Menunda Gratifikasi, Gadget Bukan Solusi Atasi Kebosanan Anak

Cover buku Screen Time karya Tascha Liudmila
Share

digitalMamaID — Meski wajahnya berseliweran di beranda media sosial, ternyata Raditya Dika dan istri justru tidak memberikan gadget sembarangan untuk buah hatinya. Saat anak sudah mandi, piyama sudah dipakai, dan saat yang paling gampang adalah menyerahkan gadget lalu membiarkan menonton tanpa pengawasan. Tapi Radit memilih jalan lain, dalam podcast bersama istrinya, ia bercerita tentang usaha mereka membatasi tontonan visual.

Konsep menunda gratifikasi ini sangat relevan dengan penggunaan gadget saat ini. Menunda gratifikasi ini artinya orangtua menunda memberikan kepuasan langsung atau imbalan instan pada anak untuk mendapatkan hasil yang lebih besar di masa datang. Langkah Raditya Dika tidak memberikan gadget merupakan upaya menunda gratifikasi untuk mencegah anak terkena dampak kecanduan gadget.

Pengganti screen time

Pertanyaannya selalu kembali kalau bukan gadget, lalu apa? Di sini pilihan Raditya Dika dan istri memberikan contoh menggunakan audio bisa menjadi inspirasi praktis. Keluarga ini memilih menggantikan screen time dengan cerita audio, dongeng, dan percakapan. Bukan karena anti teknologi, tapi karena ia ingin anaknya belajar menunggu, fokus, dan berimajinasi tanpa selalu ditemani cahaya layar yang bergerak cepat. Pendekatan ini pada dasarnya adalah latihan menunda gratifikasi. Tidak setiap rasa bosan harus langsung diselamatkan oleh video lucu.

Penggunaan screen time berlebih dapat memberikan stimulasi instan, cepat, dan berulang. Sebaliknya melalui cerita audio mengajak anak membangun gambar di kepalanya, menunggu alur, bertanya, dan bernegosiasi dengan rasa penasaran. Bagi otak yang sedang tumbuh, kemampuan untuk menunggu dan mengolah imajinasi ini adalah modal penting untuk konsentrasi, empati, dan regulasi emosi di kemudian hari.

Organisasi kesehatan dunia sebenarnya sudah lama mengingatkan soal ini. World Health Organization (WHO) merekomendasikan agar anak di bawah usia satu tahun tidak terpapar layar sama sekali dan anak usia satu sampai empat tahun punya waktu sangat terbatas untuk aktivitas layar, dengan penekanan utama pada bermain aktif dan tidur yang cukup.

Anak belajar menikmati proses, bukan hanya mengejar gambar cepat. Psikolog anak juga banyak menekankan pentingnya permainan imajinatif, kegiatan sensori sederhana, membaca buku bersama, menggambar, menari, dan aktivitas fisik sebagai alternatif yang memperkaya koneksi otak sekaligus hubungan emosional orangtua dan anak.

Screen time aman sesuai usia

American Academy of Pediatrics (AAP) juga Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah merekomendasikan screen time yang wajar sesuai dengan usia anak. Berikut rangkumannya:

1. Di bawah 2 tahun

Bagi anak di bawah 2 tahun, idealnya tidak ada tontonan hiburan. Jika harus menggunakan layar untuk video calldengan keluarga, lakukan singkat dan selalu dengan pendampingan. Rangsang dengan suara, sentuhan, dan tatap muka. Rekomendasi ini sejalan dengan WHO dan AAP.

2. Usia 2-5 tahun

Bagi anak usia 2 sampai 5 tahun, satu jam per hari screen timerekreasional dengan konten berkualitas dan didampingi sudah cukup. Gunakan waktu tersebut secara sengaja, bukan terpapar sepanjang hari. Sisanya isi dengan bermain, bergerak, dan cerita audio.

3. Usia sekolah

Bagi anak usia sekolah, sekitar satu sampai dua jam screen time hiburan per hari masih dianggap wajar jika anak tetap punya waktu tidur yang cukup, tugas sekolah selesai, aktivitas fisik berlangsung, dan hubungan sosial langsung terjaga. Banyak organisasi internasional menekankan kualitas, konteks, dan keseimbangan, bukan hanya angka kaku.

Belajar menunda gratifikasi

Lalu di mana posisi orang tua dan wali. Di sinilah kata kuncinya yaitu menjadi “dewasa”. Dewasa berarti tidak menyerahkan keputusan konten pada algoritma, tetapi memilah dengan sadar apa yang akan diterima ke kepala anak. Tidak memakai gadget sebagai solusi instan setiap kali anak rewel. Belajar mendampingi anak dengan menyiapkan buku cerita, duduk menemani, menjelaskan, menerima rasa bosan anak tanpa panik lalu memasrahkan semuanya pada video.

Peran orangtua bukan hanya mengurangi screen time, tetapi juga meregulasi screen time anak. Apakah anak lebih sering diajak mendengar cerita dengan kontak mata dan pelukan, atau diletakkan sendiri dengan ponsel. Apakah gadget dipakai sebagai alat belajar yang terarah, atau sebagai pengalih yang tidak ada batasan. Keputusan yang terlihat sederhana inilah yang setiap hari mengajarkan pada anak, apakah kesenangan harus selalu instan atau boleh menunggu, membayangkan, dan belajar memahami perasaan yang hadir.

Menunda gratifikasi bukan membuat masa kecil terasa tanpa hiburan. Justru sebaliknya. Ia mengajarkan bahwa dunia nyata, suara orang tua, buku yang dibuka bersama, dan cerita yang dirangkai di kepala bisa lebih kaya daripada seribu video pendek yang lewat begitu saja.

Mama bisa menggunakan toolkit Smart Digital Parenting yang bisa membantu mendampingi anak meregulasi screen time. Unduh gratis di sini! Semangat belajar bertumbuh bersama anak ya, Mama! [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cara ajak anak diskusi soal bahaya online tanpa menghakimi? 

Dapatkan solusi anti-panik untuk mengatasi hoaks, cyberbullying, dan mengatur screen time dalam Panduan Smart Digital Parenting