Kesenjangan Digital: Penetrasi Internet Tinggi Tapi Tidak Merata

Ilustrasi penetrasi internet
Share

digitalMamaID — Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) penetrasi internet di Indonesia telah mencapai angka 79,7 persen. Namun, kenyataannya masih banyak daerah yang belum sepenuhnya terhubung dengan jaringan internet, khususnya Indonesia Timur. Sebagian besar wilayah ini, terutama di daerah terpencil, masih berjuang untuk mendapatkan koneksi dasar. Bahkan, akses internet yang ada pun sering kali terbatas dan tidak stabil.

Di tengah tantangan besar ini, ada secercah harapan yang muncul dari upaya swadaya masyarakat, salah satunya Sekolah Internet Komunitas (SIK) di mana mereka dengan penuh semangat membangun infrastruktur komunikasi sendiri, mulai dari merakit menara hingga menyebarkan sinyal internet ke desa-desa terpencil di Sumba Barat Daya.

Aurea Imelda Mone, salah satu pegiat SIK menceritakan bahwa awalnya pihak Common Room yang bekerjasama dengan BLK Don Bosco melihat banyak blank spot di daerah di Sumba Barat Daya. “Jadi Common Room dengan BLK Don Bosco membentuk SIK dan kemudian di bulan Februari, tahun 2023, diresmikan Toren Bambu Internet di BLK Don Bosko sebagai percontohan di desa-desa,” jelas Imel sapaan akrabnya dalam Live Instagram Rabu, 19 Februari 2025.

SIK sendiri hadir untuk membantu masyarakat memahami terlebih dahulu tentang jaringan dan internet. “Ketika mereka sudah paham tentang bagaimana jaringan, bagaimana komputer, bagaimana listrik. Kami kirim lagi ke desa mereka untuk kami bantu bangun satu toren bambu internet yang akan membantu daerah mereka nanti untuk membangun satu jaringan internet yang bagus,” jelasnya.

Belum merata

Imel mengakui, belum semua desa bisa dibangun jaringan internet karena akses jalan yang sulit dan beberapa desa belum memiliki listrik. Akan tetapi, upaya menjelaskan pentingnya literasi digital dan pemanfaatan internet di desa-desa atau perkumpulan-perkumpulan tetap dilakukan.

Sumba Barat Daya sendiri terkenal dengan kain tenunnya, namun dalam pemasarannya masyarakat masih kesulitan karena tempat tinggal mereka yang terpencil. Selama ini masyarakat hanya berjualan di depan rumah masing-masing dengan menaruh jualannya di atas meja. “Ya sudah, nanti dilihat orang lewat, kalau mereka mau beli ya sudah beli, kalau tidak ya tidak,” katanya.

“Jadi kami memperkenalkan bagaimana berjualan di Facebook, berjualan di WhatsApp, Instagram agar hasil karya mereka tuh bisa dijual di luar begitu. Mungkin itu yang sekarang kami usahakan supaya mereka paham dulu bagaimana cara menggunakan internet itu,” tambahnya.

Menurutnya, memang ada beberapa orang yang sudah bisa berjualan di Facebook dan WhatsApp. Tantangan terberat, kata Imel, terkait dengan keamanan digital. Banyak yang belum mengetahuinya bagaimana menjaga privasi di internet, dan sebagainya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Digital Queen (@digitalqueenid)

Kesetaraan gender

Selain itu tantangan yang dihadapi adalah masalah kesetaraan gender. Di sana, masih terasa kental pemikiran-pemikiran patriarki tentang perempuan yang seharusnya di rumah saja, memasak, melayani suami, mengurus anak. “Apalagi saya perempuan, umur saya masih sangat muda, saya mencoba mengedukasi orang-orang yang lebih tua, ada yang mendengarkan, ada juga yang tidak,” ungkapnya.

Belum lagi, perempuan di Sumba Barat Daya masih khawatir dengan kawin tangkap. “Ketika kami turun ke desa yang benar-benar terpencil pasti ada yang bilang, ‘Hati-hatilah nanti diculik’ gitu. Diculiknya ya untuk dinikahkan, jadi kan kayak was-was gitu, nggak fokus. Kita jaga diri kita atau kita mau memberikan ilmu,” ungkapnya.

Selain masuk ke desa-desa, SIK juga masuk ke posyandu-posyandu, ke sekolah-sekolah SMA dan SMK untuk mengajarkan keamanan dan etika digital. “Kebanyakan yang sekolah itu juga, mereka yang datang dari kampung ke kota. Kami mengharapkan bahwa ketika mereka kembali ke kampung, mereka bisa mengajari orang tua mereka, adik mereka, bagaimana supaya mereka juga paham tentang teknologi ya dari orang terdekatnya,” lanjutnya.

Tidak semua berjalan lancar. Ada pula yang sudah diajari tapi tidak di implementasikan. Biasanya ini terjadi di daerah-daerah yang tidak terlalu melek digital.

Lebih mudah mengedukasi anak-anak

Berdasarakan pengalamannya, mengedukasi anak-anak lebih mudah dibandingkan dengan orang tua. Apalagi ketika dirinya membahas mengenai kecanduan game bahwa bermain game punya banyak sisi positif dan sisi negatifnya. “Awalnya kami pikir mereka akan risih karena dianggap dilarang bermain game. Tapi ternyata, ketika kami buka sesi tanya jawab, mereka aktif banget menanyakan cara agar tidak kecanduan game,” ungkapnya.

Ternyata anak-anak antusias dengan materi yang diberikan seperti menjaga data-data agar tidak bocor. Anak-anak juga mau menerima masukan yang diberikan dan mengimplementasikan itu. Beberapa guru bahkan bilang, waktu istirahat yang biasanya digunakan untuk bermain game kali ini, setelah di edukasi sudah mulai menurun anak-anak yang bermain game.

Memang ada beberapa sekolah yang sudah memasang Wi-Fi akan tetapi, tak sedikit sekolah yang masih kesulitan. Terkadang jaringan 4G pun belum bisa jadi jaminan jaringan akan lancar. Alhasil, guru-guru terkadang sampai harus ke kota atau ‘nebeng’ ke rumah kerabatnya untuk sekedar meng-upload data karena sistem yang sudah beralih ke online semua.

“Kami juga masih belajar, beberapa ikut ToT dari Common Room, bagaimana cara membangun internet, bagaimana kami memasang, menarik kabel fiber optik di sekolah-sekolah. Jadi misalnya kami sudah merasa bisa, kami akan tawarkan juga ke sekolah-sekolah untuk diberikan bantuan Wi-Fi gratis agar guru-guru, siswa bisa akses dengan mudah,” tuturnya.

Berharap pemerataan infrastruktur

Harapannya, ketika SIK sudah mengedukasi banyak orang di Sumba Barat Daya tentang literasi digital, pemerintah bisa melihat dan ikut membantu untuk membangun infrastruktur jaringan di pedesaan agar semua orang dapat merasakan dan melihat apa yang orang-orang di perkotaan bisa rasakan dan lihat.

Imel mengaku sudah bekerja sama dengan beberapa desa untuk mengusulkan membangun toren bambu untuk internet tetapi, beberapa desa masih ada yang menolak karena kepala desa merasa tidak membutuhkan itu karena, warga juga tidak memiliki gadget. Daripada membangun internet, mereka merasa bantuan sembako lebih penting dan pembangunan toren bambu juga dinilai membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Memang tantangan yang dihadapi SIK nyata adanya, 20,3 persen masyarakat Indonesia termasuk Sumba Barat Daya ada di titik blank spot. Penetrasi internet yang tinggi itu belum menjangkau ke mereka. Pemerataan infrastruktur oleh pemerintah tak kunjung merata.

Apa kita harus menyerah saja dan menunggu? Tentu tidak. Jika hanya menunggu, upaya mengejarnya akan sangat berat dan jauh. Beruntung orang Indonesia punya kehidupan komunal, banyak komunitas-komunitas yang mau bergerak dari akar rumput yang memperjuangkan isu-isu sosial, hak-hak kita sebagai warga negara. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID