Hadapi Ancaman Hoaks dan Penyalahgunaan AI, Literasi Digital Tak Cukup Soal Teknis Saja

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Bonifasius Wahyu Pudjianto
Share

digitalMamaID — Transformasi digital yang terus bergerak pesat seringkali tidak diimbangi dengan kesiapan literasi digital masyarakat yang memadai. Bahkan di kondisi yang paling genting seperti bencana, derasnya arus informasi dan penyalahgunaan AI justru menjerumuskan dan menjadi ancaman baru.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Bonifasius Wahyu Pudjianto dalam acara Temu Nasional Pegiat Literasi Digital 2025 yang digelar Komdigi di Jakarta, Selasa, 16 Desember 2025.

Dalam paparannya, Boni mengatakan peran teknologi digital saat ini semakin strategis. Bukan hanya menjadi alat penyebar informasi melainkan juga menjadi katalisator transformasi di dunia pendidikan, layanan publik, hingga menggerakkan ekonomi masyarakat.

Namun di atas semua itu, literasi digital tetap menjadi fondasi utama. Meningkatnya  teknologi digital bukan hanya membawa manfaat tetapi juga dibarengi dengan berbagai macam ancaman kejahatan digital di dalamnya.

“Tolong terus kita gerakkan upaya penanggulangan berbagai informasi yang tidak benar yang membanjiri internet, hoaks, disinformasi, misinformasi, penipuan digital, kejahatan siber, eksploitasi data pribadi. Bahkan yang saat ini tidak kalah penting, menanggulangi perundungan di ranah digital,” ujar Boni.

Apalagi dengan kehadiran kecerdasan artifisial membuat masyarakat semakin sulit untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang buatan AI. 

“Dalam konteks ini maka literasi digital tidak boleh direduksi menjadi sekedar kemampuan teknis. Jauh dari pada itu, literasi digital juga memperkuat etika, budaya, selain yang sifatnya kecakapan dan bagaimana kita terlindungi di ranah digital,” tuturnya.

Butuh ketangguhan psikososial

Menurut Beni, dalam menghadapi laju perubahan teknologi yang begitu cepat dibutuhkan pula ketangguhan psikososial. Ketangguhan itu melibatkan keterampilan dan sikap dalam mengelola stres, serta menjaga hubungan sosial yang sehat untuk bisa beradaptasi dengan berbagai perubahan teknologi.

“Oleh karena itu literasi digital ini sebenarnya adalah fondasi bagaimana kita survive di dunia digital. Tapi juga ada faktor kualitas demokrasi, kohesi sosial dan bahkan daya saing bangsa,” ujar Boni.

Boni menegaskan, dalam memerangi hoaks dan segala kejahatan siber dibutuhkan kolaborasi dan kerjasama semua pihak, pemerintah, komunitas, masyarakat dan para pemangku kepentingan.

“Kami dari badan pengembagan SDM Komdigi, kami tidak mungkin berjalan sendiri, harus bersama-sama dengan komunitas dalam dan luar negeri, bersama-sama menyelesaikan PR besar kita,” kata Boni.

Termasuk dalam menyukseskan PP Tunas untuk melindungi anak-anak di ruang digital, pun butuh kerjasama dan kolaborasi semua pihak. Pemerintah, penyedia platform digital, sekolah, keluarga, masyarakat, dan komunitas untuk bersama-sama bergerak memberikan edukasi dan menaati aturan. Sehingga akan tercipta ekosistem digital yang aman bagi anak berselancar di ruang digital.

“Bagaimana kita bersama-sama untuk aware agar anak-anak tidak serta merta masuk ke ranah digital. Kita perlu menunda pada saat usianya belum cukup disesuaikan dengan risiko di ruang digital,” kata dia. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cara ajak anak diskusi soal bahaya online tanpa menghakimi? 

Dapatkan solusi anti-panik untuk mengatasi hoaks, cyberbullying, dan mengatur screen time dalam Panduan Smart Digital Parenting