Seperti biasa, sepulang kerja, aku naik ojol ke stasiun LRT terdekat untuk menjangkau rumahku yang berada di pinggiran Jakarta. Di perjalanan, aku coba meletakkan ponsel di tas, karena aku sangat penat dengan pekerjaan hari ini.
Sejujurnya, hari itu, aku sudah menahan nangis kesekian kalinya. Mengeluhkan rutinitas yang sudah cukup membuat aku muak.
Bayangkan, sebagai warga kabupaten, aku menghabiskan waktu 4-6 jam di jalan, 9 jam di kantor. Kalau dihitung-hitung, aku lebih sering di luar rumah. Aku bahkan lebih sering duduk di meja kerjaku dibanding kasur empukku di rumah. Aku lebih sering berkomunikasi dengan rekan kerjaku di kantor, dibandingkan dengan suami dan anakku. Dan ini terjadi lima hari dalam seminggu.
Not to mention, biaya yang harus aku keluarkan setiap harinya. Kalau ditotal, sebulan bisa seharga sepatu lari yang mahal dan limited edition itu.
Aku sering nangis di jalan, di toilet kantor, bahkan depan teman-teman, mengeluhkan struggle-ku setiap harinya.
Tapi, tadi ketika naik ojol, aku melihat gedung-gedung megah tinggi di pusat ibu kota, lampu-lampu gemerlap, serta riuh kendaraan pribadi maupun umum. Aku tertegun menyadari satu hal: kehidupan yang aku jalani sekarang adalah kehidupan yang aku semogakan beberapa tahun lalu.
Aku dulu mendambakan kehidupan ini: bekerja di ibu kota, di gedung tinggi, di multinational company, bisa naik transportasi umum bagus setiap hari, akses ke mana-mana yang sangat mudah, menenteng laptop, memakai lanyard warna-warni, ngopi dan ngafe di tempat estetik.
Exactly apa yang aku inginkan. Tapi, mengapa sekarang aku muak?
Pikiranku kemudian kembali ke tahun-tahun awal aku mendapatkan rutinitas ini. Apakah aku senang saat itu? Tentu saja. Sangat bahagia.
Tapi, mengapa rasa itu enggak bertahan lama?
Aku jadi sadar, ternyata mimpi juga ada expired-nya. Ketika kita sudah mendapatkan itu, ada batas waktu sampai kapan kita excited dengan pencapaian itu.
Dan ketika waktunya datang, kita harus kejar lagi impian lain yang mungkin levelnya semakin susah untuk digapai. Begitu terus sampai tak tahu kapan.
Aku jadi berpikir, di level mana kita akan berhenti mengejar dan bahagia lama tanpa tanggal kedaluwarsa? Apa ketika kita mati? Jangan-jangan, di akhirat pun kita akan terus rakus, seperti pejabat yang doyan korupsi padahal kekayaannya sudah menumpuk?
Firda Iskandar
Jakarta, 15 September 2025






