Jejak Perempuan di Pergerakan Perubahan

Ilustrasi pergerakan
Share

digitalMamaID —Pergerakan melahirkan perubahan, hadirnya era baru. Sejarah membuktikan, perempuan selalu hadir di setiap pergerakan yang membawa perubahan.

27 tahun yang lalu, tepatnya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah ini menandai berakhirnya era Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade, sekaligus menjadi awal lahirnya era Reformasi.

Momen ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan Indonesia, yang membuka jalan bagi perubahan menuju sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan berpihak pada rakyat. Tentu, keberhasilan perjuangan ini tak lepas dari keberanian para mahasiswa yang saat itu turun ke jalan dan juga dukungan dari seluruh masyarakat juga ibu-ibu muda, yang tergabung dalam gerakan Suara Ibu Bandung.

Titi Pudji, perwakilan Suara Ibu Bandung, ingat betul bagaimana suasana saat itu, suasana yang tidak akan pernah bisa dibayangkan. “Merinding kalau ingat itu. Saya menyaksikan betul, teman-teman yang berkumpul waktu itu di rumahnya Mas Harry Roesli, ada banyak mahasiswa, ibu-ibu juga. Kita nonton TV semua saat Soeharto menyatakan pengunduran dirinya,” ungkap Titi dalam Live Instagram bersama digitalMamaID, Jumat, 23 Mei 2025.

Gerakan perempuan di Reformasi 1998

Suara Ibu Bandung sendiri merupakan gerakan spontanitas dari masyarakat khususnya, ibu-ibu dan perempuan, yang muncul karena satu keprihatinan yang sama di tengah kemelut situasi politik, ekonomi dan sosial pada saat Mei 1998. “Puncaknya, penembakan mahasiswa Trisakti yang korbannya empat orang termasuk Hafidin, yang kebetulan orang Bandung. Itu yang menjadi pemicu (gerakan Suara Ibu Bandung),” ungkapnya.

“Jadi ketika ada penembakan mahasiswa Trisakti, waktu itu kita spontan bertelepon, berkumpul, merancang dalam waktu singkat, aksi turun ke jalan untuk mendukung apa yang disuarakan oleh mahasiswa,” lanjutnya.

Titi ingat, hari pertama turun ke jalan pada tanggal 16 Mei 1998, di pinggir Gasibu, Gedung Sate. Kampus yang pertama Suara Ibu Bandung datangi adalah UNPAD kemudian ITB dan hari-hari berikutnya ke kampus-kampus lain untuk memberikan dukungan terhadap mahasiswa sampai pada titik, di tanggal 21 Mei 1998, saat Soeharto lengser. “Itu disambut mahasiswa, terharu kalau ingat itu karena, mereka juga sebetulnya perlu dukungan moral dari masyarakat,” tuturnya.

Dukungan yang diberikan oleh Suara Ibu juga dirasakan dan dialami langsung oleh Sely Martini, Ketua Yayasan Jaringan Relawan Independen (JaRi), yang saat itu masih berstatus mahasiswa. Ia menjadi salah satu demonstran dari ITB. “Mereka yang kasih makan nasi bungkus, kasih permen kalau kita aksi bahkan waktu itu bawa jeruk. Selalu ada ibu-ibu yang datang ke kita, teman-teman Bu Titi. Saya bagian yang ngambil, ingat banget,” ungkap Sely.

Kemudian dirinya dan kawan-kawan lainnya juga diajarkan oleh dokter-dokter (bagian dari Suara Ibu Peduli yang selanjutnya tergabung menjadi relawan JaRi). Mereka cukup signifikan membantu ketika ada penembakan saat kerusuhan dan membantu korban-korban perkosaan.

“Jadi kalau dibilang, ‘itu (perkosaan) mitos, nggak ada, segala macam’, JaRi adalah salah satu saksi, yang bekerja membantu pemulihan baik psikologi maupun medis para korban yang dibawa ke Bandung,” tambahnya.

Apa kabar reformasi hari ini?

Lalu setelah 27 tahun, apa kabar reformasi Indonesia? Faktanya, kita masih dihadapkan dengan kenyataan yang bertolak belakang. Di satu sisi, demokrasi serta kebebasan berekspresi seolah bertumbuh. Namun, di sisi lain, banyak agenda reformasi yang dilupakan dan dibelokkan.

Nidan, penginisiasi Gerakan Flowerbomb Collective yang aktif di isu perempuan dan juga turut mewadahi pergerakan perempuan, mengaku saat ini masih merasakan pembatasan pergerakan. “Sekarang, misalnya lapakan buku di beberapa tempat itu di bredel lalu diskusi ditanyakan. Bahkan waktu kemarin juga sempat ada diskusi mengenai Marsinah, kita sempat didatangi oleh intel dan juga para pengamanan lainnya,” ungkap Nidan.

