Ini Syarat Masuk SD yang Ideal: Orangtua Harus Tahu

Ilustrasi memilih sekolah untuk anak
Share

digitalMamaID — Kapan sebaiknya anak masuk SD (Sekolah Dasar)? Pertanyaan ini membuat banyak orangtua bimbang. Apalagi jika anak tergolong usia tanggung. Usianya berada di batas minimal masuk sekolah dasar, tapi masih ragu apakah anak sudah siap?

Dalam situasi ini, tak sedikit orangtua yang akhirnya hanya berfokus pada dua hal utama untuk menentukan kesiapan anak masuk SD, yaitu usia dan kemampuan calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Padahal, SD merupakan jenjang pendidikan terpanjang dibandingkan SMP, SMA, maupun perkuliahan. Artinya, perjalanan anak di bangku SD akan berlangsung lama dan menjadi fondasi penting bagi proses belajar di tahap berikutnya. Oleh karena itu, kesiapan mental, emosional, dan sosial anak tidak bisa dipandang sebelah mata.

Mengacu pada regulasi terbaru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025, usia ideal anak masuk SD adalah 7 tahun, dengan usia minimal 6 tahun per 1 Juli pada tahun berjalan. Terdapat pengecualian bagi anak berusia minimal 5 tahun 6 bulan, dengan catatan anak memiliki kecerdasan atau bakat istimewa serta kesiapan psikis yang dibuktikan melalui rekomendasi psikolog profesional atau dewan guru.

Meski tampak administratif, aturan mengenai usia masuk SD ini sejatinya disusun sebagai bentuk perlindungan terhadap tumbuh kembang anak. Mengutip laman Hello Sehat milik Kementerian Kesehatan, usia 6 tahun merupakan periode penting dalam kehidupan anak. Pada fase ini terjadi perkembangan signifikan, baik dari aspek emosional, kognitif, fisik, maupun sosial.

Kesiapan anak bisa dilihat sejak usia prasekolah

Jika aspek usia relatif mudah ditentukan, kesiapan anak untuk masuk SD tidak berhenti di sana. Penilaian terhadap aspek lain justru membutuhkan pengamatan yang lebih mendalam, tidak hanya dari orang tua, tetapi juga dari pihak lain seperti guru prasekolah.

Kepala Sekolah TK Picupacu Nurani Widaningsih menjelaskan, kesiapan anak masuk SD sebenarnya sudah bisa diamati sejak usia prasekolah. Ia menekankan, kemampuan akademik bukanlah tolok ukur utama, melainkan aspek non-akademik yang sering kali luput dari perhatian.

“Secara aturan, anak usia 6 tahun sudah bisa masuk SD. Setelah itu, perlu dilihat aspek-aspek lainnya seperti kematangan emosi, sosial, dan kemandiriannya,” jelas Rani kepada digitalMamaID, pertengahan November 2025.

Menurutnya, jika aspek-aspek pendukung non-akademik tersebut belum tercapai, orangtua perlu berbesar hati untuk tidak terburu-buru memasukkan anak ke SD. “Lebih baik kita mundur sebentar daripada mengorbankan hal-hal lain yang justru akan lebih mendesak dihadapi anak ke depannya,” tambahnya.

Sebaliknya, jika secara usia anak sudah memenuhi syarat dan aspek non-akademiknya dinilai matang, namun kemampuan membaca dan menulis belum optimal, orangtua tidak perlu cemas. Persepsi bahwa anak harus sudah bisa baca tulis sebelum masuk SD kerap membuat anak tertekan selama masa TK, padahal tekanan ini justru kurang baik bagi perkembangan anak.

“Kalau di TK anak sudah bisa baca tulis, itu bonus. Tentu dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan usia dan tahap perkembangannya,” ujar Rani. Terlebih, kurikulum yang berlaku saat ini dirancang lebih ramah anak dan tidak mewajibkan kemampuan baca tulis sebagai syarat masuk SD.

Sebagai penguat, Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 juga menegaskan, tes membaca, menulis, dan berhitung resmi dihapus dari Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) jenjang SD mulai tahun ajaran 2025/2026. Kebijakan ini bertujuan memastikan setiap anak mendapatkan hak belajar yang setara tanpa tekanan akademik dini, sekaligus mendorong perkembangan anak secara menyeluruh.

Menunda masuk SD

Kebimbangan dalam menentukan waktu masuk SD juga dialami Yola, ibu asal Bandung. Anak keduanya, Mia, lahir pada bulan Juli sehingga usianya tepat 6 tahun saat tahun ajaran baru dimulai.

Secara akademik, Mia sudah menguasai kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Namun, Yola tetap merasa ragu. “Saya lihat tuh dia emosi dan inisiatifnya belum baik,” ceritanya pada digitalMamaID.

Keraguan itu terbukti ketika pada akhir 2024 Yola mengikutkan Mia psikotes di sebuah sekolah dasar swasta. Hasil asesmen menyatakan putrinya belum siap masuk SD, meskipun dari segi usia dan kemampuan akademik ia sudah sanggup.

“Hasil asesmennya menunjukkan belum matang. Jadi, dikasih tahu kalau pengaruh ketidakmatangannya nggak kelihatan di kelas dasar, karena guru masih dominan. Justru kata psikolognya kelihatannya di grade 4, 5, 6 saat anak mulai dikasih tugas mandiri dan butuh inisiatif,” jelas Yola.

Setelah menerima hasil tersebut, Yola dan suami sepakat menambah masa belajar Mia di TK. Ia mengaku sempat khawatir bagaimana putrinya akan menerima keputusan ini, mengingat banyak teman seangkatannya mulai masuk SD. Namun, keyakinan bahwa penjelasan yang baik dan tanpa menghakimi akan membantu ternyata terbukti. Mia menerima keputusan itu dengan baik dan tidak mempermasalahkan harus menambah masa TK.

Setahun tambahan di TK memberikan dampak positif. Mia menunjukkan perkembangan yang cukup baik dari segi emosi dan kemampuan sosial. Yola menyadari hal ini merupakan hasil kerja sama antara dirinya sebagai orang tua dan pihak sekolah.

“PR yang setahun lalu dikasih sama psikolog SD bisa dikejar. Kakak gurunya juga support Mia,” tutur Yola. Hasilnya di bulan Juli tahun ini, Mia masuk SD di usia 7 tahun dan lolos psikotes dengan baik.

Demi kematangan fisik dan mental

Cerita berbeda datang dari Arkana. Jika Mia menambah masa TK, Arkana justru menunda masuk SD dengan tidak langsung bersekolah formal. Juli tahun ini Arkana lulus TK dengan usia pas 6 tahun karena lahir di bulan Juli. Sang ibu, Oki (32), merasa putranya belum cukup matang secara fisik dan mental untuk duduk di bangku SD.

“Waktu TK Arka sering batpil (batuk pilek) dan kalau di rumah aktif banget. Fokusnya juga belum bisa lama,” ungkap Oki. Sambil memantau perkembangan tersebut, Oki juga mempelajari berbagai konten edukatif tentang kesiapan sekolah dan kemudian berkonsultasi dengan psikolog.

“Hasil observasi salah satunya Arka belum bisa fokus, ketika belajar harus ada jeda,” cerita Oki yang juga berprofesi sebagai edukator di Museum Geologi Bandung. Selain itu, kondisi kesehatan Arka menjadi pertimbangan besar. “Qadarullah, Mei lalu Arka baru didiagnosa Small VSD PMO dan PDA,” lanjutnya.

Small Ventricular Septal Defect (VSD), Patent Ductus Arteriosus (PDA), dan Perimembranous (PMO) merupakan kelainan struktural jantung sejak lahir. Kondisi ini bisa memerlukan perhatian khusus, terutama jika memunculkan gejala tertentu. Penanganannya pun beragam, mulai dari kontrol rutin hingga tindakan medis, tergantung kondisi anak. Dalam kasus Arka, kondisi ini membuatnya membutuhkan stabilitas fisik dan energi ekstra.

Berdasarkan hasil psikotes dan kondisi kesehatan tersebut, Oki dan suami mantap menunda Arka masuk SD. Enam bulan sebelum kelulusan TK, mereka sudah mulai memberi penjelasan kepada Arka bahwa ia tidak akan langsung masuk SD, namun tetap belajar dan berkegiatan.

“Saat lulus, Arka rindu sekolah dan sempat bertanya kenapa dia di rumah ketika teman-temannya yang lain masuk SD. Kami menjelaskan concern-concern-nya agar Arka paham dengan kondisinya,” ujar Oki. Arka menerima keputusan itu dengan baik dan memilih sendiri kegiatan yang ingin ia jalani.

Selama masa jeda, Arka mengikuti berbagai kegiatan seperti les calistung, berenang, dan sanggar menggambar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan minatnya. Dalam lima bulan terakhir, Oki juga rutin berkonsultasi dengan psikolog anak. “Saran psikolog yaitu konsisten dan melatih keseimbangan agar Arka dapat fokus. Saya juga selalu berdiskusi dengan guru privatnya tentang perkembangan calistungnya, ternyata fokusnya membaik. Kami memberikan hasil psikotes pada guru privat agar menjadi concern saat belajar,” ujarnya.

Usia cukup belum tentu siap mental

Secara psikologis, usia ideal anak masuk SD adalah 7 tahun. Psikolog Pendidikan Endah Fajar Puspita, S.Psi, M.Psi, Psikolog menjelaskan, terdapat dua konsep usia pada anak, yaitu chronological age dan psychological age. Keduanya tidak selalu berkembang bersamaan.

Menurutnya, kematangan psikologis anak sangat dipengaruhi oleh stimulasi sejak dini dari orang tua, mulai dari motorik kasar, sosialisasi, pemahaman aturan, hingga kemandirian. “Kadang-kadang orangtua mikirnya, ‘Ah, anak aku mah PD (percaya diri, red.), cerewet, banyak temannya.’ Tapi kalau dilihat-lihat, masih suka tantrum atau misalnya malam-malam masih harus dekat sama ibunya. Nah, itu menandakan psychological age-nya belum matang,” kata Endah.

Ia menuturkan bahwa kematangan anak usia 6 tahun sangat bervariasi, sementara di usia 7 tahun umumnya sudah lebih dari 80 persen. Inilah alasan usia ideal 7 tahun ditetapkan pemerintah, terutama untuk sekolah negeri yang belum sepenuhnya inklusif.

Jika anak belum siap masuk SD

Jika anak mendekati usia masuk SD tetapi terlihat belum siap, orangtua disarankan melakukan observasi dari berbagai pihak, termasuk psikolog dan guru. “Kalau nggak ada pilihan lain selain harus masuk SD. Kita harus berani mengambil risikonya. Terutama setelah berkonsultasi dengan psikolog dan diberi PR. Jangan lupa PR ini dikerjakan orangtua, jangan hanya mengandalkan gurunya,” ujar Endah.

Sementara itu, jika orangtua memilih menunda masuk SD atau mengambil gap year, masa tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal untuk eksplorasi dan stimulasi anak. Namun, Endah mengingatkan agar pembiasaan sehari-hari tetap diperhatikan.

“Ada klien saya anaknya gap year dan ibunya ngasih banyak aktivitas untuk anaknya, tapi si anak tidak dibiasakan bangun pagi,” cerita Endah. Menurutnya, pembiasaan seperti bangun pagi tidak bisa dilakukan secara instan. Oleh karena itu, selama masa gap year, selain diisi dengan berbagai kegiatan, rutinitas harian anak juga perlu tetap dibangun secara konsisten. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cara ajak anak diskusi soal bahaya online tanpa menghakimi? 

Dapatkan solusi anti-panik untuk mengatasi hoaks, cyberbullying, dan mengatur screen time dalam Panduan Smart Digital Parenting