai fisioterapi, terapi wicara dan terapi perilaku. Fokus penuh ini kadang membuat Inge dilanda perasaan bersalah kepada kakak-kakak Fauzi yang saat ini sudah beranjak dewasa. “Kadang saya suka merasa bersalah sama kakak-kakaknya, Fauzi itu sering dirawat di rumah sakit. Jadi tiap tahun pasti ada aja dirawat.” ceritanya khawatir. Namun Inge bersyukur kakak-kakak Fauzi sangat mengerti dan suportif dengan adiknya, mereka pun jadi lebih mandiri.
Dream Festival menumbuhkan harapan untuk masyarakat disabilitas. Inge menekankan bahwa dirinya tidak minta dikasihani, tapi ia berharap bahwa kaum disabilitas dapat mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat umum. “Harapannya untuk pendidikan penginnya juga diterima ya semua jenis disabilitas. Lalu, fasilitas kursi roda. Juga jalan paving block itu agak repot. Juga masyarakatnya. Sebenernya kita gak minta dikasihani, kok.” ujarnya.
Selain harapan untuk kota di mana Inge tinggal, ia juga berharap hal yang sederhana namun sangat berarti, Fauzi bisa hidup mandiri. “Saya sih nggak ngejar akademik, ya. Tapi penginnya mandiri, dia bisa makan sendiri, mandi sendiri, dia bisa hidup tanpa bergantung orang lain. Kadang terlintas ya Allah gimana ya nanti kalau kita udah nggak ada? Ini anak sama siapa ya?” harapnya.
Rosti dan Nabila: Sosialisasi sangat penting
Cerita lain datang dari Rosti (48), ibu dari Nabila (16), remaja dengan Down Syndrome yang sebentar lagi masuk SMA. Nabila aktif mengikuti kegiatan renang dan senam bersama komunitas SOInah di Bandung.
Sejak kecil Nabila memang senang kegiatan fisik. Terapi yang dilakukan untuk Nabila sejak kecil rupanya membantu Rosti untuk lebih mudah mengarahkan kemampuan Nabila. “Anak-anak down syndrome itu cenderung senang kegiatan fisik seperti olahraga, nari atau nyanyi,” cerita Rosti kepada digitalMamaID.

Kegemaran Nabila akan kegiatan fisik tak bisa dipungkiri adalah hasil dari terapi-terapi yang dilakukannya sejak kecil. Rosti mengimbau orang tua ABK mengikuti terapi sedari dini. “Jadi untuk gedenya tinggal memumpuk aja istilahnya. Kalau sudah besar baru terapi, perkembangannya tidak akan menyeluruh.” ungkapnya.
Rasa senang Rosti mengikuti Dream Fest 2025 diiringi dengan harapan besar. Komitmen Kota Bandung menjadi kota ramah anak dan disabilitas diharapkan Rosti bisa segera direalisasikan mengingat memang Kota Bandung memiliki pekerjaan rumah untuk peningkatan kualitas pelayanan masyarakat disabilitas. “Penyaluran kerja jangan dipersulit,” harapnya.
Kegiatan Dream Festival 2025 ini diakui Rosti sangat membantu Nabila agar terbiasa dengan ruang publik. “Ketemu orang itu penting. Ketika suasana berisik misalnya, mereka kalem aja. Makannya penting mengajak ABK berjalan-jalan atau ikut kegiatan-kegiatan.” ujar Rosti.
Rosti pun berpesan kepada sesama orang tua anak Down Syndrome untuk terus mendukung. “Jangan sampai berkecil hati. Semua anak sama, dorong anak untuk berkarya. Jangan sampai memperkecil (perasaanya-red),” ungkap Rosti. Sambil melihat Nabila yang saat itu sedang berjalan-jalan di hadapannya, Rosti berharap sederhana, “Harapannya dia selalu sehat, bisa mencapai cita-citanya,” tuturnya.
Dream Festival 2025 menjadi bukti, perubahan bisa dimulai dari kolaborasi. Dari cerita Inge dan Fauzi, kisah Nabila dan perjuangan ibunya, hingga langkah pemerintah kota, semua mengarah pada satu titik: inklusi yang bermakna untuk masyarakat. [*]