Hal ini berbeda seperti pemerintahan sebelumnya, yang tidak secara langsung membatasi namun membuat mahasiswa juga masyarakat sibuk. “Entah itu UKT mahal. Jadi banyak mahasiswa yang harus kerja sambilan untuk membayar UKT-nya. Lalu juga program magang, waktu itu ada kampus merdeka yang memang membuat akhirnya kesadaran mahasiswa itu lebih diredam tapi dengan secara halus gitu,” sambungnya.

Menurutnya, sekarang lebih terasa dengan ancaman yang nyata. Seperti mahasiswa ITB yang ditangkap langsung oleh Bareskrim Polri karena, membuat meme atau gambar AI dan terancam 12 tahun penjara. Di media sosial juga banyak orang-orang yang tertangkap di berbagai kota karena aksi Mayday kemarin. Kemarin peringatan reformasi di Trisakti, ada sekitar 93 orang yang tertangkap dan 15 orang menjadi menjadi tersangka karena, menghalangi kinerja kepolisian.

“Sekarang lebih terasa ancamannya itu nyata. Misalnya di setiap aksi, ketakutannya itu tidak hanya saat aksi namun pasca aksinya. Itu ada ketakutan-ketakutan seperti itu” ungkap Nidan.

“Sekarang juga nggak cuma tentang UU TNI tapi, bakal ditakutin sama UU Polri juga, belum lagi ada kebijakan-kebijakan lain seperti KUHAP yang memang masih mengancam kita, belum lagi ada efisiensi dan hal lain yang memang terasa juga di kita,” tambahnya.

Reformasi mundur, masyarakat sipil dibenturkan

Sependapat, Sely juga melihat masyarakat hari ini banyak dibenturkan oleh masyarakat sipil lagi lewat buzzer atau LSM. “Dulu pas ‘98 sebenarnya kita juga dibenturkan dengan Pam Swakarsa. Di Patal Senayan itu, kita lihat sendiri, gimana orang-orang berpakaian putih-putih, pakai peci, berpakaian sebagai muslim itu dikasih tongkat, yang itu yang akan berhadap-hadapan dengan mahasiswa,” kata Sely.

Itu juga menurutnya yang terjadi sekarang di Sukahaji dan Dago Elos, mereka dibenturkan dengan LSM-LSM. Dan Kota Bandung itu adalah pemasok LSM-LSM berbayar ini karena paling dekat dengan Jakarta. “Jadi dikikisnya dari masyarakat sipil itu juga dan kenapa kita harus saling kenal biar kita ketika di lapangan itu tahu, kita one call away-nya itu ke siapa, minta tolong ke siapa, terus dia teman kita atau bukan,” lanjutnya.

Bagi Sely, ini membuat rasa percaya sesama anak bangsa jadi hilang karena dibenturkan. Menurutnya, negara sekarang melakukan hal yang sama kepada kejaksaan dengan memasukkan TNI di kejaksaan. “Padahal ini secara fungsi penegakan hukum kan, masing-masing punya ranah sendiri ya. Kenapa tiba-tiba pertahanan negara harus ada di penegakan hukum? Itu kan beda,” katanya.

Lebih lanjut, pemerintah hari ini seakan mendewakan ‘hijau’. Padahal salah satu agenda reformasi itu menghapuskan dwifungsi ABRI, sekarang yang terjadi justru ikut masuk ke dalam institusi dan jabatan-jabatan strategis. “Kita itu dibilang fear mongering ketika kita ngomongin soal dwifungsi ABRI. Itu belum tentu terjadi, belum apa-apa,” katanya.

“Kemarin, Undang-Undang pertama saja itu mengembalikan mereka. Apalagi sekarang, buat saya di antikorupsi, dengan adanya Undang-Undang Tahun 2025 Nomor 1 soal BUMN. Itu jelas-jelas, kebayang nggak danantara itu aset negara, semua dikumpulkan tapi, yang mengelola bukan penyelenggara negara. Itu kan aneh banget,” sambungnya.

Menurutnya, Indonesia sudah 30 tahun demokrasi, berawal dari demokrasi semu tiga partai menjadi banyak partai. Tapi kini, situasi seperti mundur ke era lalu, memberi celah corruptors fight back. Menurut Sely, ini menunjukkan ada yang salah di sisi banyak hal, yaitu PR-PR reformasi yang tidak dilakukan. Pergerakan belum selesai. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID