Infodemi di Tengah Pandemi

Share

Apakah Mama merasa lelah dengan pemberitaan mengenai pandemi COVID-19 yang seakan tak ada hentinya akhir-akhir ini? Jika ya, Mama tidak sendirian. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebutkan pada Februari yang lalu bahwa kita saat ini memang tidak hanya sedang melawan pandemi, melainkan juga infodemi.

“We’re not just fighting an epidemic; we’re fighting an infodemic.
Fake news spreads faster and more easily than this #coronavirus & is just as dangerous”-@DrTedros at #MSC2020 #COVID19

— World Health Organization (WHO) (@WHO) February 15, 2020

Infodemi menggambarkan sebuah situasi dengan jumlah informasi yang terlalu berlebihan tentang sesuatu. Kita tentu sudah mengalami ketika semua stasiun televisi, koran, media sosial, group chat, bahkan percakapan langsung dengan teman dan keluarga sehari-hari berkutat seputar pandemi COVID-19.

  

Di tengah infodemi COVID-19 saat ini, informasi yang tidak tepat bisa menyebar dengan sangat cepat, baik yang disengaja (misinformasi) maupun tidak (disinformasi). Dengan adanya internet, informasi bahkan mungkin tersebar lebih cepat daripada virus itu sendiri. Akibatnya, sangat sulit terutama bagi orang awam untuk membedakan mana informasi yang patut dipercaya dan yang tidak sebagai pedoman untuk menjaga kesehatan diri dan keluarga sehari-hari.

Misinformasi Seputar COVID-19

Ada banyak sekali misinformasi seputar pandemi COVID-19 yang beredar di berbagai media. Mama tentu sudah pernah membaca beberapa diantaranya.
Mana yang paling sering beredar di lingkaran informasi Mama sehari-hari? Bisakah Mama membedakannya dari informasi yang benar?
Jika dibiarkan, meluasnya misinformasi dan disinformasi dalam situasi infodemi COVID-19 bisa menyebabkan berbagai kerugian dan bahaya bagi masyarakat.
  • Menyebabkan masyarakat mengikuti saran yang salah. Ratusan warga di Iran tewas dan ribuan lainnya jatuh sakit setelah mengkonsumsi metanol yang dianggap bisa membunuh virus. Saran yang tidak tepat bisa mengakibatkan kerugian, bahkan kehilangan nyawa.
  • Mengurangi kepercayaan pada para ahli. COVID-19 adalah penyakit baru yang masih terus diteliti oleh para ahli di seluruh dunia. Tak heran jika dari waktu ke waktu kita akan mendengar informasi yang berbeda, bahkan dari lembaga resmi, karena pengetahuan kita tentang penyakit ini memang masih terus berkembang. Teori konspirasi bisa mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga resmi, bahkan menyebabkan sebagian orang menganggap COVID-19 adalah kebohongan.
  • Menghambat pelayanan kesehatan. Misalnya, masyarakat yang menimbun masker medis mengakibatkan tenaga kesehatan kesulitan untuk mendapatkannya.
  • Menimbulkan stigma pada kelompok tertentu. Pasien COVID-19 dan tenaga medis dilaporkan mengalami stigma dan diskriminasi dari masyarakat sekitar karena kurangnya edukasi. Warga keturunan Tionghoa di berbagai negara juga mengalami sentimen rasis hanya karena virus pertama kali diidentifikasi di China. 
  • Menimbulkan kepanikan dan kerusakan. Kepercayaan bahwa 5G dapat menyebarkan virus sempat menyebabkan sejumlah orang merusak menara telekomunikasi di Bolivia. Panic buying juga sempat terjadi karena kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat.
  • Masyarakat menjadi apatis atau bosan. Pandemi masih terus berlanjut, misinformasi yang beredar terus menerus bisa menyebabkan masyarakat menjadi tidak peduli dan lalai melakukan pencegahan. 

Bagaimana Cara Menghadapi Infodemi?

Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Beberapa langkah berikut ini bisa menjadi panduan kita bersama saat menghadapi infodemi.

1. Menjaga kesehatan mental

Mengkonsumsi terlalu banyak berita negatif dapat meningkatkan persepsi tubuh akan hadirnya ancaman dan mempengaruhi kesehatan kita. Gejala stres berat dan kecemasan berlebihan muncul pada orang-orang yang terpapar lebih lama pada berita di masa pandemi. Tak hanya kesehatan mental, fisik kita pun pada akhirnya bisa terganggu.  
Untuk menjaga kesehatan mental di tengah infodemi, WHO menyarankan agar kita mengkonsumsi berita seputar COVID-19 secara seimbang. Berikut beberapa tips agar kita tetap mendapatkan informasi tanpa mengorbankan kesehatan.
  • Mengurangi mengkonsumsi berita seputar COVID-19 yang membuat kita merasa cemas dan  tertekan
  • Fokus pada mencari informasi seputar bagaimana cara menjaga diri dan keluarga 
  • Cukup memilih beberapa sumber berita yang terpercaya sebagai rujukan
  • Mencari fakta, bukan rumor yang tidak jelas sumbernya
  • Menjadwalkan membaca berita maksimal dua kali sehari

2. Menyaring informasi sebelum sharing

Saat kita mengunggah sebuah status di Facebook atau meneruskan sebuah pesan dari satu grup ke grup yang lain di WhatsApp, pada dasarnya kita sedang menjadi produsen informasi. Setiap informasi yang kita bagikan secara online bisa menimbulkan konsekuensi di dunia nyata. Badan internasional PBB mengkampanyekan gerakan #takecarebeforeyoushare agar kita menjadi produsen yang bertanggung jawab dengan tidak menyebarkan misinformasi.

