Buku “A Giant Pack of Lies”: Dosa Industri Rokok Meningkatkan Jumlah Perokok di Indonesia

Bedah buku “A Giant Pack of Lies part 2”/Penny Yuniasri/digitalMamaID
Share

digitalMamaID — Jumlah perokok tidak hanya semakin bertambah, rentang umur perokok pun semakin muda. Iklan rokok yang semakin masif dan kencangnya lobi industri rokok menjadi pendorong utama. Hal tersebut dibahas dalam diskusi dan bedah buku “A Giant Pack of Lies part 2”.

Diskusi buku “A Giant Pack of Lies part 2” diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan Bandung Bergerak dan Poltekkes Bandung di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis 22 Mei 2025.

Mengusung tema “Menguak Tabir Kebohongan Industri Rokok”, diskusi dibuka oleh jurnalis sekaligus penulis buku Abdus Somad. Ia memaparkan secara garis besar isi yang ditulis bersama rekan-rekannya. Disampaikan pula temuan-temuan dan riset yang dilakukan untuk penulisan buku “A Giant Pack of Lies part 2” ini.

“Buku kedua ini tentang berbagai macam topik, mulai dari persoalan anak dan dampaknya, intervensi industri rokok, rokok elektrik. Lalu bagaimana industri rokok ini masuk ke ranah perempuan, pekerja perempuan, pekerja anak. Dan juga menggerogoti industri olahraga, membiayai sejumlah perguruan tinggi untuk meriset bahwa rokok ini baik dan sehat untuk di dikonsumsi,” ungkapnya membuka diskusi.

Makin dini usia perokok

Data The Global Adult Tobacco Survey (GATS) menunjukkan, jumlah perokok di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam satu dekade. Setelah sebelumnya sebanyak 60,3 juta perokok di tahun 2011, kemudian meningkat sebanyak 70,2 juta orang pada tahun 2021. Kenaikan ini mengindikasikan peningkatan hampir 10 juta perokok dalam kurun waktu 10 tahun.

Menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia yang diperkirakan mencapai 70 jutaan orang, 7,4% di antaranya berusia 10 hingga 18 tahun. Kelompok anak dan remaja menjadi kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jawa Barat dr. Ahyani Raksanagara mengungkapkan, bukan hanya jumlah perokoknya saja yang bertambah signifikan tapi, rentang usia perokok anak pun semakin menurun. “Kalau dulu tuh dihitung 10 sampai 19 tahun, sekarang ada yang di bawah 10 tahun,” ungkap Ahyani.

Menurutnya, hal ini terjadi lantaran kampanye dan iklan industri rokok yang kuat dan kreatif, yang membuat seolah-olah tidak masalah jika merokok. Bahkan biaya iklan yang digelontorkan untuk rokok sendiri bisa mencapai tujuh sampai delapan triliun. Padahal merokok punya dua dampak, baik ke diri sendiri dan orang lain.

“Merokok itu nomor dua yang menyebabkan risiko berbagai penyakit, mulai dari struk, kardiovaskuler, jantung, terus jika penyempitan pembuluh darahnya sampai ke ujung-ujung, yang kecil-kecil, dia bisa kena buerger syndrome. Artinya dampaknya ada tapi, tidak langsung” lanjutnya.

Menurutnya, selama ini banyak hal-hal yang dinormalkan padahal nyata-nyata berbahaya bagi kesehatan. Masyarakat perlu tahu bahwa rokok itu zat adiktif dan racun. Baginya, tidak normal bagi seseorang untuk memasukkan zat adiktif dan racun ke tubuhnya sendiri.

Sumber data: The Global Adult Tobacco Survey (GATS)
Sumber data: The Global Adult Tobacco Survey (GATS)

“Asap rokok juga sampah karena, dibuang. Jadi, kalau ada yang merokok di depan kita, sama aja dengan membuang sampah ke kita. Boleh kita mengatakan ‘Please ya, jangan gitu, jangan dong’,” tambahnya.

Lobi industri rokok

Selain kampanye dan paparan iklan, menurut Abdus, ada skenario atau upaya lain yang dilakukan oleh industri rokok yaitu dengan mendekati para peneliti, industri media, influencer dan juga lobi-lobi agar berhasil untuk menjual produk-produknya di dalam negeri.

“Industri rokok ini tidak sekedar menjalankan bisnis di rokok, tapi kemudian melebarkan  bisnisnya ke industri yang lain. Misalnya Gudang Garam mencoba ingin membangun bandara di Kediri dan mencoba untuk mengembangkan jalan tol dengan Kemenhub,” ungkap Abdus.

Begitu juga dengan Philip Morris, perusahaan tembakau multinasional asal Amerika yang membeli mayoritas saham Sampoerna. Mereka juga memiliki beberapa agenda di negara seperti Swedia, Jepang, dan Afrika. Mereka mencoba untuk memberikan dukungan pendanaan untuk infrastruktur, lalu kemudian riset untuk perkuliahan dan juga akademisi di beberapa negara.

“Memberikan support untuk beberapa lembaga agar mengkampanyekan bagaimana industri rokok ini sebenarnya ramah terhadap konsumen, tidak ada dampak yang signifikan pada kesehatan dan so far so good, masalah rokok itu hanya masalah orang-orang yang anti terhadap rokok begitu,” ungkapnya.

“Itulah agenda yang kemudian disampaikan oleh industri-industri rokok supaya bisa masuk dan memproduksi rokok di suatu negara,”sambungnya.

Rokok elektronik

Industri rokok ini sebenarnya punya pendapatan yang sangat besar, Philip Moris misalnya hampir mencapai 82 miliar dolar AS per tahun, yang mereka dapatkan dari penjualan rokok. Sekarang lagi-lagi industri rokok diuntungkan karena, memperoleh dua pasar secara bersamaan, yaitu rokok konvesional dan rokok elektrik. Baik Gudang Garam, Sampoerna, Wismilak, Philip Morris, BAT dan lainnya selain rokok konvensional, mereka juga turut berinovasi dan memproduksi rokok elektriknya masing-masing.

“Kalau konvensionalnya tidak terserap maka elektriknya yang kemudian bisa berpotensi terjual. Kalau elektriknya tidak terjual maka yang berpotensi adalah konvensional,” katanya.

Sumber data: Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023
Sumber data: Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023

Di Indonesia, rokok elektrik ini menjadi tren karena dianggap tidak perlu mengeluarkan uang lebih, tidak perlu membeli rokok setiap minggu. Tapi, cukup hanya di charge atau mengganti liquid-nya saja. Rokok elektrik juga punya klaim lebih aman, lebih sehat dan sebagai transisi berhenti merokok dari rokok konvensional.

Padahal di beberapa penelitian, cairan liquid juga berpotensi berbahaya karena mengandung berbagai komponen kandungan bahan kimia. Abdus sendiri menilai cairan liquid kurang transparan menunjukkan komponen apa saja yang dikandungnya. “Rokok konvesional masih menunjukkan TAR-nya berapa, nikotinnya berapa tapi, di liquid sangat jarang, meskipun ada beberapa,” lanjutnya.

Dalam riset Rowell T.R dan Tarran R pada 2015, dijelaskan rokok elektrik mengandung 0-35 miligram nicotine atau puff. Jika menghirup 30 kali uap sama dengan menghisap kadar nikotin 1 miligram atau 1 batang rokok konvensional. Paling mengerikan ada kandungan logam (heavy metals), formaldehyde (aldehyde), nitrosamine (TSNa), silikat serta nano partikel lain dan particulate matter (PM) yang paling berbahaya bagi kesehatan paru.

Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Di Kota Bandung, Ahyani berbagi pengalamannya yang kesulitan untuk menggulirkan Raperda KTR ini. “Tahun 2011 kita baru bisa nempelin aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) itu di Peraturan Walikota (Perwal) K3 kebersihan, ketertiban, keindahan, nempel ada di pasal itu,” ungkapnya.

Setelah advokasi, baru 2017 bisa membuat Perwal KTR di Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei. Disana diatur tapi, menurutnya kurang kuat karena, Perwal tidak ada sanksi. Dibantu oleh sejumlah komunitas dan media yang terus beradvokasi, akhirnya berhasil disahkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2021, saat pandemi.

Walau begitu, Anhar Hadian, Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Bandung mengakui implementasi Perda KTR masih menjadi PR besar buat pemerintah. ”Iya, sisi regulasi kita sebenarnya sudah komplit. Sekarang kalau bicara menegakkan, tidak hanya orang kesehatan yang harus bergerak tapi, juga aparat penegakan Perda itu kan, Satpol PP. Apalagi kalau di bantu polisi dan TNI itu jadi keren banget,” ungkap Anhar.

Lebih lanjut, Anhar ingin berdialog dan mendorong Walikota agar mau menyampaikan pesan yang lebih kuat terkait larangan merokok ini. “Paling penting adalah kami ingin mendorong Pak WaliKota untuk menginstruksikan perangkat daerah penegak Perda untuk berani menegakkan aturan terkait larangan merokok tersebut,” sambungnya.

Selain itu juga pemerintah ingin mendorong banyak pihak, termasuk influencer-influencer untuk membuat pesan-pesan anti-rokok yang lebih kreatif.

Stop normalisasi rokok! Rokok bukan barang normal karena membahayakan kesehatan. Indonesia itu sedang menghadapi krisis iklim, anomali cuaca yang membuat munculnya banyak penyakit pernapasan. Jika keadaan yang sudah sulit ini bertambah dengan adanya peredaran rokok yang bebas tanpa penegakan kuat. Mungkinkah Indonesia Emas 2045 akan tercapai? [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID