digitalMamaID — Bencana hidrometeorologi yang menimpa Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara terus menimbulkan korban jiwa hingga mencapai 533 orang dengan korban hilang 402 orang. Bencana hidrometeorologi di tiga provinsi tersebut mengakibatkan putusnya jalur transportasi, aliran listrik, telekomunikasi, kerusakan infrastruktur, hingga banyak desa-desa yang terisolasi, termasuk lumpuhnya ekonomi dan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mendesak Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional terhadap musibah ini.
“Oleh karena itu melalui siaran pers ini kami LBH YLBHI wilayah Sumatera menyerukan kepada pemerintah pusat untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional sebagai langkah konkret penanggulangan bencana Sumatera sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,” kata Direktur LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas dalam siaran persnya, Senin, 1 Desember 2025.
Menurut Bowo, situasi hari ini yang terjadi di tiga provinsi bukan hanya bencana alam biasa, tetapi juga bentuk kegagalan negara untuk bisa menanggulangi bencana sekaligus sebagai penyebab bencana yang terjadi.
Lihat saja bagaimana cara pemerintah daerah yang gagap dałam merespon dan menanggulangi bencana dan lalainya pemerintah hingga menyebabkan kerusakan alam, penambangan ilegal, perkebunan ilegal, hingga izin-izin prosesi yang cukup masif di wilayah Sumatera diduga menjadi penyebab banjir dan longsor hari ini.
“Oleh karena itu, kami LBH-YLBHI Regional Barat yang terdiri dari LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Palembang dan LBH Bandar Lampung mendesak Presiden RI untuk segera menetapkan status darurat Bencana Nasional atas bencana banjir besar yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sekarang juga,” tegas Bowo.

Menurut Bowo, status “darurat bencana” ini sangat penting karena akan memberikan akses kewenangan kepada BNPB dan BPBD melalui Pemerintah untuk dapat mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, logistik hingga pendanaan akan lebih cepat dan terarah. Hal ini sangat penting untuk mempercepat proses evakuasi, pengiriman bantuan kebutuhan dasar kepada para pengungsi, hingga memulihkan fungsi prasarana dan sarana vital yang rusak akibat bencana.
Direktur LBH Medan, Irvan Saputra menilai, kondisi bencana banjir di tiga provinsi tersebut sudah memenuhi indikator penetapan bencana nasional. Yakni tingginya jumlah korban jiwa dan orang hilang, semakin meluasnya titik bencana, banyaknya Kabupaten/Kota yang terisolir, ribuan orang harus mengungsi dan kehilangan rumah, logistik yang menipis, langkanya ketersediaan bahan-bahan pokok serta melonjaknya harga BBM.
“Infrastruktur rusak, matinya jaringan komunikasi dan listrik semakin memperparah situasi, jalan-jalan yang putus menyebabkan sejumlah daerah semakin terisolir dan tidak dapat diakses,” jelas Ivan
Kondisi ini kata dia, menyebabkan informasi tentang situasi pasca bencana simpang siur, sehingga bantuan-bantuan kemanusiaan tidak dapat terdistribusikan dengan efektif. Padahal kebutuhan seperti makanan siap saji, obat-obatan, pakaian, sembako, dan bantuan kebutuhan dasar lainnya sangat mendesak maka tidak heran bila kemudian muncul penjarahan di gudang bulog dan supermarket. Karena itu Irvan mendesak pemerintah untuk segera meningkatkan status darurat bencana untuk memperlancar proses pengiriman bantuan kepada para korban.
Menurutnya, penetapan banjir Sumatera sebagai Darurat Bencana sesuai prinsip penanggulangan bencana yaitu cepat dan tepat, dan harus menjadi prioritas yakni mandat UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana, PP 21 Tahun 2008 dan Perpres 17 Tahun 2018. Dengan dasar hukum tersebut pemerintah pusat tidak memiliki alasan untuk menunda menetapkan status Darurat Bencana Nasional.
“Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, jangan sampai lambatnya penanggulangan bencana yang terjadi di tiga provinsi di Sumatera justru akan menambah lagi jumlah korban,” kata Irvan.
Moratorium seluruh izin konsesi kawasan hutan
Selain itu, Irvan juga mendesak pemerintah untuk memberlakukan moratorium seluruh izin konsesi di kawasan hutan. Karena dalam sudut pandangnya, bencana longsor dan banjir yang terjadi saat ini tidak bukan hanya dampak dari tingginya curah hujan, tetapi juga dampak dari krisis iklim yang berkaitan dengan aktivitas deforestasi dan masifnya pemberian izin-izin konsesi pada perusahaan pertambangan dan perkebunan yang beraktivitas di wilayah Sumatera.
“Ini menunjukkan gagalnya Pemerintah dalam tata kelola kawasan hutan yang semrawut dengan memberikan atau mempermudah izin-izin usaha perkebunan, pertambangan dan juga maraknya alih fungsi lahan demi proyek PLTA yang tersebar di berbagai titik di wilayah Sumatera,” kata dia.
Ia mencontohkan wilayah Sumatera Barat yang mengalami kerusakan hutan masif pada tahun 2020-2024, kemudian kerusakan di kawasan konservasi dan hutan lindung di wilayah perbukitan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tambang-tambang ilegal dan pembalakan liar di wilayah Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan.

“Deforestasi ini menyebabkan tidak ada lagi pohon yang berfungsi menyerap air, sehingga limpasan air yang besar berujung pada banjir dan genangan air seperti di Kota Padang,” jelasnya.
Oleh karena itu, selain penanggulangan pasca bencana, Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR BPN, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup juga harus bertanggung jawab guna memastikan tidak terulangnya kembali peristiwa ini dan dengan segera melakukan evaluasi total dan moratorium atau penangguhan izin baru terhadap industri ekstraktif dan juga penegakkan hukum terhadap aktivitas illegal logging dan tambang-tambang ilegal yang selama ini melakukan deforestasi dan pengrusakan lingkungan.
Aparat Penegak Hukum dan Dirjen Gakkum LH juga harus bertindak cepat untuk segera lakukan upaya investigasi dan juga penegakkan hukum kepada korporasi perusak lingkungan maupun pihak atau kelompok yang selama ini melakukan aktivitas illegal logging dan penambangan ilegal yang selama ini marak dan eksis di wilayah Sumatera.
Tiga desakan
Hal ini mendesak untuk dapat segera dilakukan mengingat akar persoalan banjir bukan hanya tingginya curah hujan namun karena adanya alih fungsi kawasan hutan dan hilangnya fungsi resapan air akibat tata kelola yang buruk serta karpet merah dan impunitas terhadap pengusaha yang ugal-ugalan dalam melakukan aktivitas bisnisnya.
Berdasarkan situasi tersebut LBH mendesak:
- Pemerintah Pusat segera tetapkan status Darurat bencana Nasional sebagai langkah konkret dalam penanggulangan bencana banjir Sumatera sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pedoman dan mekanisme melalui UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana sebagai upaya prioritas untuk memastikan keselamatan korban dan masyarakat yang terdampak banjir Sumatera;
- Kementerian terkait untuk melakukan Evaluasi dan Moratorium seluruh izin-izin usaha perkebunan, pertambangan dan pengelolaan kawasan hutan yang melanggar ketentuan, deforestasi dan merusak lingkungan;
- Aparat penegak hukum untuk dapat mengusut tuntas seluruh aktivitas penebangan dan pertambangan ilegal yang merusak kawasan hutan yang mengakibatkan bencana banjir Sumatera.
[*]