Misinformation is dangerous & can hamper our ability to make progress on global issues.

On Tuesday’s #SocialMediaDay, we launched “Pause” — a campaign that asks everyone to take time to think about what you share online. #TakeCareBeforeYouShare.https://t.co/9cNARGlEUN pic.twitter.com/71VxfAW7OZ

— United Nations (@UN) June 30, 2020

  • Cek emosi. Misinformasi umumnya dibuat dengan memainkan emosi kita, entah itu marah, takut, sedih, atau gembira, yang membuat kita seringkali tanpa berpikir panjang membagikannya pada orang lain. Berhenti sejenak dan redamkan emosi sebelum kita berbagi.
  • Memeriksa kebenaran informasi. Gunakan panduan 5W untuk mengevaluasi sumber informasi online.
    • Who? Siapa yang membuat informasi ini, apakah ia seorang pakar yang dapat dipercaya?
    • Where? Dari mana informasi ini berasal? Seringkali kita menerima informasi “dari grup sebelah” tanpa dicantumkan sumber aslinya. Berusahalah untuk selalu menemukan dari mana informasi tersebut diterbitkan pertama kali.
    • When? Kapan informasi ini dibuat? Terkadang berita lama ditampilkan di luar konteksnya dan dibuat seakan-akan baru saja terjadi. 
    • What? Konten seperti apa yang disebarkan? Apakah ada rujukannya?
    • Why? Cobalah memikirkan mengapa informasi tersebut dibuat, adakah pihak-pihak tertentu yang diuntungkan jika informasi tersebut tersebar?
  • Menyebarkan konten positif. Bagikan konten positif seputar perilaku yang ingin kita kampanyekan seperti bagaimana menjaga kesehatan, social distancing di ruang publik, atau bagaimana cara membantu tetangga sekitar yang terdampak COVID-19, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.

3. Mencari informasi di situs yang terpercaya

Ada beberapa situs yang bisa Mama jadikan rujukan untuk mencari informasi seputar COVID-19, diantaranya berikut ini: 

Untuk memeriksa apakah sebuah informasi benar atau tidak, Mama bisa membuka situs yang khusus membahas mitos dan hoaks seputar COVID-19 seperti Mythbuster WHO atau Hoax Buster Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Beberapa situs pemeriksa fakta lain seperti TurnBackHoax juga menampilkan pemberitaan seputar COVID-19.

4. Meluruskan misinformasi di sekitar kita

Hampir setiap orang memiliki 1-2 teman atau kerabat yang gemar membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya. Selain media sosial, grup WhatsApp menjadi salah satu media yang cukup subur dengan informasi semacam ini. Apakah Mama juga mengalaminya? 
Berikut adalah beberapa tips dari para ahli tentang bagaimana cara menghentikan teman dan kerabat dari menyebarkan misinformasi sebagaimana dilansir oleh situs berita CNBC. 
  • Berempati. Banyak orang membagikan informasi yang salah karena ketidaktahuan dan keinginan untuk melindungi orang-orang di sekitar mereka. Masa yang sulit saat ini adalah waktu untuk saling mendukung satu sama lain. Kita bisa menggunakan bahasa yang empatik ketika meluruskan informasi agar pelaku tidak merasa sedang dimusuhi, dianggap bodoh, atau dipersalahkan.
  • Meluruskan via jalur privat alias japri. Meluruskan misinformasi secara langsung di media sosial atau group chat bisa membuat pelaku merasa dipermalukan dan justru berlaku defensif. Dengan mengingatkan secara japri, kita bisa berbicara lebih santai dengan harapan pelaku akan meralat misinformasi yang sudah disebarkannya.
  • Menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tidak semua orang familiar dengan grafik, tabel, atau statistik yang sering digunakan dalam pemberitaan berbasis sains. Menggunakan bahasa yang lebih sederhana dengan tetap merujuk pada fakta ketika meluruskan misinformasi akan lebih mudah dipahami oleh orang banyak.
  • Pick your battle. Sekeras apa pun kita berusaha, kita tidak akan mungkin meyakinkan semua orang tentang fakta yang benar. Bergantung pada situasi dan urgensi misnformasi yang perlu diluruskan, kita bisa memilih untuk mengabaikannya, memblokir pelaku, atau melaporkan konten ke media yang memuatnya agar ditandai sebagai misinformasi.
Pandemi masih ada di depan mata, demikian juga dengan infodemi di sekitar kita. Mari jaga terus kesehatan diri dan keluarga, sambil menjadi netizen yang bertanggung jawab dalam mengelola penyebaran informasi di sekitar kita!
 

1 thoughts on “Infodemi di Tengah Pandemi

  1. payungkubah says:

    Artikel yang bagus,,sangat bermanfaat dan menambah informasi karena untuk memberikan edukasi pada masyarakat awam mebutuhkan info yg akurat.bahkan masa second wave sprti skrg org2 malah lebih cuek dan sudah byk yg tdk mempedulikan protokol kesehatan. Terimkasih❤️

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID